Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tanah Timor Lele Bo...


BO LELE BO, Tanah Timor lele bo, Bae tidak bae, Tanah Timor lebe bae. Itulah sepenggal syair lagu daerah NTT yang pernah ngetop di era 1960-an sampai sekarang. Lagu ini dengan senandung syair dan lirik-liriknya dikemas untuk membangkitkan dua sentimen sekaligus. Pertama, sentimen atau emosi cinta akan daerah asal, cinta tanah air. Kedua, emosi patriotik yakni ajakan kepada setiap anak Timor dimana saja untuk pulang kembali membangun daerah.

Lagu ini penuh sentimentalia jika dinyanyikan pada saat dan tempat yang tepat akan menjadi pemicu semangat, yakni semangat untuk meningkatkan etos perjuangan di rantau dan semangat untuk bekerja membangun anak negeri ibu pertiwi. Tidak heran kalau di perantauan, entah di dalam atau di luar negeri, banyak anak Timor yang sesungguhnya "ingin balik pulang" membangun daerah tapi apa daya panggilan hidupnya sudah tercurah di tempat baru.

Lagu ini muncul dari naluri dan bakat seorang aransemen (penggubah) anonim ketika melihat bahwa Timor meskipun gersang dan tak memberi harapan bagi penduduknya, namun jauh lebih baik dan lebih bahagia ketimbang hidup di perantauan. Hujan emas di negeri orang tak lebih baik daripada hujan batu di negeri sendiri.

Memang, syair lagu ini mengingatkan tentang betapa gersangnya alam tanah Timor. Pulau yang gersang dan berbatu karang, telah melahirkan anggapan miring kepada sebagian orang Indonesia bahwa Timor merupakan tanah yang sementara mati karena tidak dapat memberikan harapan dan kehidupan bagi masyarakatnya.

Bahkan jauh sebelum Bangsa Barat menjajah pulau ini- Portugis dan Belanda, telah memberikan predikat yang sama bahwa Timor merupakan "tanah yang sementara mati", karena tidak dapat memberikan keuntungan secara ekonomi kepada mereka. Anggapannya, para penghuni pulau ini adalah laksana berada di atas kerakap, mati segan, hidup tak sudi. Jika masih ada orang pada masa itu yang masih mempertahankan eksistensinya, bagi orang Barat, hal itu dianggap sebagai mukjizat Tuhan semata-mata.

Karena itulah Timor dianggap memiliki nilai jual (selling-point) kepada kapitalisme. Pertama, karena keprimitifan masyarakatnya yang memiliki daya juang tinggi. Kedua, dibalik keprimitifan itu, ada terkandung mutiara-mutiara budaya dan kekhasan hasil alamnya (melalui perdagangan kayu cendana) yang bisa digali dan dieksploitasi melalui obyek-obyek penelitian. Timor yang kering-kerontang, yang mestinya dijauhi, malah sebaliknya semakin didekati oleh Bangsa Barat karena nilai jualnya. Dan, ujung-ujungnya, lahirlah imperialisme yang semakin menggerogoti tanah Timor dari segala aspek.

Betapa kayanya dan populernya Timor (yang kerontang) dapat dilihat dari lintasan sejarah masa lalu. Jauh sebelum kedatangan bangsa barat, pulau Timor sudah dikenal sejak abad Ke-VII melalui perdagangan kayu cendana putih yang harum mewangi. Pedagang-pedagang Hindu dan Cina sejak abad ke-X sudah mengunjungi Timor untuk membeli kayu cendana. Timor yang sangat kaya dengan kayu cendana, lilin, madu, dan juga mengekspor budak-belian melalui pelabuhan Kupang dan Atapupu, telah mampu menyediakan souvenir dan upeti kepada Kerajaan Hindu-Jawa di Kediri.

Kedua, keganasan alam sedang menghentak-hentak bumi Timor barat. Dalam konteks tersebut, pulau yang berpenduduk hampir 2 juta jiwa itu, seperti sosok yang kurang vitamin dan tidak punya "harapan hidup" lagi. Timor barat (wilayah Indonesia) umumnya gersang dan alamnya cukup keras. Keganasan alam ini berpengaruh pada pengetahuan petaninya masih sangat terbatas. Akibatnya, para petani tidak mampu mengolah lahan pertanian kering. Tak jarang pula mereka kesulitan pangan meski bukan berarti kelaparan.

Bukan itu saja. Problematik yang rumit ini masih lagi ditandai dengan terus meluasnya perladangan berpindah dengan sistem tebas bakar. Tampaknya beberapa hutan berubah menjadi lahan tandus yang terlantar. Munculnya aksi perladangan berpindah karena disiplin adat yang mengatur rotasi dan melindungi hutan larangan sudah mengendur. Maka tak heran, kini makin banyak hutan yang lenyap dan angka erosi pun sangat tinggi.

Kayu cendana, komoditi ungulan yang mengangkat nama Timor juga kini telah lenyap dan tinggal sebuah cerita bagi anak-cucu bahwa Timor dahulu pernah mengekspor kayu cendana. Kepunahan cendana ini lantaran eksploitasi yang berlebihan tanpa kendali dan aksi pencurian yang sulit dikendalikan.

Memang, wilayah Timor cukup kritis dilihat dari penutupan tanah. Ahli rimbawan Dr. Endert yang pernah ke Timor tahun 1941 mengatakan, "Sentral Timor merupakan tanah yang sementara mati". Begitu pula pernyataan Ir. Perk, "Erosi yang sangat dashyat di seluruh Timor adalah sebuah contoh yang menyedihkan".

Bila musim penghujan tiba sungai-sungai meluap dan menghanyutkan jembatan-jembatan dan segera mengering kala kemarau tiba. Seorang insinyur asing pernah menganjurkan untuk menghijaukan Timor, terlebih diprioritaskan pada hulu-hulu sungai sebelum membangun jembatan baru. Banyak usaha penghijauan dengan biaya jutaan bahkan miliaran rupiah, tapi segera tanaman itu lenyap dipanggang terik matahari Timor.

Apalagi kurang pengawasan dan lemahnya kesadaran penduduk untuk turut menjaga masih perlu ditumbuhkan. Program apa saja yang dilaksanakan oleh institusi apa saja selalu kebobolan oleh api, yang mungkin saja datang melalui puntung rokok dan tangan usil yang berotak badak.

Rumput yang disebut oleh orang Timor "hanuwen" (Andropogon caricosus), yang membentuk rumpun yang tebal di musim hujan setinggi antara 25 cm sampai dengan 1,5 meter yang sesungguhnya berumur panjang menghijau di mana-mana dan segera menguning kering pada musim kemarau lalu dilalap api yang disebabkan oleh tangan-tangan usil.

Demikian pula rumput jakut jampang (hukadain). Inilah jenis rumput yang oleh orang Inggris disebut wire graas yang tumbuh subur di Timor, bahkan di kepulauan Nusa Tenggara Timur (NTT). Rumput ini berbentuk lingkaran agak bulat dan cekung, berdiameter lebih dari 30 cm. Jika musim kemarau tiba rumput ini menjadi umpan api bersama jenis rumput lainnya.

Alang-alang atau ilalang (Imperata Sp) tidak boleh dilupakan. Rumput yang daunnya berguna untuk atap rumah rakyat maupun bungalow untuk para turis ini, rumput yang dibenci oleh para petani tetapi disayang oleh pengusaha pariwisata dan para binatang liar, ikut mengundang dan menyerahkan diri kepada api di kala musim kemarau seperti sekarang.

Lepas dari karang, terlihat sabana yang menghampar luas. Rumput bisa setinggi sebatas pinggang bahkan mencapai satu meter lebih. Bila musim penghujan tiba, sabana menghijau dan dari jauh tampak bagai karpet tebal seluas mata memandang. Itulah hewan perumput bergerombol hingga perut gembul kekenyangan.

Musim selalu berganti, ketika kemarau tiba, begitu kering udara. Suhu tak mampu membuat setitik embun pun. Bila hari terik tengah siang, udara di atas rumput bagai tersaput uap panas, sudah begitu, tanah yang semula liat menggelincirkan pecah-pecah menjadi debu yang membumbung ke udara kala dilindas ban mobil. Panas seperti itu selalu diperhitungkan. Bila petani terlambat menanam bakal layulah pohon-pohon jagung sebelum daunnya mekar. Dan, itu berarti keharusan mereka untuk mengubah menu ke ubi-ubian yang tumbuh di ladang, atau pun banting langkah ke toko dengan membeli beras.

Alam memang tak ramah. Adalah deretan bukit cadas yang kering dan gersang yang rumput pun tak terlihat tumbuh merupakan pemnadangan yang bisa disaksikan di wilayah Timor barat. Warna putih, hitam, dan coklat itu bukan hanya melelahkan mata tapi juga menyesakkan hati. Ada memang kehijauan. Yakni hutan di situ berarti kumpulan pohon yang tumbuh jarang-jarang yang mengikuti aliran sungai tanpa air, berkelok-kelok atau di atas bukit-bukit yang memang merupakan hutan larangan.

Dengan kondisi wilayah yang kurang menguntungkan ikut berpengaruh juga terhadap pembangunan. Adanya angin kencang, langkanya air, tingkat kesuburan tanah yang tipis, sistim pengolahan tanah pertanian yang masih mengandalkan otot manusia dan linggis. Meski dalam kondisi yang tidak menguntungkan, justru tidak mengendornya semangat rakyat berjuang di tengah tantangan alam yang keras.

Di alam yang keras dan kering kerontang di musim kemarau, masih terjadi kegiatan ekonomi pasar desa secara mingguan. Pedagang Bugis Makassar membawa barang kelontong, kebutuhan rumah tangga, dan pakaian dari kota. Sementara penduduk dari desa-desa mermbawa sirih, pinang, sayur-mayur, buah-buahan, jagung, ternak kambing, babi dan bahkan anjing.

Timor barat dibagi atas 4 daerah kabupaten, yaitu kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), dan Belu yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste. Mengelola wilayah-wilayah tersebut yang dibarengi dengan kondisi topografi yang berbukit dan bergunung bukanlah tanpa masalah, karena kompleksitas perangai, tingkah laku dan tingkat sosial budaya dan sosial ekonomi , dan masih terisolirnya beberapa desa karena kurang prasarana ekonomi, sarana transportasi, komunikasi, dan iklim. Beberapa masalah dan hambatan dalam pembangunan pertanian tanaman pangan masih turut mengganjal, sehingga panen yang dicapai belum seperti yang diharapkan.

Penduduk wilayah Timor Barat mempunyai ciri konsumtif sama seperti di daerah lainnya di Propinsi NTT. Hasil kegiatan usaha taninya hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masa sekarang dan masa akan datang, walaupun hasil panen melimpah. Para petani belum sepenuhnya berorientasi ke pasar. Prosedur pemasaran hasil produksi memakan waktu cukup panjang apalagi letak pasar terlalu jauh ditambah dengan komunikasi dan transportasi yang sulit. Pembinaan mutu hasil-hasil pertanian masih sangat kurang yang berakibat pula rendahnya harga di tingkat produsen.

Masih ada sekitar 80 persen jumlah petani di daerah ini yang belum memanfaatkan pasca usaha tani dalam kegiatan usaha taninya. Apalagi, pendidikan petani di pedesaan masih berada pada taraf rendah. Hal tersebut menyebabkan lambannya penerimaan teknologi baru. Untuk mengubah pola pikir petani, diperlukan penyuluhan intensif. Tapi kelihatannya masih berjalan lamban dan ini disebabkan kurangnya institusi penyuluhan dan di sini lain belum mantapnya koordinasi di bidang penyuluhan.

Kenyataan menunjukkan bahwa usaha peningkatan produksi pangan selama ini memang mengalami berbagai hambatan; antara lain akibat situasi alam dan iklim yang tak bisa dijinakkan. Faktor lain yang cukup berpengaruh terhadap usaha peningkatan produksi dari tahun ke tahun karena fluktuasi curah hujan yang relatif singkat serta penyebarannya yang tidak merata.

Kecenderungan memusatnya permukiman penduduk di daerah-daerah perbukitan merupakan pertanda bahwa sebagian besar desa-desa di Timor Barat masih diliputi keterisolasian baik fisik, sosial dan ekonomi. Apalagi dengan pola nafkah penduduk desa yang bertumpu pada usaha tani lahan kering dengan teknologi tradisional berupa sistem tebas bakar disertai risiko kegagalan panen yang sangat besar. Maka tidak jarang pada gilirannya produktivitas kecil, pendapatan rendah dan kemiskinan terjadi.

Pada sisi lain timbulnya gejala kerusakan lingkungan dan semakin terbatasnya daya dukung lahan. Akibat dari keadaan ini berdampak terhadap pendapatan penduduk. Ini tentu, diperlukan penanganan yang sungguh-sungguh dan terpadu. Menghayati dan memaklumi akan kondisi daerah ini dengan segala titik kuat dan titik lemahnya, sudah tentu diperlukan adanya penanganan kesatuan wilayah dan lingkungan perencanaan guna terciptanya pola-pola pendekatan, mendorong dan mengangkat nilai-nilai tradisional serta pembenahan aparatur pemerintah untuk berperan dalam pembangunan, dan menumbuhkan harga diri serta mengupayakan nilai-nilai saing yang sehat. (hans itta/hansitta.inilahkita.com)

Edisi: 4 - 10 Oktober 2010, Nomor: 237 Tahun V Hal: 1

Tidak ada komentar: