Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Media dalam pendidikan budi pekerti

Spirit NTT 21-27 April 2008

MENGINGATKAN kembali peran media dalam pendidikan budi pekerti adalah pekerjaan yang amat mulia. Hal itu harus menjadi kewajiban kultural kita semua sebab media massa di era sekarang telah menunjukkan kesempurnaannya menjadi industri budaya, yang efeknya luar biasa bagi anak cucu. Tetapi kita tidak bisa menolak, bagaimanapun kehadiran media adalah penting sebagai sarana membangun perabadan umat manusia.
Ada persoalan lain di seberang perkembangan media, yakni merosotnya budi pekerti yang terjadi di semua lapisan masyarakat. Anak-anak dengan mudahnya bertindak keras, cabul, pencurian, pemerkosaan, bunuh diri, dan segala macam bentuk tindakan tidak beradab lainnya. Apakah gejala menguatnya tindakan semacam itu karena pengaruh media?

Sekadar mengingatkan pemahaman kita tentang budi pekerti, penulis ingin menguraikan konsep budi pekerti terlebih dulu. Budi pekerti menurut Thalib (1997) berisi dua unsur, yakni perilaku dan sifat. Perilaku mencakup tampilan lahiriah, dan sifat meliputi isi batin atau isi hati. Seseorang akan berperilaku terpuji apabila batin atau hatinya bersih dan mulia.
Nilai-nilai budi pekerti ini harus diajarkan, dan proses pengajarannya yang disebut pendidikan budi pekerti. Ia identik dengan komunikasi kebudayaan yang berarti proses transmisi nilai-nilai budaya atau sebaliknya upaya menginternalisasikan nilai-nilai budaya itu melalui proses belajar untuk menjadi milik diri dan menjadi acuan berperilaku.
Ki Hajar Dewantara mengidentifikasi menjadi tiga sentra, yakni: keluarga, masyarakat, dan sekolah. Media belum disebut sebagai salah satu sentra pendidikan karena pada masa itu perkembangannya tidak sedahsyat sekarang. Lagi pula lanskap budaya yang berlaku menjadi setting kehidupan sosial sehari-hari mereka adalah pertanian bukan budaya industrial.
Ketika globalisasi memasuki semua segi, media, ekonomi, politik, bahkan sistem pemikiran, membawa implikasi terhadap makin terbukanya masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern.
Hubungan antarmanusia mulai teralineasi. Ada keterasingan. Ayah dan ibu sibuk bekerja sementara masyarakat pun sibuk dengan urusannya sendiri. Tanggungjawab pendidikan bagi anak-anak tidak lagi bertumpu pada keluarga, masyarakat, dan sekolah.
Anak-anak pun luar biasa perkembangannya. Sekolah bukan lagi sekadar menjadi tempat belajar sesuai kurikulum formal, tetapi juga sebagai ajang ekspresi pengalaman pribadi yang diperoleh dengan kurikulum lain.
Bisa dibayangkan berdasarkan temuan penelitian penulis, anak-anak di desa ternyata menghabiskan waktu menonton TV 5-6 jam sehari. Termasuk kategori heavy viewer menurut standar Amerika.
Jadi media ternyata benar-benar telah menjadi situs penggelendangan pikiran anak-anak. Media menjadi medium ekspresi berwisata pikiran dan emosi sekaligus sarana memuaskan spiritualitas mereka. Jika demikian hanya, apakah benar bahwa perilaku yang uncivilized di kalangan anak-anak direproduksi media?
Jawabnya, bisa ya bisa tidak. Bisa ya manakala dalam diri anak ada potensi. Bisa tidak kalau dalam diri anak tidak ada potensi.
Rumus Wardswoorth tentang teori perilaku yang dikembangkan dari teori Nikimura B = f(G+E). Behavior (B) merupakan hasil perkalian unsur Genetik (G) dengan unsur Environtment (E).
Yang disebut potensi di sini adalah unsur genetik itu sendiri. Itu berarti jika memang ada potensi kemudian didukung faktor lingkungan yang kondusif maka mudah sekali dalam diri anak terbentuk perilaku uncivillized. Media adalah bagian dari unsur lingkungan itu, begitupun keluarga, masyarakat dan sekolah.
Sampai di sini, penulis berkeyakinan, bagaimana pun media adalah salah satu faktor yang potensial mendorong lahirnya perilaku uncivillized di kalangan anak-anak. Mengapa media cenderung menyukai hal-hal yang berbau tidak terpuji?
Media kita memang berbeda dengan dulu. Media kini tengah berada dalam setting budaya yang berbeda, karenanya agar eksis media lebih memilih berwajah ganda. Di satu sisi ia bermuka sebagai institusi budaya dan di sisi lain sebagai institusi ekonomi.
Sebagai institusi budaya, media berarti tetap menjalankan kewajibannya mendidik warga dalam kerangka membentuk peradaban ke arah yang lebih baik. Sementara sebagai institusi ekonomi berarti senyampang menjalankan peran kulturalnya, media juga berusaha mendapatkan keuntungan dari sejumlah investasi

Tarik-menarik
Pilihan berwajah ganda itu adalah suatu keharusan dalam alam global-industrial. Sebab dalam seting global-industrial, media berada dalam tarik menarik tiga entitas: negara, pasar, dan civil soviety.
Terhadap tarik-menarik itu, haluan media kemudian terbelah menjadi tiga, yakni ada media yang beraluan liberalis klasik, liberalis modern, dan jalan tengah (ketiga).
Bagi mereka yang berhaluan liberalis klasik berisi himpunan media yang lebih menempatkan diri sebagai watchdog terhadap negara karena dalam posisi itu media berkoalisi dengan civil society. Sedang bagi mereka yang berhaluan liberalis modern berisi kumpulan media yang menempatkan diri sebagai voice of people karena dalam posisi itu media berkoalisi dengan pasar. Sedangkan bagi mereka yang tidak pro civil society maupun pasar, menempatkan diri berhaluan jalan tengah (ketiga). Dalam setting ini, media ambil posisi sebagai agensi demokrasi.
Sejak reformasi, media kita terasa amat pro pasar dan pro civil society. Celakanya pada kriteria media semacam itu lebih suka menganggap kekerasan, klenik dan cabul adalah komoditas yang laku jual. Itu sebabnya, kekerasan, klenik, dan cabul, sangat digemari media karena dipersepsi sebagai mendapatkan dukungan pasar.
Jika demikian halnya jadi terasa sulit bagi kita untuk berharap media dapat berperan dalam pendidikan budi pekerti. Coba saja dibuktikan melalui analisis isi terhadap kemasan program siaran yang ditayangkan media TV.
Berapa proporsi program siaran yang mengajarkan nilai-nilai pendidikan budi pekerti? Dugaan penulis masih belum banyak. Inilah kewajiban kita mengawasi media agar berperan dalam pendidikan budi pekerti. (amirudin, dosen ilmu komunikasi FISIP undip semarang)



Tidak ada komentar: