Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Ringkik Sandel Mulai Sayup-sayup...

PENYAIR Taufiq Ismail meralat puisi Beri Daku Sumba yang ditulis dari Uzbekistan pada 1970. Ini gara-gara bait puisinya berbanding terbalik dengan kenyataan.
"Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh." Bait puisi ini diralat setelah 32 tahun, yaitu ketika Taufiq pergi ke Pulau Sumba, pada 2002. Ia bergumam, "Padahal tak ada gemuruh kuda menuruni bukit. Sungguh." Taufiq benar. Populasi kuda sandel Sumba yang pada 1978 masih 31.764 ekor sudah merosot menjadi 28.804 ekor saat Januari 2010. Itu sebabnya, banyak kalangan khawatir kuda yang menjadi identitas pulau bakal tinggal kenangan.

Salah satunya Ketua DPRD Sumba Timur, Palulu Pabundu Ndima. Dokter hewan ini mengatakan sistem pengembangan ternak di dinas peternakan cukup bagus, hanya tidak dijalankan maksimal. "Aparat di lapangan lemah," katanya. Dia mengakui pengembangan ternak di Sumba sudah mulai dipacu, misalnya dengan pembangunan pusat-pusat pengembangan ternak di ibu kota kecamatan. Dengan begitu diharapkan populasi kuda terus bertambah.


Catatan Dinas Peternakan Sumba Timur seperti yang disebutkan dalam buku The Neigh of Sandalwood Horses, The Fragnance of Sandahvood (2002) menyebutkan populasi kuda malah terus menurun menjadi 28.804 ekor pada 2008. Angka itu sama persis dengan yang dikeluarkan Dinas Peternakan Sumba Timur awal 2010. Artinya, populasi tidak bertambah.

Langkah penyelamatan harus segera dilakukan, antara lain dengan pembatasan pengiriman ternak antarpulau. Pasalnya, setiap tahun pengiriman kuda ke daerah lain cukup besar, berkisar 3.000-4.000 ekor dan perlu ditekan hingga setengahnya.

Asal-usul leluhur bagi Sumba, kuda tidak bisa dilepaskan dari rutinitas sehari-hari. Jarak antarkampung di daerah yang hampir 90 persen wilayahnya terdiri dari belantara dengan bukit terjal tersebut ditempuh dengan berkuda. Kuda juga dimanfaatkan gembala untuk menggiring ternak seperti sapi, kerbau, dan kambing ke padang. Lain lagi di Kabupaten Sumba Barat, ritual pasola wajib menggunakan kuda. Tradisi perang sambil menunggang kuda yang ada sejak ribuan tahun silam masih diwarisi sampai sekarang.

Kabarnya pula, leluhur orang Sumba tiba dengan mengendarai kuda. Itu sebabnya, kuda dianggap keramat. Ia diberi rumah (unta njara) seperti terlihat di Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur. Lokasi itu sekaligus menjadi tempat pemujaan. Itulah pemujaan Marapu, agama asli Sumba, yang mayoritas masih dianut penduduk perdesaan.
Raja Karera, Umbu Hunga Meha, seperti disebutkan dalam buku, sempat berujar bahwa kuda yang baik ialah yang berbadan bulat dan panjang, memiliki pusaran di antara telinga dan di belakang leher bawah. Dari ciri tersebut, jenis kuda yang dimaksud adalah kuda sandel yang populer dengan nama sandelwood.

Nama sandelwood merupakan sebutan Inggris untuk Pulau Sumba, setelah Inggris sekitar 1600-an membawa kuda ke Sumba untuk dikawinkan dengan kuda di sana. Hasil perkawinan itulah disebut kuda sandelwood. Namun, generasi kedua kuda Sumba merupakan perkawinan silang dengan kuda asal Arab sekitar 1800-an dan terakhir kuda asal Australia pada 1990-an.

Mulai 1843, peternakan di Sumba berkembang pesat. Ketika itu kuda sandel setinggi 1,50 meter diekspor ke Arab dan Pakistan. Saat ini kuda sandel berotot kuat dengan tinggi 1,30-1,50 meter juga digunakan sebagai kuda pacu di berbagai kejuaraan pacuan kuda tingkat lokal dan nasional. Di Sumba, kuda bebas merumput di padang penggembalaan seluas 215.797 hektare yang tersebar di seluruh wilayah kecamatan.

Meski begitu, tiap tahun Sumba juga harus berjuang melawan pembakaran padang. Padang yang menguning pada kemarau kadang dibakar dengan tujuan mempercepat tumbuhnya rumput hijau.

Bisnis Menggiurkan
Pembakaran lahan juga yang menyebabkan 33 rumput potensial untuk ternak punah, antara lain jenis Eleiisine indicttgaetn, Cenclinis infkxus R Br, Paniaim colonum L, dan Cynodon dactylon. Bagi Palulu Pabundu Ndima, penyelamatan kuda Sumba tidak berhasil jika sistem karantina dan antarpulau ternak tidak ditata. Saat ini sebanyak 21 perusahaan antarpulau ternak yang beroperasi di Sumba Timur terus membeli kuda dan sapi ke desa-desa untuk dikirim ke Jawa, Sumatra, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.

Di daerah itu, kuda sandel pacu laku sampai Rp 250 juta per ekor, apalagi kuda itu berkali-kali menang di arena. Namun, harga normalnya di Sumba berkisar Rp 2 juta sampai Rp 8 juta per ekor. Mahalnya harga kuda sandel membuat perdagangan hewan ini menjelma jadi bisnis menggiurkan. Maka sayup-sayup ringkik sandel dari belantara Sumba pun perlahan menghilang.

Pakar peternakan Universitas Nusa Cendana, Amoi Manu pun khawatir. Kuda yang menjadi identitas Sumba bakal menyisakan kenangan jika tidak dikelola secara baik. Ada tiga persoalan yang memicu populasi kuda tidak meningkat, yakni penyembelihan kuda pada pesta-pesta adat, antarpulau ternak, dan persediaan pakan yang terbatas.

Menurut dia, satu pesta adat di Sumba menghabiskan ratusan kuda. Pemerintah tidak bisa menghentikan pesta adat karena merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat setempat. Untuk meningkatkan populasi, kata dia, pemerintah daerah harus berani meyakinkan warga untuk tidak menggelar pesta adat berlebihan. Untuk mewujudkan hal itu, katanya, pemerintah jangan hanya menggandeng pakar peternakan, tetapi perlu juga menggandeng para sosiolog dan antropolog untuk bersama-sama mengubah pola pikir masyarakat.

Selain itu, penggembalaan ternak dilakukan bergilir di lokasi tertentu untuk memberikan kesempatan rumput di lokasi lain tumbuh sampai menghasilkan biji. Pasalnya, jika seluruh lokasi dijadikan padang penggembalaan secara bersamaan, rumput tidak berkembang sempurna. "Jika rumput belum menghasilkan biji, tetapi kembali dimakan ternak, dampaknya rumput itu mati."

Dia mengatakan kondisi tersebut sedang berlangsung di Sumba. Karena itu, pada kemarau ternak hanya bisa memanfaatkan pakan yang tidak palatable (tidak enak).
Kepala Dinas Peternakan Sumba Timur, Robert Gana mengatakan pemerintah daerah telah melakukan sejumlah upaya untuk menekan laju pengurangan ternak, di antaranya mencegah pengiriman ternak betina produktif ke luar daerah.

Langkah itu, kata dia, mendapat sambutan positif. "Pusat pembibitan ternak dibangun bersama oleh pemerintah dan warga," katanya. Upaya itu meskipun belum membuahkan hasil maksimal, terus dilakukan. (palce alamo/palce@mediaindonesia.com)

Tidak ada komentar: