Spirit NTT, 8-14 Juni 2009
LABUAN Bajo, `kota' nelayan yang terletak di paling Barat Pulau Flores, masuk dalam Kabupaten Manggarai Barat. Terkenal karena merupakan tempat persinggahan turis yang ingin ke Taman Nasional Komodo yang terdiri dari 80 pulau, antara lain Pulau Komodo dan Rinca.
Dari arah laut, kota ini tidak kelihatan karena tertutup dengan banyak kapal yang bersandar. Sejajar dengan pantai ada jalan utama yang hanya sepanjang 2 km yang bernama Jalan Soekarno-Hatta (pada peta website luar negeri disebut sebagai `Trans Flores Highway').
Di situlah berpusat toko kelontong, restoran, hotel, losmen, travel agent, money changer, dive operator, dan tidak ketinggalan salon. Salah satunya bernama `Jalil Beauty Salon'. Dari namanya saja saya pengen ketawa. Persis di depan jendelanya terdapat gentong air besar terbuat dari plastik dan gayung, jadi cuci rambutnya tidak pakai air yang mengucur langsung dari kran. Tukang salonnya ternyata seorang pria hitam, tinggi besar pula. Hehe! Yang menarik, satu kota lampu merah cuma ada satu, itupun tidak berfungsi.
Alat transportasi lokal adalah angkot (disebut juga `taksi') atau ojek, rutenya ya muter-muter di jalan sepanjang 2 km itu dan ke atas bukit. Sinyal handphone cuma ada dua operator yang nyala. Airport-nya bernama sangat sangar: Bandara Komodo - terletak 2,5 km di timur, yang bisa check-in sambil merokok karena petugasnya juga melayani calon penumpang sambil ngebul.
Saat itu kami bertiga (cewek-cewek pula) adalah satu-satunya turis lokal, sisanya ya turis bule semua! Ke manakah turis lokal? Kata mereka, "Jarang, kak. Ada sih turis Indonesia, tapi biasanya dibawa sama pacar bulenya." Haha! Alhasil kami langsung `ngetop' abis, setiap lewat ada aja yang manggil-manggil, meski pada awalnya kami pun selalu diajak bicara dalam bahasa Inggris.
Belum lagi si Jana yang tiba-tiba sering ditelepon oleh para supir taksi eh angkot. Maklum, kami menginap di hotel yang terletak di atas bukit terjal dengan jalan tanah rusak dan tanpa penerangan sama sekali. Karena malas hiking plus angkot yang berhenti beroperasi jam 6 sore, jadilah kami punya koleksi nomor handphone supir-supir yang mau antar-jemput. Yah, Labuan Bajo bak kampung bule. Bukan hanya turis, tapi pemilik hotel, restoran, dive operator sebagian besar adalah bule. Hotel tempat kami menginap dimiliki oleh 2 cewek Belanda yang telah menikah dengan pemuda lokal. Restoran The Lounge dimiliki oleh cewek Inggris.
Dive Operator dimiliki oleh orang Jerman, Belanda, dan Inggris. Taman Nasional Komodo pun dioperasikan oleh perusahaan luar. Bahkan beberapa pulau pernah jadi sengketa karena dimiliki oleh warga asing, seperti Pulau Bidadari yang dimiliki oleh orang Inggris dan Pulau Sture oleh orang Malaysia. Sialnya, mau mendarat ke Pulau Bidadari pun tidak bisa, bahkan kalau merapat ke bagian lain di pulau tersebut sudah ditutup pagar dengan plang `dilarang masuk'!
Hiburan kami tentulah wisata kuliner tapi restoran di sana dibuat untuk mengakomodasi turis asing, jadi jenis makanannya adalah `makanan bule' seperti sandwich, burger, pasta. Restoran yang paling terkenal adalah Gardena, tapi you know kalau berlokasi di tempat terpencil seringnya makanan tidak tersedia. "Tidak ada, kakak," kata pelayannya dengan aksen Indonesia Timur yang kental. Kenapa tidak ada? "Habis, kakak," jawabnya lagi. Titik.
Pelayan di The Lounge, sebuah restoran baru yang tampilannya keren pun jawabnya begitu. Tempat makan favorit saya namanya Warung Arto Moro yang menjual masakan khas Jawa, yang kulkasnya ada tanda tangan Delon. Saya memesan `nasi ikan' seharga Rp 20 ribu, keluarnya ikan kerapu gede, nasi, lalap dan sambal.
Wah, nikmatnya! Yang lucu, di menu ada minuman yang namanya Soda Gelisah - rupanya adalah Soda Gembira dalam bahasa kita. Mungkin dicampur Viagra kali ya? Hehe! Sebenarnya ada sih warung masakan lokal, seperti warung sate kambing dan restoran Padang, tapi kok tiap lewat tutup melulu. "Libur tahun baru," kata orang sana. Buset, lama amat. Tempat dugem paling happening ya Paradise Cafe dengan pemandangan sunset yang spektakuler dan live band lagu reggae.
Oleh-oleh yang paling top adalah kopi Flores yang nikmat dan cabe rawit yang super duper pedas sampe kami bertiga yang penggila sambal bisa KO - sebiji cabe kecil untuk semangkok mie instan aja bikin bibir jontor, hidung meler, mata berair dan jidat pusing! Silakan coba.
Bagaimana menghabiskan 5 hari di Labuan Bajo? Hari pertama adalah hari leyeh-leyeh setelah 3 hari terombang-ambing mengarungi lautan naik kapal dari Lombok Timur. Baru kali ini saya merasa mabuk laut justru setelah berada di dalam kamar hotel: rasanya lantai kamar bergoyang-goyang! Sore hari kami pergi ke Pantai Pede, dimana terdapat hotel bintang empat satu-satunya di propinsi Nusa Tenggara Timur yang baru buka - yang kalau berenang di kolam renangnya diliatin sejuta umat dari balik pagar.
Selanjutnya selama 3 hari berturut-turut kami menyelam dan island hopping melalui operator diving yang satu-satunya dimiliki oleh orang Indonesia, CN Dive. Kapalnya besar, panjangnya 20 m dan hanya berpenumpang kami bertiga. Pemiliknya bernama Pak Condo, beliau lah yang pertama kali merintis wisata menyelam di TN Komodo. Sedangkan Dive Master kami bernama Gusti - kirain orang Bali, nggak taunya singkatan dari Agustinus! Terdapat lebih dari seribu spesies ikan dan ratusan spesies karang dan sponge, belum lagi banyak hiu dan manta ray, karena air lautnya kaya plankton.
Ikan karang yang biasanya kecil, di sini berukuran raksasa, contohnya Trigger Fish, Lion Fish, dan Grouper yang gede bener. Baru kali ini juga saya diving di antara jutaan ikan teri sampai menghalangi pandangan. Pulau-pulaunya pun luar biasa indahnya: pasir putih bersih, laut biru, terumbu karang yang sehat dan beraneka warna, dengan latar belakang perbukitan yang hijau dan langit yang biru. Ah, sedapnya! Meski berarus lumayan kencang, alam bawah laut TN Komodo sampai saat ini menempati urutan pertama spot diving terbagus yang pernah saya selami. Untung nggak ketemu komodo di laut! (naked-travelller.com)
LABUAN Bajo, `kota' nelayan yang terletak di paling Barat Pulau Flores, masuk dalam Kabupaten Manggarai Barat. Terkenal karena merupakan tempat persinggahan turis yang ingin ke Taman Nasional Komodo yang terdiri dari 80 pulau, antara lain Pulau Komodo dan Rinca.
Dari arah laut, kota ini tidak kelihatan karena tertutup dengan banyak kapal yang bersandar. Sejajar dengan pantai ada jalan utama yang hanya sepanjang 2 km yang bernama Jalan Soekarno-Hatta (pada peta website luar negeri disebut sebagai `Trans Flores Highway').
Di situlah berpusat toko kelontong, restoran, hotel, losmen, travel agent, money changer, dive operator, dan tidak ketinggalan salon. Salah satunya bernama `Jalil Beauty Salon'. Dari namanya saja saya pengen ketawa. Persis di depan jendelanya terdapat gentong air besar terbuat dari plastik dan gayung, jadi cuci rambutnya tidak pakai air yang mengucur langsung dari kran. Tukang salonnya ternyata seorang pria hitam, tinggi besar pula. Hehe! Yang menarik, satu kota lampu merah cuma ada satu, itupun tidak berfungsi.
Alat transportasi lokal adalah angkot (disebut juga `taksi') atau ojek, rutenya ya muter-muter di jalan sepanjang 2 km itu dan ke atas bukit. Sinyal handphone cuma ada dua operator yang nyala. Airport-nya bernama sangat sangar: Bandara Komodo - terletak 2,5 km di timur, yang bisa check-in sambil merokok karena petugasnya juga melayani calon penumpang sambil ngebul.
Saat itu kami bertiga (cewek-cewek pula) adalah satu-satunya turis lokal, sisanya ya turis bule semua! Ke manakah turis lokal? Kata mereka, "Jarang, kak. Ada sih turis Indonesia, tapi biasanya dibawa sama pacar bulenya." Haha! Alhasil kami langsung `ngetop' abis, setiap lewat ada aja yang manggil-manggil, meski pada awalnya kami pun selalu diajak bicara dalam bahasa Inggris.
Belum lagi si Jana yang tiba-tiba sering ditelepon oleh para supir taksi eh angkot. Maklum, kami menginap di hotel yang terletak di atas bukit terjal dengan jalan tanah rusak dan tanpa penerangan sama sekali. Karena malas hiking plus angkot yang berhenti beroperasi jam 6 sore, jadilah kami punya koleksi nomor handphone supir-supir yang mau antar-jemput. Yah, Labuan Bajo bak kampung bule. Bukan hanya turis, tapi pemilik hotel, restoran, dive operator sebagian besar adalah bule. Hotel tempat kami menginap dimiliki oleh 2 cewek Belanda yang telah menikah dengan pemuda lokal. Restoran The Lounge dimiliki oleh cewek Inggris.
Dive Operator dimiliki oleh orang Jerman, Belanda, dan Inggris. Taman Nasional Komodo pun dioperasikan oleh perusahaan luar. Bahkan beberapa pulau pernah jadi sengketa karena dimiliki oleh warga asing, seperti Pulau Bidadari yang dimiliki oleh orang Inggris dan Pulau Sture oleh orang Malaysia. Sialnya, mau mendarat ke Pulau Bidadari pun tidak bisa, bahkan kalau merapat ke bagian lain di pulau tersebut sudah ditutup pagar dengan plang `dilarang masuk'!
Hiburan kami tentulah wisata kuliner tapi restoran di sana dibuat untuk mengakomodasi turis asing, jadi jenis makanannya adalah `makanan bule' seperti sandwich, burger, pasta. Restoran yang paling terkenal adalah Gardena, tapi you know kalau berlokasi di tempat terpencil seringnya makanan tidak tersedia. "Tidak ada, kakak," kata pelayannya dengan aksen Indonesia Timur yang kental. Kenapa tidak ada? "Habis, kakak," jawabnya lagi. Titik.
Pelayan di The Lounge, sebuah restoran baru yang tampilannya keren pun jawabnya begitu. Tempat makan favorit saya namanya Warung Arto Moro yang menjual masakan khas Jawa, yang kulkasnya ada tanda tangan Delon. Saya memesan `nasi ikan' seharga Rp 20 ribu, keluarnya ikan kerapu gede, nasi, lalap dan sambal.
Wah, nikmatnya! Yang lucu, di menu ada minuman yang namanya Soda Gelisah - rupanya adalah Soda Gembira dalam bahasa kita. Mungkin dicampur Viagra kali ya? Hehe! Sebenarnya ada sih warung masakan lokal, seperti warung sate kambing dan restoran Padang, tapi kok tiap lewat tutup melulu. "Libur tahun baru," kata orang sana. Buset, lama amat. Tempat dugem paling happening ya Paradise Cafe dengan pemandangan sunset yang spektakuler dan live band lagu reggae.
Oleh-oleh yang paling top adalah kopi Flores yang nikmat dan cabe rawit yang super duper pedas sampe kami bertiga yang penggila sambal bisa KO - sebiji cabe kecil untuk semangkok mie instan aja bikin bibir jontor, hidung meler, mata berair dan jidat pusing! Silakan coba.
Bagaimana menghabiskan 5 hari di Labuan Bajo? Hari pertama adalah hari leyeh-leyeh setelah 3 hari terombang-ambing mengarungi lautan naik kapal dari Lombok Timur. Baru kali ini saya merasa mabuk laut justru setelah berada di dalam kamar hotel: rasanya lantai kamar bergoyang-goyang! Sore hari kami pergi ke Pantai Pede, dimana terdapat hotel bintang empat satu-satunya di propinsi Nusa Tenggara Timur yang baru buka - yang kalau berenang di kolam renangnya diliatin sejuta umat dari balik pagar.
Selanjutnya selama 3 hari berturut-turut kami menyelam dan island hopping melalui operator diving yang satu-satunya dimiliki oleh orang Indonesia, CN Dive. Kapalnya besar, panjangnya 20 m dan hanya berpenumpang kami bertiga. Pemiliknya bernama Pak Condo, beliau lah yang pertama kali merintis wisata menyelam di TN Komodo. Sedangkan Dive Master kami bernama Gusti - kirain orang Bali, nggak taunya singkatan dari Agustinus! Terdapat lebih dari seribu spesies ikan dan ratusan spesies karang dan sponge, belum lagi banyak hiu dan manta ray, karena air lautnya kaya plankton.
Ikan karang yang biasanya kecil, di sini berukuran raksasa, contohnya Trigger Fish, Lion Fish, dan Grouper yang gede bener. Baru kali ini juga saya diving di antara jutaan ikan teri sampai menghalangi pandangan. Pulau-pulaunya pun luar biasa indahnya: pasir putih bersih, laut biru, terumbu karang yang sehat dan beraneka warna, dengan latar belakang perbukitan yang hijau dan langit yang biru. Ah, sedapnya! Meski berarus lumayan kencang, alam bawah laut TN Komodo sampai saat ini menempati urutan pertama spot diving terbagus yang pernah saya selami. Untung nggak ketemu komodo di laut! (naked-travelller.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar