Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Telepon, Panjat Kelapa Dulu...

Edisi: 08 - 14 November 2010
No. 242 Tahun V, Hal: 14



Amfoang Timur 'dibaptis' sebagai salah satu serambi terdepan Indonesia. Letaknya berbatasan langsung dengan wilayah kantung (enclave) Timor Leste, Oecusse. Ironisnya, kawasan itu masih tertinggal, terisolir. Hampir tak pernah mendapat sentuhan pembangunan dari pemerintah sejak Indonesia Merdeka, 17 Agustus 1945. Dan, nyaris tak pernah dikunjungi oleh pejabat pemerintah Kabupaten Kupang, karena medan jalan sangat berat untuk dilalui kendaraan roda empat. Pun harus melewati 180 sungai kecil. Benar?

OBI Lewanmeru. Rekan sejawatku baru pulang dari Oepoli, ibu kota Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang. Tepatnya 30 Agustus 2010. Di kawasan perbatasan dengan Timor Leste, wilayah enclave (kantung) Distrik Oeccuse, itu Obi menjalankan tugas jurnalistiknya. Menginvestigasi kasus pemukulan terhadap rohaniawan Katolik, Romo Beatus Ninu, Pr, oleh dua oknum tentara penjaga perbatasan. Ini salah satu berita yang menghebohkan jagat Flobamor (Flores, Sumba, Timor/tiga pulau besar di NTT, Red) pada tahun 2010 dari beranda perbatasan. Salah satu etalase Nusantara.

Obi menceritakan banyak hal tentang Oepoli. Sawah membentang luas. Tanahnya subur, tanam apa saja, jadi. Padi, jagung, kelapa, pisang, nangka, kemiri, pinang dan vanili berbuat lebat. Yang penting penghuninya rajin bekerja. Tak hanya itu. Sentra penghasil ternak sapi di wilayah Kabupaten Kupang.

Obi tidak berlebihan. Memang demikian profil wilayah seluas 273,03 kilometer persegi itu. Saya pun mengetahuinya dengan pasti. Tiga hari saya berada di Oepoli. Tepatnya, 12, 13 dan 14 Desember 2009. Saya ditugaskan Redaksi SPIRIT NTT meliput prosesi dan ritus adat syukuran hasil panen masyarakat Amfoang Timur. Ritus ini digelar setiap tahun agar panenan tetap berlimpah. Itu kenyataannya. Oepoli negeri berkelimpahan susu dan madu. Ironisnya, mereka belum merdeka! Mengapa?

Menuju Oepoli sangat melelahkan. Terasa 'menyiksa.' Badan pegal. Tapi, ketika itu, saya tidak berprasangka buruk. Apalagi terburu-buru mencoret wilayah penghasil madu lebah terbesar di Kupang itu dari daftar petualangan. Semangat tetap empat lima.

Menuju Oepoli melalui dua jalur. Pertama, jalur trans Kupang-SoE (ibu kota Kabupten Timor Tengah Selatan)-Kefamenanu (ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara). Poros ini berjarak 110 kilometer, ditempuh dalam waktu tiga jam, menggunakan bus umum. Sementara rute Kefamenanu-Oepoli, 20 kilometer, menghabiskan waktu lima jam. Jalan tanah dan bebatuan, menyusuri lereng-lereng bukit. Menantang maut.

Kedua, poros Kupang-Oelamasi-Naikliu-Amfoang Timur. Lebih menantang lagi. Jalan bebatuan, sempit. Melewati 180 sungai kecil tak berjembatan. Bahkan satu sungai bisa dilewati 99 kali. Musim hujan seperti saat ini, sungai-sungai itu 'mengamuk.' Tak heran, waktu tempuh poros ini menggunakan kendaraan umum (bus) bisa sampai 24 jam. Jauuuuh!

Pagi itu, Sabtu (12/12/2009), saya memilih jalur Kupang-SoE-Kefamenanu. Menumpang bus reguler. Berangkat dari Kupang pukul 08.00 wita, tiba di Kefamenanu pukul 11.25 wita. Istirahat sejenak di Kefamenanu. Pukul 12.15 wita, saya memulai petualangan dari Kefamenanu menuju Oepoli. Beranda Indonesia. Inilah magnet utama mengapa saya berpetualangan ke Oepoli saat itu. Merekam jejak kehidupan sesama saudara 'Merah Putih' di kawasan perbatasan. Saya tiba di Oepoli pukul 18.45 wita. Malam itu, tak ada momen yang diliput, selain
beristirahat memulihkan stamina.
***
MINGGU (13/12/2009) pagi. Saya 'menyapa’ bumi Oepoli dari bukit Tataum- Netemnanu. Sebuah desa yang letaknya di ketinggian. Hamparan sawah tak bertepi membentang luas di hadapanku. Subur. Pun laut biru berarus garang. Sebuah ikon untuk melegendakan Oepoli sebagai 'tanah terjanji.'

'Dikawal' Servas Pio, warga Tataum, saya berusaha melengkap koleksi tentang Oepoli. Di Utara memperlihatkan rumah-rumah warga Natemnanu beratapkan daun rumbia. Berdinding bebak. Sejuk di musim panas, prihatin di musim hujan. Bocor!
Panorama yang memperlihatkan buah keterpencilan dan keterisolasian. Membiarkan warga melakoni hidup dengan karakter keras. Tak cukup sebagai magnet untuk menarik perhatian sang bos’ di singgasana. Padahal butuh sedikit sentuhan saja, eksotisme Oepoli, yang kini berhabitat alamiah, akan berubah menjadi 'surga.' Banyak orang merebutnya.

"Sentuhan dari siapa. Pejabat saja jarang ke sini. Sehabis panen lahan sawah ini 'libur' karena ketiadaan air. Kalaupun ada yang mengelolanya untuk menanam sayur, dia pasti kewalahan untuk menjaga ternak liar. Hanya sekali panen saja. Tapi hasilnya bisa memenuhi kebutuhan dua tahun ke depan," ujar Servas.

Servas menggelengkan kepala. Tanda keprihatinan. Menatap jauh memandang tanah kelahiran yang membentang luas di hadapannya. "Kami begini saja, bertani sekenanya. Tak ada penyuluhan dari PPL. Bertani berdasarkan apa yang kami tahu. Kalau sudah panen, ya hasilnya dijual murah. Yang lain disimpan. Ayam, kambing, babi, sapi, kerbau, juga dijual murah. Mau bawa ke kota, bagaimana caranya. Oto (kendaraan roda empat) susah masuk ," tuturnya.

Pemandangan di Natemnanu Selatan tak jauh berbeda. Tak ada profil rumah mentereng. Citra keterbatasan dan keterpencilan semakin tampak. Tapi mereka bukan orang 'terpencil.’ Mereka tampil agresif menangkap 'mangsa' seperti rusa, babi hutan, mencabik-cabik’ dagingnya, menampilkan profil manusia yang berpotensi. Daya jelajah memburu rusa menampilkan daya pukau yang luar biasa.

Sayang, keterbatasan sarana dan prasarana serta keuangan memaksa lahan subur Oepoli masih 'menggigil kedinginan.' Menanti sentuhan teknologi. Padahal dengan sedikit saja polesan berupa 'gincu' teknologi, potensi-potensi yang masih tidur itu sejatinya sangat layak dijual. Realitasnya memang seperti itu. Tapi fakta berbicara lain. Komoditi dijual murah, menyerah di tangan renternir. Itu potensi di darat.

Pesona laut, lebih wah lagi. Eksotik. Bentangan laut dihiasi batu-batu warna dan pasir putih yang bersih. Aset wisata itu makin disempurnakan oleh keberadaan hijauan bakau. Sangat tepat dikunjungi oleh para wisatawan pecinta burung. "Di sini bisa dijumpai ratusan spesies burung, beberapa jenis di antaranya bersifat endemik. Belum lagi di Pulau Batek,” ujar Frans Bria, warga Oepoli.

Dari deretan panjang potensi wisata itu ternyata semuanya masih menggigil’. Tak banyak yang terekspos ke permukaan. Nyaris tak terdengar. Tak banyak dijamah. Melengkapi penderitaan Oepoli sebagai kawasan perbatasan terpencil.

Pemkab Kupang dan masyarakat setempat belum mampu menangguk berkah pariwisata secara optimal. Gemerincing dolar sangat jauh dari kesan riuh. Bahkan, bisa disebut sunyi senyap. Ini tantangan besar bagi Pemkab Kupang untuk mendandan Oepoli sebagai kawasan perbatasan pesona wisata.

"Pantai Oepoli sangat berpotensi untuk 'disulap’ menjadi obyek wisata. Apalagi dekat Pulau Batek. Kalau orang ke Oepoli, pasti ke Batek juga. Bisa dikemas sepaket,” ujar Yan Benu, warga Kefamenanu, pengawas proyek di Pulau Batek.

Yan Benu tidak bombastis. Sebuah pernyataan murni lahir dari rasa kekaguman menyata. Ternyata Pantai Oepoli bisa menaut hati para wisatawan yang maniak berpetualang. "Karena keterbatasan infrastruktur, khususnya akses jalan menuju Oepoli, potensi wisata yang ada masih 'tertidur pulas'. Jangankan dikunjungi wisatawan, nama obyek itu saja belum sampai ke telinga mereka," kata Yan Benu dengan nada getir.

Ya, Oepoli, menyembulkan daratan yang subur. Pantai yang eksotik. Sayang, perlu perjuangan berat untuk menikmatinya menjadi berharga. Jalan akses menuju Oepoli sangat jauh dari kesan layak karena kurang dijelajahi kendaraan umum. "Kami memang sangat miskin, infrastruktur minim. Hidup dalam kegelapan. Tak ada listrik. Ini kendala terberat kami dalam membangun Oepoli sehingga tetap terisolir," ujar Romo Beatus Ninu, Pr, Pastor Paroki Oepoli. Dia berkata jujur.

Itu fakta yang terekam dalam memoriku tahun 2009 lalu. Sudah berubah? Camat Amfoang Timur, Paulus Ati, memungkirinya. "Masih seperti itu, pak" katanya kepada SPIRIT NTT di Kantor Bupati Kupang di Kupang, Sabtu (19/6/2010).

Warga Oepoli dan Kecamatan Amfoang Timur umumnya, diakui Paulus, belum menikmati listrik. Pada malam hari, warga menggunakan lampu tioek atau lampu pelita sebagai penerangan.

Paulus melitanikan masalah lain yang dikeluhkan warga Oepoli adalah jalan. Sewaktu Timor Leste masih bergabung dengan Indonesia, katanya, status jalan di wilayah Amfoang Timur adalah jalan propinsi. Setelah Timor Leste merdeka, status jalan berubah. Banyak jalan rusak, tidak diperbaiki. "Kondisi jalan sangat memrihatinkan, rusak sana sini. Perjalanan dari Amfoang ke Kupang harus ditempuh 15 jam. Musim hujan 24 jam," ujarnya.

Keterisolasian Oepoli menelan banyak korban. Kisah tragis dialami Ny. Bulla, warga Amfoang Timur. Tanggal 12 Mei 2010, Ny. Bulla terpaksa melahirkan di dalam bus ketika dilarikan dari Oepoli ke RSU Kefamenanu (ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara/TTU) untuk dirawat. Di Oepoli ada puskesmas rawat inap, namun tidak memadai.

Anggota DPRD Kabupaten Kupang dari Oepoli, Marselus Efi, di Kupang, Kamis (13/5/2010), mengakui, walaupun Puskesmas Oepoli di Amfoang Timur berstatus sebagai puskesmas rawat inap, namun fasilitas pendukungnya minim seperti tempat tidur. Selama ini, kata dia, masyarakat Oepoli lebih memilih berobat ke rumah sakit di Kefamenanu dari pada ke Kupang karena jaraknya lebih dekat, sekitar 20 kilometer saja. Jika musim hujan tiba, seperti saat ini, wilayah Oepoli dan sekitarnya terisolasi total. Banjir hampir merata di semua anak sungai yang membentang luas sampai ke wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).
***
PENDERITAAN warga Oepoli semakin lengkap. Terpencil segalanya. Komunikasi? Apalagi, susahnya minta ampun. Di bukit Tataum, saya teringat lagi kisah-kisah dalam perjalanan dari Kefamenanu menuju Oepoli, Sabtu (12/12/2010). Di Oelbinose, wilayah Kefamenanu--radius 17 kilometer dari Oepoli--, Tarsi Seran, sopir bus, menepikan kendaraan. Dia memberi pengumuman singkat. "Sebentar lagi kita memasuki kawasan di luar jangkauan. Ini tempat sinyal terakhir. Kalau ada yang telepon, silakan. Waktunya 15 menit," ujar Tarsi memberi dead line.

Sambil menikmati horison sore dan 'moleknya' Gunung Mutis, saya memencet hand phone (HP) melemaskan jemari yang kaku. Ber-SMS ria dan telepon. Berhalo-halo dengan kolega di redaksi mengabarkan rute perjalanan sudah sampai di Oelbinose.

Dead line waktu yang diberikan Tarsi sudah habis. "Ayo kita cabut lagi," Tarsi mengingatkan. HP diamankan. Tak diutak-atik lagi sampai di Oepoli. Selepas Oelbinose, Tarsi berujar lagi, "Kita sudah memasuki kawasan di luar jangkauan. Aman, orang tidak mengganggu kita lagi. Kita menikamati perjalanan ini."

Selepas Aplal, saya mencoba mengaktifkan HP. Ternyata benar, tak ada sinyal. Komunikasi putus. Tarsi benar, kawasan itu benar-benar di luar jangkuan.
Di Oepoli, situasi tetap prihatin, tak bisa berkomunikasi. HP dibuka, yang nongol SMS. Tak bisa dibalas. "Hari sudah malam. Besok saja baru kita balas SMS-nya. Kita cari sinyal di pohon asam sana. Itu namanya pohon sinyal. Lima kilometer arah Barat Oepoli ini," ujar Tarsi.

"Warga di sini (Oepoli, Red) benar-benar menderita. Kalau mau telepon, SMS, berkeringat dulu. Jalan jauh pergi ke tempat sinyal di pohon asam," tambah Tarsi. Tak ingin berlarut dalam litani keprihatinan Tarsi; saya langsung pergi 'mencari' sinyal di pohon asam. Jalan kaki lima kilometer. Ternyata benar, di area pohon asam itu ada sinyal. Wah, unik juga. Anggota TNI di perbatasan pun 'nongol' di pohon sinyal itu untuk berkomunikasi. Itulah Oepoli. Seperti tempat 'pembuangan.'

Camat Amfoang Timur, Paulus Ati, juga meratapi sulitnya masyarakat setempat mengakses informasi. Kondisi ini menyebabkan masyarakat terlambat mengikuti perkembangan informasi. "Masyarakat memiliki hand phone tetapi sinyal tidak bagus. Untuk bisa telepon atau SMS, warga harus panjat pohon kelapa dulu. Kalau lagi beruntung bisa dapat sinyal. Kalau tidak harus menunggu hingga satu minggu. Sinyal sering hilang muncul sampai satu minggu," kata Paulus Ati di Kupang, Sabtu (19/6/2010).

Terbatasnya akses informasi, diakui Paulus Ati, sangat meresahkan karena dikhawatirkan jika terjadi persoalan di wilayah perbatasan, maka informasi ke pemerintah kabupaten sangat sulit. "Sampai saat ini saja masih ada masalah sengketa tanah pertanian sebanyak 1.609 kasus yang belum terselesaikan. Masalah ini sangat rawan. Bagaimana kami bisa cepat menyampaikan informasi, jika sewaktu-sewaktu terjadi persoalan antar warga. Kami harus panjat pohon kelapa atau mencarinya di sekitar pohon asam dulu," ujar Ati. Sampai kapan? Paulus Ati hanya menerawang.
"Alangkah jauhnya Jakarta," gumamnya. Oh Gusti! Benarlah NTT, Nasib Tidak Tentu.

Berbasiskan Kearifan Lokal

KETERISOLASIAN
wilayah Amfoang Timur mengundang reaksi banyak kalangan. Unio imam-imam projo di wilayah Keuskupan Agung Kupang (KAK) menyerukan kepada Pemerintah Kabupaten Kupang untuk membangun infrastruktur jalan dan sarana komunikasi di wilayah Amfoang Timur, yang hingga kini masih sangat terpencil dan terisolasi. Pembangunannya berbasiskan kearifan lokal masyarakat Oepoli. Ini yang tidak dipahami para pelaku pembangunan sehingga memicu konflik dengan masyarakat.

Seruan para imam projo ini disampaikan Pastor Paroki Mater Dei Oepoli, Romo Beatus Ninu, Pr, kepada SPIRIT NTT di Kupang, Sabtu (26/6/2010), berkaitan dengan hasil pertemuan para imam projo Keuskupan Agung Kupang di Oepoli, Amfoang Timur, 22-24 Juni 2010.

Romo Beatus menjelaskan, seruan para imam projo tersebut mengemuka karena wilayah Amfoang Timur merupakan salah satu serambi depan Indonesia yang berbatasan dengan wilayah kantung (enclave) Timor Leste, Oecusse, hanya dibatasi oleh Pulau Batek. Selain itu, wilayah Amfoang Timur merupakan kawasan pertanian sangat subur dengan hasil hutan melimpah, selain potensi peternakan serta kelautan dan perikanan, namun masyarakat sulit memasarkannya.

"Kondisi inilah yang tampaknya menjadi permenungan para imam projo sehingga menyerukan pemerintah untuk memperhatikan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan serta fasilitas komunikasi di Amfoang Timur," kata Romo Beatus.

Romo Beatus mengaku merasakan langsung betapa sulitnya menjangkau Oepoli yang menjadi lokasi pertemuan tiga bulanan imam-imam Katolik itu. "Sekitar 40 imam projo hadir dalam pertemuan itu, dan mereka tidur di rumah-rumah penduduk. Imam- imam itu mendengar keluhan umat dan merasakan langsung betapa terpencil dan terisolasinya Amfoang Timur," katanya.

Atas dasar itulah, tambahnya, imam-imam projo menyerukan kepada pemerintah Kabupaten Kupang, pemerintah Provinsi NTT dan pemerintah pusat untuk memperhatikan pembangunan di wilayah Amfoang Timur yang merupakan salah satu sermabi depan Indonesia dengan negara tetangga Timor Leste.

"Sangat ironis. Wilayah Amfoang Timur kaya potensi pertanian dan peternakan, namun terisolasi. Untuk berkomunikasi dengan pihak lain, kami harus mencari sinyal yang datang dari Timor Leste. Atau panjat pohon kelapa dan asam yang tinggi. Itu pun kami harus jalan kaki lima kilometer dari Gereja Oepoli baru bisa mendapatkan sinyal telepon seluler," katanya memelas.

Apa tanggapan pemerintah? Bupati Kupang, Ayub Titu Eki, ternyata berobsesi menjadikan Kupang sebagai kabupaten unggul di NTT pada tahun 2015.
Wilayah Kabupaten Kupang, diakuinya, kaya potensi alam seperti di Oepoli serta barang tambang seperti batu mangan dan garam, namun belum dikelola maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. "Seandainya potensi sumber daya alam itu dikelola maksimal, saya optimis untuk mewujudkan Kupang sebagai kabupaten unggul pada 2015 bukan mustahil. Selama ini, kita hanya mengidolakan kemiskinan, tetapi tidak pernah mengidolakan potensi SDA yang dimiliki," katanya kepada SPIRIT NTT, Selasa (12/10/2010).

Menuju kabupaten unggul, Bupati Ayub Titu Eki punya strategi pembangunan untuk memacu pertumbuhan ekonomi di desa-desa tertinggal seperti di Oepoli, Amfoang Timur. Strategi itu, antara lain membangun desa bercahaya (energi) pada desa yang tidak terjangkau PLN; pendirian lembaga keuangan mikro di pedesaan; penguatan kelembagaan masyarakat di pedesaan; dan penanganan daerah sepanjang garis perbatasan. "Strategi pembangunan ini kita akan terapkan di Oepoli menuju desa/kawasan tumbuh sejahtera. Kita padukan dengan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat setempat. Itu kekuatan yang harus diaktualisasikan," tandasnya.

Perihal pembangunan desa bercahaya di Oepoli, kata Titu Eki, sebagai langkah awal terwujudnya desa informasi. Harapannya masyarakat desa dapat mengakses berbagai informasi sesuai kebutuhan setempat seperti ketersediaan pupuk, bibit, dan sarana produksi pertanian, harga hasil panen, hasil laut, dan lain-lain. "Mereka juga bisa mengetahui dinamika yang terjadi di daerah dan wilayah lain di Indonesia, sehingga memiliki wawasan yang lebih luas tentang Indonesia. Wawasan pengetahuan ini sangat penting, bukan saja untuk membangkitkan semangat maju dan berkembang serta mengejar ketertinggalan dari kelompok masyarakat lainnya, namun juga semangat untuk menjaga keutuhan NKRI," tegasnya.

Menyoal pendirian lembaga keuangan mikro, Bupati Titu Eki terlebih dahulu menghadirkan rupiah di desa. Wujudnya tidak mengeluarkan izin usaha penambangan (IUP) mangan kepada siapa pun, sebelum ada industri pemilahan dan pencucian mangan serta pabrik pemurnian mangan dibangun di wilayah Kabupaten Kupang. "Sampai saat ini, baru dua investor yang mendapatkan izin prinsip membangun pabrik pemilahan dan pencucian mangan di wilayah Takari, sementara ada tiga investor menyatakan berminat untuk membangun pabrik pemurnian mangan di Kupang," ujarnya.

Menurut dia, jika industri pemilahan dan pencucian mangan itu sudah beroperasi, industri ikutannya seperti pemurnian mangan pasti akan muncul dengan sendirinya. "Mangan di Kabupaten Kupang merupakan barang tambang kelas wahid untuk bahan dasar besi baja dan isi batu baterai, sehingga saya tetap optimistis investor asing pasti akan datang ke Kupang untuk menanamkan modalnya di bidang pemurnian mangan," ujarnya.

Prioritas utama lainnya yang dilakukan Bupati Titu Eki di desa terpencil perbatasan
adalah memperkuat ketahanan pangan, baik desa yang berbasis pertanian, perkebunan, maupun perikanan darat dan laut. Sebab, ketahanan pangan lokal, adalah kunci keberhasilan secara nasional. Layaknya desa terpencil, biasanya mereka masih secara kuat mempertahankan pola hidup subsisten. Yakni, setiap hasil pertanian mereka seperti padi atau jagung, mereka simpan di rumah atau di lumbung untuk keperluan keluarga mereka selama satu tahun. Pola ini terbukti cukup ampuh, sebab mereka tidak perlu panik ketika harga beras di pasaran naik. Mereka tidak mengenal istilah raskin atau kelangkaan beras. Namun, bagi yang hidup di desa terpencil non pertanian padi, mereka masih menggantungkan pemenuhan pangannya dari pejualan hasil kebun maupun tangkapan perahunya. Disinilah peran tengkulak, perantara, atau bandar yang menguasai harga dan jalur pemasaran kemudian menjerat mereka dalam tradisi kemiskinan. "Profil Oepoli sangat pas untuk program ketahanan pangan," tuturnya.

Tampaknya pekerjaan rumah bangsa ini untuk mengangkat harkat dan martabat desa-desa terpencil masih panjang dan berliku. Dibutuhkan komitmen nyata yang bukan sekadar slogan kampanye belaka. Tidak perlu membayangkan jauh-jauh, cukup dengan berpikir dan bertindak agar supaya kebutuhan dasar seperti pangan dan energi ini dapat dijamin ketersediaan dan keamanannya, maka satu langkah memajukan desa-desa terpencil ini sudah dimulai. Ibarat tanaman yang hidup berdampingan di pot besar bernama NKRI, maka sudah seharusnya semua komponen kita rawat bersama-sama. Sehingga benih-benih disintegrasi dan terorisme yang disebabkan kelaparan dan kemiskinan, dapat kita cegah sedini mungkin. Mumpung belum terlambat. Setuju! (benny dasman)

Tidak ada komentar: