Oleh S Boseng, MM *
Spirit NTT, 21-27 April 2008
PERUBAHAN kurikulum Pendidikan dan GBPP Bidang Studi selalu membawa sisi baik dan sisi buruk. Namun banyak hal yang hakiki dari suatu kebijakan pendidikan secara implisit sering menimbulkan salah persepsi yang justeru terjadi di kalangan pelaku pendidikan di tingkat kabupaten dan propinsi. Dengan artikel ini penulis berharap dapat memberikan wacana dan persepsi dari pikiran sendiri.
Standarisasi mutu pendidikan melalui UAN
Standarisasi mutu pendidikan merupakan indikator kapasitas pengetahuan dan kemampuan minimum yang harus dicapai setiap jenjang pendidikan. Sekolah yang bermutu baik akan mencapai standar kurikulum yang ditetapkan, sebaliknya sekolah yang bermutu rendah mungkin hanya mencapai kapasitas ketuntasan belajar di bawah standar. Sekolah-sekolah unggulan sebagian mencapai kualitas di atas standar baik dalam hal pengembangan ilmu murni maupun pengembangan ekstra kurikuler dan muatan lokal.
Dengan standar pendidikan, seorang anak lulusan TK sekurang-kurangnya mampu membilang 1 sampai 20, mampu menghitung misalnya 2 + 2 = 4, atau mampu menulis namanya dan menulis sejumlah huruf dan angka. Sejumlah anak TK yang berada di atas standar sudah dapat membaca dan menulis dengan lancar. Ketika anak saya masuk di TK Pantirini, ia sudah lancar membaca majalah dan buku ceritera. Hal ini berarti anak itu sudah di atas standar. Jika pendidikan TK tidak standar akan menyulitkan guru-guru SD, karena guru SD harus mengulang pelajaran seperti di TK.
Seorang lulusan SMP yang standar tentu tahu menyelesaikan persamaan kuadrat dan menggambar kurvanya. Ia dapat menghitung log 2,4 = 0,380 tanpa kalkulator dan table matematika. Ia juga tahu di negara mana letak kota Paramaribo, Ulanbator, Oslow, Antwerpen, Acra, Montevideo dan lain-lain. Ia juga tahu tentang Raden Wijaya, Pangeran Diponegoro, Mahatma Gandhi, Cleopatra, George Washington, Marthin Luter King, Julius Caesar, dan lain-lain pelaku sejarah. Ia juga tahu pengaruh rotasi dan revolusi bumi. Ia tahu mengapa Hari Raya Idul Fitri selalu bergeser maju 11 sampai 12 hari setiap tahun. Untuk SMP yang tidak standar belum tentu mengetahuinya, dan lulusannya akan menyulitkan guru-guru di SMA. Demikian juga standar pendidikan di SLTA dan Perguruan Tinggi.
Secara ekstrim saya membuat perbandingan berikut: Ada dua buah universitas dengan nama Universitas A dan Universitas B. Universitas A menghasilkan dokter dan insinyur standar, tetapi Universitas B menghasilkan dokter dan insinyur yang tidak standar. Dokter A dan dokter B menghadapi pasien dengan penyakit yang identik dan ceteris paribus. Dokter A mengobati pasien, dan pasien berangsung-angsur sembuh, tetapi dokter B mengobati pasien dan pasien itu semakin parah dan akhirnya meninggal. Insinyur A mebangun gedung berlantai 10 berdiri kokoh dan tahan terhadap guncangan gempa dan badai tornado, sedangkan insinyur B meski hanya membangun rumah tinggal tetapi begitu datang angin bahorok, rumah yang dibangunnya roboh dan menimpah penghuni rumahnya. Kalau sekarang banyak sekolah belum mencapai standar melalui indikator nilai UAN bukan berarti UAN itu merusak mutu pendidikan atau tidak penting, (untuk sementara sebagian masyarakat berpersepsi negatif terhadap UAN) melainkan sekolah itu yang masih ketinggalan dari standar UAN, dan harus dikejar melalui manajeman kualitas dari berbagai aspek. Yang ironis dan konyol dari kebijakan pendidikan ialah bahwa pemerintah (pusat) menetapkan standar mutu dengan UAN dan mengadakan ujian ulang, untuk meloloskan siswa yang gagal, kemudian membolehkan siswa yang tidak lulus UAN menempuh sertifikat Paket A, Paket B, dan Paket C. Kebijakan ini bukan untuk mendorong sekolah meningkatkan mutu prose pembelajaran, melainkan membuka peluang sekolah, siswa, orang tua, dan masyarakatt untuk meremehkan dan melecehkan arti pentingnya UAN. Lebih ironis lagi sejumlah rector perguruan tinggi, termasuk Rektor UNDANA menyatakan bersedia menerima calon mahasiswa dari jalur Paket C. Banyak yang frustrasi karena siswanya banyak yang tidak lulus akan mendorong mereka untuk menempuh Paket C.
Kisah sebuah SMA di Kupang mengadakan pesta berjoget bersama karena 100 persen tidak lulus (disiarkan Metro TV) adalah sebuah ironi terhadap UAN. Banyak siswa SMA yang semangat belajarnya rendah akan memutuskan keluar dari sekolah dan menempuh Paket C. Banyak orang tua siswa yang menggampangkan pendidikan akan menyetujui bahkan mendorong anaknya menempuh Paket C untuk dengan mudah memperoleh Ijazah Paket C. Lalu siapa yang harus menjadi dokter, insinyur, doctor, professor untuk menghadapi tantangan masa depan, kalau mutu pendidikan dilecehkan dengan cara ini? Di bidang Ilmu Sosial mungkin tidak banyak kesulitan, tetapi di bidang IPA dan penerapan teknologi. Kabupaten Sikka masih banyak kekurangan tenaga sarjana. Di lingkungan pertanian saja kita memiliki banyak tenaga pertanian yang tidak standar (mohon maaf kalau ada yang tersinggung), karena penguasaan ilmu dan teknologi pertanian sangat diragukan, sehingga orang memahami pertanian dari sudut empiris, bukan aplikasi ilmu akademik.
Pentingnya ujian kolektif daerah
Menghadapi Ujian Akhir Nasional perlu diawali dari persiapan ujian kolektif daerah. Dinas Pendidikan harus mulai mempersiapkan materi ujian bersama dengan kualitas soal yang sama dengan soal UAN dan selanjutnya diperketat pada tahun-tahun berikutnya dengan mutu dan tingkat kesukaran soal yang semakin tinggi. Hal ini merupakan proses adaptasi atau membiasakan siswa dengan soal-soal yang relatif sulit.
Ujian tengah smester dan ujian semester harus merupakan ujian bersama dengan soal-soal yang disusun oleh tim penyusun soal yang berkualitas baik. Sejumlah sekolah yang pencapaian nilainya di bawah standar minimum harus diberi teguran peringatan untuk segera berbenah. Jika ada sejumlah guru menjadi pelanggan tetap nilai rendah maka Dinas Pendidikan perlu mengusulkan ke BKD agar guru-guru itu dimutasikan menjadi staf administrasi. Bahwa ijazah guru adalah persyaratan administtrasi seorang guru yang harus didukung oleh kemampuan teknis mengajar dan kapasitas keilmuan. Jika Dinas Pendidikan menganggap semua yang berijasah guru harus menjadi guru, itulah salah satu kekeliruan yang merosotkan mutu pendidikan. Selama menjadi siswa SMA di Solo/ Surakarta dan menjadi guru di salah satu SMP dan SMA Katolik juga mempunyai kelas privat SMP/SMA di sana, kami selalu menghadapi ujian kolektif Kotamadya Surakarta dan Ujian Kolektif Propinsi Jawa Tengah. Untuk ujian mid semester dan semester ganjil dilakukan secara kolektif Kotamdya Surakarta. Kelompok sekolah yang mempunyai nilai di bawah standar minimum akan diberikan teguran dan pembinaan kolektif untuk segera berbenah diri. Ujian kenaikan lelas adalah ujian bersama Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Secara ppsikologis kami siap menghadapi ujian nasional. Sesungguhnya materi soal ujian nasional itu tidak sulit, alias biasa-biasa saja namun siswa kita kita kurang luas penguasaan materi dan kurang berpengalaman memecahkan soal? Karena banyak guru tidak intensif mempersiapkan para siswanya. Karena sistem kompetisi mutu siswa di Kabupaten Sikka kurang bagus. Karena tidak banyak gagasan inovatif baik di tingkat sekolah maupun di tingkat Dinas Pendidikan. Karena pejabat-pejabat dinas lebih mementingkan rutinitas administrasi pendidikan.
SMK versus SMA
Akhir-akhir ini muncul wacana untuk mengurangi porsi siswa SMA dan memperbesar porsi siswa SMK. Ada yang beranggapan bahwa SMK lebih penting daripada SMA. Anggapan ini bisa benar bisa salah. Siapa yang menjamin lulusan SMK cepat mendapat pekerjaan dan lulusan SMA tidak? Wacana ini bisa diterima kalau kita memahami alasan dan tujuan pendidikan SMK dan SMA. SMA adalah sekolah untuk pengembangan ilmu murni yang harus dilanjutkan ke perguruan tinggi untuk menghasilkan SDM pengembang praktisi ilmu dan teknologi. Di masa depan kita membutuhkan dokter yang handal untuk mengatasi berbagai jenis penyaakit baru, tuntutan pelayanan kesehatan berkualitas tinggi, serta penelitian dan pengembangan di bidang obat-obatan termasuk berbagai vaksin. Kita membutuhkan para insinyur yang handal dengan kemampuan rancang bangun yang dapat mengatasi tantangan berbagai bencana alam seperti gempa bumi, gelombng pasang, abrasi, dan angin badai. Kita butuh teknologi pengembangan energi alternative untuk menggantikan BBM.
Di bidang pertanian tantangan menyempitnya porsi lahan pertanian, tuntutan produktivitas lahan yang semkain tinggi, upaya protenksi tanaman dari hama dan penyakit dengan berbagai biotipe baru, tuntutan pengembangan bahan pangan dan serat baru, serta rekayasa genetika dalam pengembangan tanaman dan ternak unggul merupakan tantangan masa depan para pakar pertanian.
Semua pengembangan sains dan teknologi masa depan berawal dari SMA, bukan SMK. Kesalahan terbesar ialah tidak ada kriteria siapa yang boleh masuk SMA dan siapa yang seharusnya masuk SMK. Kalau akhirnya porsi SMA diperkecil maka seharusnya hanya siswa-siswa yang tergolong cerdas siap melanjutkan ke perguruan tinggi (didukung dengan kemampuan ekonomi), itulah yang harus masuk ke SMA. Pemerintah berkewajiban membiayai siswa yang cerdas tetapi kurang didukung kemampuan ekonomi. Sebaliknya siswa dengan kemampuan akademik sedang atau kurang seharusnya masuk ke SMK, tetapi bukan berarti yang cerdas tidakboleh masuk SMK. Banyak pekerjaan tukang bangunan yang justeru dikerjakan oleh orang yang berpendidikan SD atau SMP.
Sedangkan lulusan STM/SMK menjadi tukang dan diawasi oleh seorang insinyur. Banyak SMK Ekonomi/SMEA memrioritaskan keterampilan komputer dan mengabaikan ketrampilan lain, seperti menganyam gedeg untuk bangunan, bidang tata boga, diverifikasi hasil laut dan sebagainya. Padahal semua orang yang bukan lulusan SMK pun pandai menggunakan computer. Di sini terlihat jelas bahwa orientasi pendidikan SMEA ialah menjadi pegawai kantoran. Cara pandang ini ikut menciptakan pengangguran dari lulusan SMK.
Guru bermutu versus sertifikasi
Sekarang ini tengah diadakan sertifikasi guru untuk menetapkan guru professional, dan sebagai ganjarannya ialah perbaikan gaji guru. Semestinya bukan hanya guru yang merasa senang tetapi kita semua, karena dengan perbaikan kesejahteraan guru kita berharap semangat juang untuk meningkatkan mutu pendidikan semakin tinggi.
Selain itu, meningkatnya kesejahteraan guru akan meberikan multiplier effect terhadap kesejahteraan masyarakat umum dan meningkatnya konsumsi barang dan jasa. Tetapi sebaiknya penilaian profesionalisme kompetensi guru harus dimulai dari dalam kelas.
Semua siswa harus terlibat dalam menilai guru, berkaitan dengan kemampuan guru mengajar, kemampuan transfer ilmu dan luasnya penguasaan ilmu komprehensif. Kalau ukuran utama ialah ijazah sarjana pendidikan maka akan dihasilkan banyak guru yang bersertifikat tetapi kemampuan akademik dan kompetensi inti serta kemampuan transfer ilmunya rendah. Banyak guru yang tidak berusaha meningkatkan kompetensinya dengan membaca dan belajar.
Dari banyak soal ujian yang biasa dibawa pulang anak-anak, saya berkesimpulan bahwa sebagian guru tidak memiliki logika bahasa Indonesia dengan baik. soal ujian yang bermutu ditentukan oleh antara lain luasnya penguasaan bidang akademik dan penguasaan logika. Contoh berapakah hasil bagi 5 dengan 0? Tanpa logika matematika siswa akan menjawab 0, tetapi dengan logika matematika maka jawaban yang benar ialah tidak didefinisikan, alias tidak ada jawaban yang benar.
Untuk meningkatkan kualitas calon guru maka semestinya pemerintah dan pihak perguruan tinggi harus tegas dalam menyeleksi calon mahasiswa fakultas keguruan melalui tes potensi akademik. Jangan terbalik, ketika orang merasa sulit untuk lolos tes di fakultas lain maka pilihannya jatuh ke Fakultas Keguruan. Siswa yang memiliki dasar kecerdasan ibarat benih unggul, tetapi harus ditanam di kebun yang dikelola dengan baik oleh petani unggul. Kebun adalah sekolah, dan petani adalah guru.
Sering terjadi ketika evaluasi belajar hasilnya rendah maka semua pihak cenderung mempersalahkan siswa karena malas belajar, acuh tak acuh, hura-hura dan sejenisnya. Tudingan ini tidak salah. Tetapi sayang kita tidak pernah melihat sejumlah sisi kelemahan guru, manajemen sekolah, dan kepedulian orang tua.
Di salah satu SMA pernah ada keluhan bahwa seorang siswa yang menurut ukuran umum semua guru merupakan siswa yang serdas dengan nilai rata-rata semua bidang studi di atas 8, tetapi ternyata tidak lulus UAN.
Contoh kasus ini menunjukkan bahwa banyak guru membuat soal dengan kualitas di bawah standar nasional. Jika ada bab pelajaran tertentu ia tidak sempat mengajar maka tidak ada soal untuk bab itu. Ketika siswa menghadapi UAN yang materi ujiannya komprehensif baru dirasakan banyak hal yang belum dikuasai oleh siswa. *
* Penulis, Camat Alok Timur, Sikka
Read More...