Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Pasola Tanpa Panenan, Apalah Artinya...


PASOLA yang berlangsung di Waingapu berakhir rusuh. Penonton dari tiap-tiap kubu saling melempar batu. Darah bercucuran. Ratusan penonton yang hadir, termasuk sejumlah wisatawan mancanegara, pun lari tunggang langgang.

Aparat kepolisian sempat mengeluarkan tiga kali tembakan peringatan, tetapi tidak diindahkan penonton yang mengamuk. Bahkan, ada yang mengangkat parang. Polisi pun langsung menciduk yang bersangkutan.

Agner W Dijkhof dari Tele Pictures International yang asyik mengabadikan foto Pasola pun langsung menyingkir ke pinggir. Namun, dia tidak terkejut karena sudah berkali-kali menyaksikan peristiwa serupa. "Ini biasa dalam pasola," ucapnya sambil tersenyum.

Kepala Desa Wainyapu, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), Oktavianus Ndari merasa malu akan kejadian itu. "Ini bikin malu saja, membuat adat rusak," ucapnya kecewa. Banyak warga juga menggerutu. "Karena ulah beberapa orang, adat jadi rusak," ujarnya.

Bupati SBD, dr. Kornelis Kodi Mete, yang berada di lokasi saat kerusuhan terjadi pun geram melihat perilaku rakyatnya yang brutal itu. "Ini menyimpang dari warisan leluhur. Akan ada hukuman. Leluhur yang akan menghukum," ujarnya.

Namun, Kornelis tetap optimistis. "Setiap Pasola itu pasti ada warna. Sama seperti sepak bola, pasti juga ada keributan. Ini seninya," ujarnya sambil tersenyum.
Kerusuhan terjadi tidak lama setelah Bupati SBD turun dari podium. Kerusuhan dipicu salah seorang pemain yang melempar lembing ke arah lawan, padahal yang bersangkutan sudah berbalik badan. Terbawa emosi, penunggang itu langsung turun dari kudanya dan menantang lawan. Setelah itu, pendukung masing-masing langsung saling mengejek, masuk ke arena, dan kemudian saling lempar batu.

Kerusuhan hampir serupa terjadi pada Pasola di Waiha yang diadakan sehari sebelumnya. Pasola baru digelar beberapa menit, kerusuhan antarpendukung terjadi. Akibatnya, Pasola pun hanya digelar beberapa menit. Lagi-lagi, penonton berulah, bukan pemain.

Pasola sesungguhnya bisa menjadi andalan kemajuan pariwisata Sumba karena atraksi budaya ini sudah diketahui banyak wisatawan mancanegara. Terbukti, dalam setiap acara Pasola selalu ada turis asing datang. Terlebih, saat Pasola di Wanokaka.

Warisan budaya ini tentu bisa menjadi aset untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Namun, bila kerusuhan selalu terjadi, bukan tak mungkin Pasola justru menimbulkan persoalan.

Kemiskinan Akar Masalah
Tradisi Pasola muncul di Sumba sesungguhnya menggambarkan suburnya daerah itu. Pada masa lalu, Sumba dikenal sebagai savana yang subur dan tempat kuda-kuda liar banyak berkeliaran. Pasola sendiri menggambarkan rasa syukur dan ekspresi kegembiraan masyarakat setempat terhadap hasil panen yang melimpah.

Namun, seiring dengan perubahan zaman, kemiskinan melanda Sumba. Di Desa Wainyapu, misalnya, dari jumlah penduduk 533 kepala keluarga (KK) atau 2.493 jiwa, sekitar 431 KK merupakan keluarga miskin. Dari 533 KK tersebut, hanya 51 KK yang memiliki jamban.
Kesulitan air bersih di desa itu membuat rumah-rumah tidak sesuai dengan standar sanitasi yang sehat dan bersih. Mereka yang tidak memiliki jamban keluarga terpaksa membuang hajat di semak belukar, sekitar 50-70 meter dari rumah.

Kebutuhan akan air minum dilayani lima tangki air milik pengusaha Tionghoa setempat. Satu tangki air dihargai Rp 200.000. Air itu diambil dari Tambolaka. Menurut Kepala Desa Wainyapu, Oktovianus Ndari, warga yang tidak memiliki uang bahkan harus berjalan kaki sepanjang 6 kilometer untuk mengambil air dari sungai untuk kebutuhan minum, memasak, dan mencuci.

"Memasuki musim kemarau, April-November, warga Wainyapu dan desa-desa sekitarnya terpaksa mengonsumsi air dari batang pisang. Batang pisang dilukai, kemudian dipasang bambu untuk mengalirkan tetesan air dari batang pisang untuk diminum," katanya.

Hampir 80 persen penduduk desa ini juga tak tamat sekolah dasar atau sekolah menengah. Keterbelakangan Desa Wainyapu merupakan cerminan dari 94 desa miskin yang ada di SBD. Sekretaris Daerah SBD Tony Umbu Sasa mengatakan, jumlah penduduk miskin sampai 60 persen atau 168.000 jiwa dari 280.000 penduduk SBD, yang merupakan asal-muasal ritual Nyale dan berpuncak pada Pasola.

Tingginya angka kemiskinan dan kebodohan ini juga yang mendorong tingginya angka kriminalitas. Hal ini dibuktikan dengan tingginya angka perampokan dalam tahun-tahun belakangan. Perampokan yang sudah menahun di daerah ini juga sulit diatasi.

Barang yang dirampok kebanyakan bernilai status sosial dan adat istiadat. Motif perampokan, selain memperkaya diri, untuk melunasi utang mas kawin, terkadang juga untuk menghambat orang lain naik status sosial dalam masyarakat. Dalam masyarakat Sumba, semakin seseorang memiliki banyak hewan peliharaan, status sosial orang bersangkutan semakin tinggi.

Bupati Sumba Tengah Umbu Pateduk mengatakan, sejak Januari-Februari 2010 sekitar 97 kerbau milik peternak dicuri kawanan perampok. Kerbau itu digiring keluar kandang menuju padang penggembalaan. Namun, sekitar 70 ekor sudah dipulangkan aparat kepolisian setempat, sisanya masih dalam pencarian.

Kasus perampokan ternak di Kabupaten Sumba Timur, SBD, Sumba Tengah, dan Sumba Barat terus mengusik rasa nyaman dan tenang warga. Populasi ternak di Sumba memang ada kecenderungan menurun.

Menurut Kepala Dinas Peternakan SBD Thimotius Bulu, data pengeluaran ternak di SBD menurun. Tahun 2008, kerbau yang keluar 34 ekor, sapi (74), kuda (1.160), total (1.268). Adapun tahun 2009, kerbau (16 ekor), sapi (0), kuda (864), total (880). Populasi ternak di Kecamatan Kodi dan Kodi Bangedo, tempat Pasola diadakan, relatif sedikit. Populasi di Kodi, sapi (557 ekor), kerbau (3.123), kuda (1.112), kambing (456), dan babi (12.800). Di Kecamatan Kodi Bangedo, sapi (382 ekor), kerbau (1.654), kuda (775), kambing (726), dan babi (15.689).

Kemajuan hasil pertanian di Pulau Sumba juga belum menunjukkan hal yang terlalu menggembirakan. Luas panen padi sawah di SBD, misalnya, meningkat dari 3.829 hektar tahun 2008 menjadi 4.340 hektar tahun 2009. Namun, luas panen padi ladang di SBD justru menurun dari 8.390 hektar menjadi 8.368 hektar karena banyak yang puso. Luas panen jagung dari 20.457 hektar turun menjadi 19.050 hektar. Kacang tanah dari 492 hektar menjadi 468 hektar.

Pemerintah Kabupaten SBD bertekad, sampai tahun 2013 status sekitar 80 persen atau 134.400 penduduk miskin sudah naik menjadi warga sejahtera.
Bupati SBD, dr. Kornelis Kodi Mete, mencanangkan empat program pokok, yakni desa cukup makan, desa berair, desa bercahaya, dan desa tenang/tertib. Ditargetkan, sampai 2013 program ini sudah dirasakan 80 persen penduduk SBD.

Masyarakat Sumba menghadapi tantangan tidak ringan untuk mempertahankan, apalagi mengembangkan, Pasola yang menjadi warisan budaya mereka.
Pasola tanpa hasil panen melimpah dan kuda, apalah artinya. Pasola hanya akan menjadi sebuah atraksi belaka tanpa rasa sukacita. Ditambah lagi dengan kebrutalan penonton yang menyertainya, pasti bukan menjadi atraksi yang menyenangkan, melainkan menjadi atraksi mengerikan. (kornelis kewa ama/sutta dharmasaputra/kompas.com)

Tidak ada komentar: