Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Mengakrabi Pesona Tana Humba...


Edisi: 08 - 14 November 2010
No. 242 Tahun V, Hal: 1


WAKTU menunjukkan pukul 13.42 Wib ketika saya masih terbang di antara gumpalan-gumpalan awan. Sesaat lagi, pesawat Merpati Fokker 100 yang saya tumpangi mendarat di Bandara Umbu Mehang Kunda-Waingapu.

Selama ini saya hanya mengetahui wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui buku atau percakapan teman-teman. Dalam percakapan itu, semuanya menggambarkan tentang keindahan alam NTT dan penduduknya yang masih memegang teguh adat istiadat. Dan, saya berharap perjalanan ini akan membuktikannya.

Bandara Umbu Mehang Kunda adalah bandara kecil kedua yang saya datangi setelah Bandara Raden Inten di Lampung. Dan, bandara yang ini benar-benar kecil. Maskapai penerbangan yang melayani ke Kota Waingapu, selain Merpati Airlines,
sejenis pesawat perintis, Fokker 100, juga ada Batavia dan TransNusa. Melangkah ke dalam ruang kedatangan, saya disambut dengan keramaian orang-orang Sumba, entah itu penjemput atau porter.

Di bawah jendela kedatangan, saya melihat satu buah converyor belt yang panjangnya tidak lebih dari dua meter. Saya kira, conveyor belt itu sudah tidak berfungsi dan djadikan tempat duduk. Tetapi saya salah. Dan, inilah keunikan pertama yang saya jumpai. Saat trolley bagasi sudah mendekat ke depan ruang kedatangan, saya lihat petugas bagasi sibuk melemparkan bagasi-bagasi penumpang dari luar jendela ke dalam ruang kedatangan, tepat di atas conveyor belt! Astaga! Antara kengerian dan rasa ingin tertawa, saya bilang pada penjemput saya bahwa saya akan ambil sendiri bagasinya di luar. Tidak perlu menunggu kopernya di lempar ke dalam.

Udara di Waingapu, ibukota Kabupaten Sumba Timur ini, kering dan terik. Sesaat sebelum mendarat, saya sempat melihat topografi Sumba Timur ini yang lapang dan berbukit-bukit, kering (lihat Meneroka Papua dan Sumba Timur). Saya sudah menduga bahwa wilayah ini pasti sering mengalami kekeringan. Sempat terpikir bahwa dengan kondisi curah hujan yang sedikit, bagaimana caranya para petani bertani? Padahal sepengetahuan saya, sebagian besar mata pencaharian penduduk di Sumba adalah petani, selain beternak dan bercocok tanam. Pertanyaan tersebut saya simpan untuk nanti.
Barangkali akan saya temukan jawabannya saat bertemu dengan mitra kerja saya atau saat ngobrol langsung dengan masyarakat.

Kedatangan saya disambut oleh penjemput yang sudah siap dengan mobil sewaan. "Selamat datang, Ibu. Mari kita langsung menuju ke kantor," sambutnya dengan logat khas masyarakat Sumba.

"Terima kasih, mari. Omong-omong, di mana lokasi kantornya? Tidak jauhkah dari bandara?" Saya berharap dapat beristirahat sejenak di kantor mitra. "Oh, tidak ibu. Kantor kami ada di Waikabubak. Sekitar enam jam perjalanan dari sini," jawabnya dengan ekspresi datar.

Hmm, sepertinya penjelajahan saya hari itu tidak berhenti di Bandara Umbu Mehang Kunda saja. Tapi tidak apa, pikir saya. Hari belum gelap, dan saya masih punya kesempatan melihat-lihat pemandangan selama perjalanan. Waingapu merupakan kota terbesar di Pulau Sumba yang menjadi bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Timur. Orang seringkali tertukar antara "Sumba" dan "Sumbawa". Pulau Sumba merupakan salah satu pulau di Nusa Tenggara Timur yang memiliki empat kabupaten, yaitu Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, dan Sumba Tengah. Sementara Sumbawa, merupakan salah satu kabupaten di NTB.

Kata "Sumba" berasal dari "Humba" atau "Hubba" yang berarti asli. Masyarakat Sumba sering menyebut pulau mereka sebagai "Tana Humba" atau Tanah Asli, dan memanggil diri mereka dengan sebutan "Tau Humba" atau Orang Asli.

Mayoritas masyarakat Sumba beragama Kristen atau Katolik yang diperkenalkan oleh misionaris Belanda. Namun, bukan berarti masyarakat telah meninggalkan kepercayaan yang diwariskan oleh leluhur mereka. Tercatat sekitar 39 persen penduduknya masih mempertahankan kepercayaan animisme yang disebut "Marapu". Fakta yang membuat saya terkagum-kagum adalah kepercayaan Marapu dan agama Kristen di Sumba dapat berjalan berdampingan tanpa menimbulkan konflik. Pada beberapa desa, kepercayaan Marapu ini justru dapat mendorong terjadinya perlindungan alam, seperti di Desa Watumbelar yang saya kunjungi.

Kuda Sumba
Kekhasan lain dari Sumba ini adalah kuda. Jika di Jakarta saya seringkali mendengar orang-orang meperbincangkan susu kuda liar yang katanya memiliki banyak manfaat untuk kesehatan, maka di sini saya melihat dengan jelas kuda-kuda tersebut hidup liar di alam bebas. Saya perhatikan sepanjang jalan, pada bukit-bukit hijau, kuda-kuda tersebut merumput dengan tenang.

Kuda memang memiliki ikatan historis yang kuat bagi masyarakat Sumba. Ia sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak pertengahan abad ke-18, yang awalnya lebih banyak digunakan sebagai alat transportasi. Daerah ini kemudian dikenal sebagai tempat penangkaran kuda pada abad ke-19, ketika Belanda mulai melakukan perbaikan kualitas dengan cara mengawinkan antara kuda Arab dengan kuda lokal. Kuda baru hasil dari kawin silang inilah yang kemudian menjadi cikal bakal kuda Sumba hingga saat ini, dan dikenal dengan istilah Kuda Sandel (Sandelwood). Kuda-kuda ini juga terkenal sebagai kuda pacuan, yang konon kabarnya harganya dapat berkisar antara 40 -100 juta rupiah, bahkan lebih.

Kuda sebagai bagian dari adat Sumba terlihat dari berbagai macam fungsinya. Di antaranya adalah sebagai bentuk persembahan dalam acara pernikahan dan kematian masyarakat. Kuda juga merupakan simbol harga diri dan kebanggaan. Oleh karena itu, kuda juga dijadikan maskot dan dimasukkan dalam lambang daerah.

Tradisi yang terkenal berkaitan dengan kuda ini adalah pasola. Pasola adalah salah satu upacara tradisional bagi masyarakat penganut kepercayaan Marapu untuk meminta berkah kepada para dewa. Tujuannya agar hasil panen tahun itu berhasil baik. Di Sumba Barat, ritual ini diadakan setiap tahunnya, antara bulan Februari dan Maret.

Pasola dilaksanakan dengan mengadakan acara "perang-perangan" yang dilakukan oleh dua kelompok berkuda. Masing-masing kelompok terdiri dari 100 pemuda yang bersenjatakan tombak berujung tumpul. Dalam permainan ini, terkadang terjadi korban jiwa yang diartikan sebagai hukuman para dewa bagi korban tersebut. Sayang, karena berkunjung saat November, alhasil saya tak sempat menyaksikan acara ini berlangsung.

Rumah Adat
Sepanjang perjalanan, saya hanya melihat sabana yang terhampar luas, sambil sesekali melihat rumah-rumah penduduk pada kampung yang dilewati. Rumah-rumah penduduk bergaya khas Sumba dengan dinding kayu dan beratap rumbia. Ada yang beratap tinggi, namun ada juga yang beratap pendek.

Rumah adat ini merupakan hasil penggabunan aliran Polinesia dan Indochina yang dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu Lei Bangun (kolong rumah) yang digunakan sebagai tempat memelihara ternak; Rongu Uma (tingkat kedua) yang berfungsi sebagai tempat tinggal; dan Uma Daluku (menara atau loteng) yang digunakan sebagai tempat menyimpan bahan makanan dan penyimpanan barang-barang pusaka. Membangun rumah adat tidaklah sembarang. Ada berbagai macam filosofi dan aturan yang harus dipahami. Umumnya, di sekitar rumah juga terdapat kuburan megalitik, dengan batu-batu besar.

Sangat menarik melihat kehidupan masyarakat Sumba yang masih mempertahankan adat kebudayaan aslinya, sekalipun zaman di sekitarnya kini mulai berubah seiring dengan masuknya teknologi dan informasi. Atau barangkali kondisi yang membuatnya lambat melakukan transformasi menjadi masyarakat modern?

Saya pun tidak begitu paham. Yang jelas, masih ada wilayah-wilayah di Sumba yang belum memiliki listrik. Belum lagi permasalahan air yang sulit sekali mereka atasi ketika musim kering. Saat saya berbicara dengan salah satu petani Sumba, beliau hanya mengatakan bahwa selama musim kemarau, sawahnya hanya mengandalkan sistem tadah hujan. Dan, jika hujan tak kunjung datang, mereka bercocok tanam palawija agar dapat menyambung hidup.

Saya menyadari bahwa sebetulnya Nusa Tenggara Timur kaya akan obyek wisata, baik dari segi alam maupun kebudayaannya. Saya barangkali tidak sempat mampir ke tempat-tempat wisata untuk menikmati indahnya alam Sumba. Namun, melihat budaya dan masyarakatnya secara lebih dekat saja sudah cukup membuat saya melihat dunia lain yang sama sekali baru dari bumi Indonesia ini. Dan, saya bangga dengan warisan budaya yang dipegang teguh ini.

Ada beberapa tempat yang bisa dikunjungi di Pulau Sumba. Di Sumba Timur, terdapat Pantai Kalala, Tarimbang, Purukambera, dan Walakiri yang diminati wisatawan sebagai tempat surfing. Begitu juga dengan pesona alam di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. Sementara untuk Sumba Barat, terdapat Pantai Rua/Wanokaka, Pantai Nihi Watu, Pantai Konda Maloba, dan Pantai Marosi. Masing-masing obyek wisata ini memiliki jarak yang cukup jauh. Untuk mencapainya, kita harus menggunakan kendaraan bermotor.

Sebelum pulang, saya menyempatkan diri untuk membeli selembar tenun ikat khas Sumba Timur. Ada perbedaan pola tenun ikat antara Sumba Timur dan Barat. Di Sumba Barat, motif tenun didominasi dengan simbol-simbol sederhana, seperti bunga atau garis.

Sementara di Sumba Timur, motif bisa bervariasi antara naga, singa, burung, atau pohon andung (untuk perbandingan, lihat juga Tenun Ikat Perempuan Sasak di Nusa Tenggara Barat).

Awalnya harga yang ditawarkan adalah Rp 250 ribu. Namun saya tawar saja menjadi Rp 125 ribu. Harga tenun ikat ini memang bervariasi. Jika lama pengerjaannya memakan waktu hingga setahun lebih dan menggunakan pewarna alam, harga jual bisa diatas Rp 1 juta.

Desa-desa yang terkenal dengan tenun ikatnya yang berkualitas, di antaranya, adalah Desa Kaliuda, Kecamatan Pahungalodu; Desa Rindi dan Watuhadang, Kecamatan Rindiumalulu; Desa Rambangaru di Kecamatan Pandawai, dan Kelurahan Prailulu.

Perjalanan saya di Sumba tidak lebih dari empat hari dengan sebagian besar didominasi oleh urusan pekerjaan. Namun dalam waktu yang sempit itu, saya terkesima dengan Sumba: keindahan alam, keramahan dan kesederhanaan penduduk, dan keagungan adat budayanya. Di sini, waktu seakan berhenti.

Di Desa Watumbelar, saya diperkenalkan dengan budaya masyarakat Sumba sebenarnya. Saya merasakan tidur di atas rumah panggung tanpa listrik. Dan kamar mandi pun berada di luar rumah. Masyarakat mungkin masih menunggu hingga modernitas benar-benar menyentuh mereka. Namun yang jelas, keteguhan untuk menjaga nilai dan adat warisan leluhur tidak akan sirna ditelan peradaban yang disebut modernitas. Mari kita lihat, akan seperti apakah Sumba dalam 10 tahun mendatang! (spirit ntt/asyma sianipar)

Tidak ada komentar: