Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Pledang Dilepas ke Laut Sawu


SPIRIT NTT/ALFONS NEDABANG
PELEPASAN PLEDANG--Masyarakat Lamalera melepas pergi pledang Prasosapa untuk mencari ikan paus, setelah upacara misa lefa dan pemberkatan pledang oleh Romo Yakobus Dawan, Sabtu (2/5/2009).
* Nelayan Lamalera Mulai Berburu Ikan Paus
* Diawali Misa Lefa di Kapela St. Petrus dan Paulus
Spirit NTT, 11-17 Mei 2009, Laporan Alfons Nedabang

LEWOLEBA, SPIRIT--
Nelayan di Desa Lamalera A dan Lamalera B, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, mulai Sabtu (2/5/2009), kembali berburu ikan paus di Laut Sawu. Kegiatan yang sudah menjadi tradisi ini ditandai dengan misa lefa yang dilaksanakan di Kapela St. Petrus dan Paulus yang dibangun di pesisir pantai.

Masyarakat dua desa itu, terdiri dari tua-muda, laki-perempuan mengikuti misa yang dipimpin Romo Yakobus. Kaum perempuan mengenakan kain sarung, sedangkan laki-laki dewasa mengenakan kain yang dikenal dengan sebutan novi.
Setelah perayaan ekaristi, dilanjutkan dengan upacara pemberkatan pledang (perahu) yang digunakan nelayan untuk mencari ikan paus. Pemberkatan dimulai dari peledang Prasosapa, pledang yang dianggap tertua. Setelah pemberkatan, pledang didorong ke laut untuk selanjutnya berlayar ke tengah laut. Di dalam pledang ada delapan orang, termasuk juru tikam (lamafa/belawai). Beberapa orang tua menitikkan air mata saat pledang mulai meninggalkan darat.



Romo Yakobus melanjutkan pemberkatan pledang lainnya di rumah pledang (naje). Ada 37 naje di pantai yang panjangnya sekitar 150 meter itu. Ada 19 naje dibangun di sisi kiri kapela dan sisanya di sisi kanan. Naje yang beratapkan daun kelapa dan anyaman daun lontar itu dibangun untuk ukuran satu pledang. Namun, ada beberapa naje yang bisa menampung dua pledang. Pada Sabtu lalu pledang yang lain tidak boleh melaut. Mereka bisa melaut setelah pledang Prasosapa kembali. Kebanyakan mereka masuk laut pada Minggu dan Senin.

Misa lefa disertai pemberkatan peledang sebagai ritual puncak perburuan ikan paus. Selama tiga bulan ke depan (Mei – Oktober) nelayan Lamalera akan berburu ikan paus di Laut Sawu.

Sebelum sampai pada misa lefa, sejumlah ritual dilaksanakan, termasuk ritual adat untuk memanggil roh ikan paus yang dilakukan tuan tanah, dalam hal ini suku Wujon.

Di bawah pimpinan Agustinus Olak Wujon, mereka menyelenggarakan seremoni adat pada beberapa nuba, tempat yang diyakini sebagai tempat persinggahan nenek moyang. Salah satu lokasinya adalah di batu ikan paus di tengah hutan, masuk dalam wilayah Dusun Lamanu, Desa Lamalera A. Batu ikan paus panjangnya sekitar sepuluh meter, menyerupai ikan paus. Sebagaimana di nuba lainnya, di batu ikan paus juga dilaksanakan adat seperti membakar tembakau, tuang tuak, menyiram beras jagung giling serta memecah telur. Ritual adat ini berakhir di laut, dimana enam orang anak suku menceburkan diri di laut. Kegiatan ini diselenggarakan Jumat (1/5/2009) dari pagi hingga siang.

Pada Jumat sore dilaksanakan misa arwah di Kapela St. Petrus. Misa dipimpin Rm. Bartol, dengan tujuan mendoakan arwah para nelayan yang telah meninggal. Perayaan misa ini ditutup dengan penaburan bunga di laut dan pemasangan lilin di pesisir pantai. Ada nelayan yang membuat miniatur perahu dan di dalamnya dipasang lilin bernyala, kemudian dilepas di laut.

Sebelumnya, pada Kamis (30/4/2009), dilaksanakan seremoni adat yang bertujuan untuk melakukan perdamaian. Tutur kata yang salah diselesaikan pada saat itu sebelum dimulainya ritual misa arwah dan misa lefa. Pihak-pihak yang terlibat dalam pertemuan adat tersebut semestinya tuan tanah, suku Wujon dan Tufan (tuan tanah) serta lika telo yang meliputi suku Bataona, Blikololong dan Lewotukan. Namun yang hadir dalam pertemuan yang dilaksanakan di lango kelake (rumah milik suku Bataona) di Lamalera B itu hanya suku Wujon dan suku Bataona. Ritual adat diakhiri dengan pembunuhan ayam lalu darahnya diminum.

Serangkaian kegiatan ini mendapat perhatian dari turis dan diliput wartawan media lokal, media nasional serta wartawan media luar negeri.
Sampai dengan kemarin, nelayan Lamalera belum mendapat ikan paus. Serangkaian ritual yang dilaksanakan diyakini masyarakat nelayan Lamalera mendapat ikan paus. Tradisi ini sudah berlangsung lama. (*)



Titisan Nenek Moyang

PENETAPAN
Laut Sawu sebagai wilayah konservasi ikan paus menunjukkan bahwa LSM WWF (World Wildlife Fund) telah salah alamat. Seharusnya beberapa negara seperti Jepang dan New Zealand yang rajin membantai ikan paus menjadi daerah bidikan, apalagi Indonesia belum menandatangani konservasi binatang langka ini.
Pandangan ini disampaikan Pater Piter Bataona, SVD dalam diskusi terbatas yang diprakarsai Ikatan Keluarga Lembata (IKL) Kupang di Aula Puskud NTT, Walikota Baru Kupang, Sabtu (2/5/2009) petang. Diskusi ini dipandu Ketua IKL Lembata Kupang, Drs. Ignas Bataona.
Hadir sejumlah tokoh Lembata, antara lain Drs. Herman Wutun, MBA, Drs. Rafael Luon, Drs. Bone Pukan, anggota DPRD Lembata terpilih, Alex Lazar, Drs. Daniel Tapobali dan para mahasiswa asal daerah itu. Peserta diskusi yang hadir sebanyak 23 orang.
Menurut Pater Piter Bataona, sejak lama para nelayan Lamalera melakukan konservasi terhadap Laut Sawu. Ia menyebut para nelayan tak akan memburu paus saat bersamaan muncul jenis ikan yang lain. "Sikap ini diambil karena para nelayan tahu bahwa sepanjang musim ikan paus akan melewati perairan itu. Sedangkan jenis ikan lain jarang lewat," katanya.
Selain itu, menurut dia, secara filosofis orang Lamalera meyakini bahwa ikan paus adalah jelmaan atau titisan nenek moyang yang memberi mereka makan dan minum. Sebelum upacara lefa (penangkapan ikan paus, red), para pemangku adat Lamaera menuju ke Gunung Labalekan untuk meminta restu nenek moyang. Dan, menurut keyakinan penduduk setempat, ikan paus merupakan jelmaan nenek moyang berupa seekor kerbau yang turun ke laut kemudian berubah menjadi ikan paus.
Pater Piter mendukung apa yang disampaikan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya beberapa waktu lalu. Ketika itu gubernur mengatakan bahwa jangan sampai Konservasi Laut Sawu itu merugikan masyarakat Lamalera. "Saya mendukung pernyataan Pak Gubernur," katanya.
Hal senada dikemukakan Herman Wutun. Menurut dia, setiap persoalan di Lembata harus menjadi bagian penting dari warga Lembata di Kupang maupun di daerah lain untuk mendiskusikannya. Jangankan masalah konservasi laut, masalah penambangan emas dan hutan lindung seakan menjadi bagian dari warga Kedang dan Leragere saja. (pol)


Tidak ada komentar: