SPIRIT NTT/ISTIMEWA
KERJAKAN SOAL UN--Para siswa sebuah sekolah menengah atas (SMA) di Kalimantan serius mengerjakan soal ujian nasional (UN) tahun 2009. Anggota DPR RI meminta agar standar UN dan USBN setiap daerah agar tidak diperlakukan sama. Selain itu, soal UN diganti menjadi USBN.
JAKARTA, SPIRIT--Komisi X DPR meminta dan mendesak pemerintah dalam hal ini Mendiknas untuk mengganti Ujian Nasional (UN) dengan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), yakni ujian dari masing-masing sekolah dengan penyesuaian soal dari pusat. Selain itu, standar USBN untuk sekolah dasar dan UN tidak diberlakukan sama untuk setiap daerah. Standar untuk NTT, misalnya, harus berbeda dengan daerah lainnya.
Demikian diungkapkan Wakil Ketua Komisi X DPR Heri Ahmadi di Jakarta, Senin (4/5/2009). "Sesungguhnya sejak tahun 2004-2005 Komisi X pernah mengusulkan hal tersebut, tetapi Menteri Pendidikan menolak, namun usulan ujian akhir sekolah untuk tingkat SD pemerintah setuju dengan kami, "kata Heri Ahmadi.
Lebih lanjut Heri menjelaskan alasan mengapa penghapusan UN perlu dilakukan, karena berdasarkan Pasal 28 ayat 1 UU No 23 Tahun 2003 dikatakan, kewenangan untuk menilai berada pada pendidik bukan oleh birokrat.
Selain itu, menurut fungsionaris PDIP ini, UN secara keseluruhan membutuhkan biaya yang tidak sedikit yaitu sekitar Rp 500 miliar, bahkan untuk APBN TA 2009 sebesar Rp 572,850 miliar. "Dengan besarnya anggaran untuk UN tersebut, lebih baik UAS dikembalikan ke sekolah karena dapat menghemat anggaran," jelasnya. Dengan melaksanakan ujian akhir sekolah, sambung Heri, setidaknya secara langsung akan merangsang pelaksanaan UU Guru dan Dosen, karena dalam UU tersebut kualitas guru harus ditingkatkan.
Pada kesempatan ini, Heri menjelaskan bahwa Ujian Nasional dimana kata `nasional' menyandang implikasi bahwa ujian diberikan dalam standar yang telah ditentukan secara nasional.
"Karenanya, UN harus dilakukan setelah dilakukannya pemetaan untuk melihat sekolah-sekolah mana saja yang telah mencapai standar persyaratan, dan setelah dipetakan maka perlu diberlakukan UN dengan standar yang bervariasi sesuai dengan klasifikasi sekolah-sekolah tersebut," terang Heri.
Dari sisi pelaksanaan, ia menambahkan, terdapat beberapa kelemahan diantaranta dilanggarnya azas keadilan, yaitu diberlakukannya standar minimal di seluruh Indonesia, "Tentu saja ini tidak fair karena belum semua sekolah menjadi tanggung jawab pemerintah dalam mendapatkan pelayanan dan perlakuan yang sama dari pemerintah pusat maupun daerah,"tegasnya.
Hal senada juga disampaikan pleh anggota Komisi X Siprianus Aur. Menurutnya, pemetaan tersebut sangat diperlukan. "Jangan standar UN di NTT, misalnya disamakan dengan Jakarta. Siswa di sana akan kelabakan," ujar Siprianus.
Siprianus yang berasal dari Daerah Pemilihan (NTT) itu menambahkan, bahwa sebenarnya yang perlu ditingkatkan adalah mengenai kulaitas pendidikannya.
Dalam hal ini, Heri pun menyebutkan beberapa contoh kasus dari pelaksanaan UN yang muncul, yakni, di daerah Sumut dimana soal UN terindikasi bocor, kecurangan yang ditemukan adalah kunci jawaban, baik dalam bentuk print out maupun tulisan tangan. Di Aceh, ada indikasi kecurangan dari guru yang membantu peserta didik dalam menjawab soal, serta beredarnya jawaban soal di telepon seluler siswa.
Di wilayah Semarang, ditemukan sejumlah peserta didik sempat bingung akibat satu nomor soal UN bermasalah karena tidak jelas instruksinya. Di Bandung, kunci jawaban soal Matematika bocor, dan di beberapa wilayah lain, seperti Kendari, Surabaya dan Bandar Lampung juga ditemukan soal ujian yang bocor. (surya)
KERJAKAN SOAL UN--Para siswa sebuah sekolah menengah atas (SMA) di Kalimantan serius mengerjakan soal ujian nasional (UN) tahun 2009. Anggota DPR RI meminta agar standar UN dan USBN setiap daerah agar tidak diperlakukan sama. Selain itu, soal UN diganti menjadi USBN.
JAKARTA, SPIRIT--Komisi X DPR meminta dan mendesak pemerintah dalam hal ini Mendiknas untuk mengganti Ujian Nasional (UN) dengan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), yakni ujian dari masing-masing sekolah dengan penyesuaian soal dari pusat. Selain itu, standar USBN untuk sekolah dasar dan UN tidak diberlakukan sama untuk setiap daerah. Standar untuk NTT, misalnya, harus berbeda dengan daerah lainnya.
Demikian diungkapkan Wakil Ketua Komisi X DPR Heri Ahmadi di Jakarta, Senin (4/5/2009). "Sesungguhnya sejak tahun 2004-2005 Komisi X pernah mengusulkan hal tersebut, tetapi Menteri Pendidikan menolak, namun usulan ujian akhir sekolah untuk tingkat SD pemerintah setuju dengan kami, "kata Heri Ahmadi.
Lebih lanjut Heri menjelaskan alasan mengapa penghapusan UN perlu dilakukan, karena berdasarkan Pasal 28 ayat 1 UU No 23 Tahun 2003 dikatakan, kewenangan untuk menilai berada pada pendidik bukan oleh birokrat.
Selain itu, menurut fungsionaris PDIP ini, UN secara keseluruhan membutuhkan biaya yang tidak sedikit yaitu sekitar Rp 500 miliar, bahkan untuk APBN TA 2009 sebesar Rp 572,850 miliar. "Dengan besarnya anggaran untuk UN tersebut, lebih baik UAS dikembalikan ke sekolah karena dapat menghemat anggaran," jelasnya. Dengan melaksanakan ujian akhir sekolah, sambung Heri, setidaknya secara langsung akan merangsang pelaksanaan UU Guru dan Dosen, karena dalam UU tersebut kualitas guru harus ditingkatkan.
Pada kesempatan ini, Heri menjelaskan bahwa Ujian Nasional dimana kata `nasional' menyandang implikasi bahwa ujian diberikan dalam standar yang telah ditentukan secara nasional.
"Karenanya, UN harus dilakukan setelah dilakukannya pemetaan untuk melihat sekolah-sekolah mana saja yang telah mencapai standar persyaratan, dan setelah dipetakan maka perlu diberlakukan UN dengan standar yang bervariasi sesuai dengan klasifikasi sekolah-sekolah tersebut," terang Heri.
Dari sisi pelaksanaan, ia menambahkan, terdapat beberapa kelemahan diantaranta dilanggarnya azas keadilan, yaitu diberlakukannya standar minimal di seluruh Indonesia, "Tentu saja ini tidak fair karena belum semua sekolah menjadi tanggung jawab pemerintah dalam mendapatkan pelayanan dan perlakuan yang sama dari pemerintah pusat maupun daerah,"tegasnya.
Hal senada juga disampaikan pleh anggota Komisi X Siprianus Aur. Menurutnya, pemetaan tersebut sangat diperlukan. "Jangan standar UN di NTT, misalnya disamakan dengan Jakarta. Siswa di sana akan kelabakan," ujar Siprianus.
Siprianus yang berasal dari Daerah Pemilihan (NTT) itu menambahkan, bahwa sebenarnya yang perlu ditingkatkan adalah mengenai kulaitas pendidikannya.
Dalam hal ini, Heri pun menyebutkan beberapa contoh kasus dari pelaksanaan UN yang muncul, yakni, di daerah Sumut dimana soal UN terindikasi bocor, kecurangan yang ditemukan adalah kunci jawaban, baik dalam bentuk print out maupun tulisan tangan. Di Aceh, ada indikasi kecurangan dari guru yang membantu peserta didik dalam menjawab soal, serta beredarnya jawaban soal di telepon seluler siswa.
Di wilayah Semarang, ditemukan sejumlah peserta didik sempat bingung akibat satu nomor soal UN bermasalah karena tidak jelas instruksinya. Di Bandung, kunci jawaban soal Matematika bocor, dan di beberapa wilayah lain, seperti Kendari, Surabaya dan Bandar Lampung juga ditemukan soal ujian yang bocor. (surya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar