Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Mendandani 'perawan' Sikka

Spirit NTT, 22-28 Desember 2008, Laporan Beny Dasman

MENYENANGKAN.
Pengalaman yang tak terlupakan ketika mengakrabi 'rona- rona' kehidupan warga desa terpencil di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Saat itu, medio Juni 2004, Wolomapa, sebuah desa pegunungan di Kecamatan Kewapante, sebagai tempat 'bertamu' yang pertama. Terpencil tapi maju. Ada geliat kehidupan ekonomi. Terletak pada ketinggian 600 meter dari permukaan laut. Berjarak sekitar 12 kilometer dari Kantor Kecamatan Kewapante. Kondisi jalan desa beraspal, listrik PLN, terjangkau angkutan umum pedesaan rutin setiap hari.

Kehidupan keagamaan sangat dominan mewarnai kegiatan sehari-hari warganya. Banyak terdapat pemakaman di halaman rumah penduduk, khususnya yang terlihat di pinggir-pinggir jalan. Hal ini sesuai dengan pola pemukiman penduduk yang linier.



Penghasilan utama warga di desa ini adalah kemiri, kakao, kopi, kelapa, didukung pemasaran yang terjamin dengan kemudahan transportasi merupakan salah satu kunci kemajuan desa tersebut.

Fasilitas pendidikan terdapat SD, sedangkan SMP, puskesmas serta pasar desa terdapat di Kecamatan Kewapante. Masalah utama yang dihadapi adalah sulitnya air bersih, sehingga masih harus mendrop air melalui mobil-mobil tangki air yang keluar masuk ke pedesaan. Distribusi air bersih tersebut dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Dengan mobil tangki ukuran 5.000 liter, yang harganya relatif, tergantung jarak tempuhnya. Karena itu setiap rumah penduduk umumnya dilengkapi bak penampung air hujan.

Safari berlanjut. Ke Desa Riit, Kecamatan Nita-Sikka. Sebuah desa di dataran tinggi. Desa ini dikategorikan sebagai desa dataran tinggi yang masih tertinggal. Berada pada ketinggian 525 meter dari permukaan laut. Berjarak sekitar 13 kilometer dari kantor Kecamatan Nita di mana terdapat pasar penampungan hasil perkebunan/pertanian dari Desa Riit.

Ciri menonjol desa tertinggal ini adalah kurangnya sarana dan prasarana seperti jalan yang rusak (tidak adanya saluran drainase di kiri-kanan jalan) dan tidak dapat dilalui sewaktu hujan. Di beberapa tempat masih rawan longsor. Angkutan umum tidak ada di sana. Hanya sekali seminggu (sesuai hari pasaran) datang truk untuk mengangkut hasil bumi/ pertanian. Menurut warga setempat, apabila truk tidak datang, maka hasil bumi itu diangkut dengan dipikul ke Kota Nita. Kegiatan penduduk dari hasil kebun/hutan, seperti kemiri, kakao, kopi serta tanaman keras lainnya disamping beternak babi dan ayam. Yang menarik dari desa tertinggal dataran tinggi ini perhatian penduduk terhadap pendidikan anak anaknya cukup diutamakan. Rata-rata anak sekolah lulus SLTA, bahkan ada yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Kupang. Kesulitan untuk mencari air bersih sangat dirasakan, karena harus mengambil air dari lembah/sungai yang berjarak sekitar empat kilometer dengan medan yang curam.

Ada juga desa dataran rendah yang saya akrabi. Desa Korowuwu dan Desa Kolidetung. Saling bersebelahan. Merupakan profil desa dataran rendah tertinggal di Sikka, meski lokasinya dekat pantai.

Kegiatan penduduknya umumnya berladang. Pantainya bergelombang, tidak cocok untuk kegiatan nelayan/ penangkapan ikan. Bahkan abrasi air laut sering menyebabkan gerusan terhadap badan jalan, mengakibatkan Desa Kolidetung tertinggal karena putusnya hubungan transportasi di ruas jalan itu sepanjang 200 meter, serta mengancam robohnya rumah penduduk yang berada di bibir pantai.
Jangan melupakan Desa Bhera. Profil desa dataran rendah yang berkembang. Lokasinya dilalui jalan negara ruas Maumere - Ende (Kilometer 40). Kehidupan masyarakat umumnya bertani, berkebun dan memelihara ikan di kolam (air tawar) seperti ikan lele dan sebagainya serta beternak ayam. KUD-nya maju, sarana ibadah berupa gereja tersedia karena umumnya masyarakatnya beragama Katolik. Sekolah dan pelayanan kesehatan cukup dekat ke kota Kecamatan Paga yang berjarak sekitar lima kilometer.

Ada desa pantai di sana. Namanya Hokor, masuk Kecamatan Bola. Merupakan desa yang diindikasikan desa pantai tertinggal. Terletak di pantai selatan Flores. Meski terletak di tepi pantai, namun Desa Hokor penduduknya hampir tidak ada yang bermata pencaharian utama nelayan/melaut, tetapi pada umumnya bercocok tanam. Kalaupun ada di beberapa tempat yang menangkap ikan, bukan merupakan pekerjaan utama, hanya sambilan pada musim tertentu dan jumlahnya relatif sedikit. Ketinggian pemukiman terdekat dengan pantai mencapai sekitar 30 meter. Penghasilan utama penduduk adalah dari tanaman seperti kopi, kakao, kelapa, mangga dan tanaman keras lainnya.

Desa Hokor terkenal sebagai penghasil 'moke' sejenis arak yaitu minuman yang dibuat dari nira pohon lontar. Jalan desa cukup baik dan setiap harinya dilayani angkutan umum perdesaan untuk mengangkut hasil bumi. Sayangnya, kebutuhan air bersih penduduk umumnya melalui PAH (Penampung Air Hujan). Meski terdapat sumber air di lembah tetapi jaraknya sekitar 600 meter dari pemukiman penduduk. Selama ini penduduk biasa mengambil air ke sumber air tersebut dengan berjalan kaki. Dari kepala desa diusulkan kiranya ada teknologi untuk dapat mendorong air ke atas ke tempat-tempat pemukiman.

Listrik desa diadakan secara swadaya menggunakan generator. Satu hal yang mendukung desa ini adalah adanya potensi pariwisata berupa panjat tebing, tari- tarian daerah, tempat bersejarah dan sumber mata air panas.

Safari ini berakhir manis. Tak terlupakan. Ada kenang-kenangan kain tenun ikat. Motif setempat yang sangat menarik, eksotis. Empat tahun berlalu. Sobat-sobatku di desa ini masih mengabarkan nada-nada keprihatinan. Belum 'merdeka' untuk berkomunikasi. Belum leluasa memasarkan hasil-hasil perkebunan. Jalan masih bopeng. Melewati jembatan darurat seperti di Desa Paradesa, Kecamatan Mego- Sikka. Masih seperti dulu. Kini masih banyak desa-desa terpencil di Flores, bak 'perawan' yang butuh didandani teknologi (komunikasi), agar tidak terkungkung dalam keterisolasian.
***
KONFIGURASI /kontur desa wilayah Kabupaten Sikka ini sangat tajam. Bahkan dalam satu kecamatan dapat dijumpai desa dengan berbagai variasi tipologi yang beragam dan berjarak relatif dekat antara desa satu dengan yang lain.
Permasalahan mendasar yang ditemukan adalah kurangnya sarana dan prasarana seperti telekomunikasi sebagai 'daya pegas' untuk mengembangkan daerah tersebut menjadi lebih 'bermartabat.' Dibutuhkan sarana telekomunikasi yang efektif dan tepat sasaran sehingga lebih bermanfaat dan akan memberikan nilai tambah secara ekonomis bagi warga permukiman.

Selain itu, tersedianya infrastruktur jaringan telekomunikasi akan menjadi daya tarik bagi investor untuk menanamkan modalnya di suatu daerah guna mengembangkan daerah tersebut, terutama untuk sektor pariwisata dan pertambangan. Yang juga tak kalah pentingnya adalah adanya intangible benefit dari penyebaran teknologi seluler ke pelosok-pelosok, yakni meningkatnya kualitas sumber daya manusia yang melek teknologi.

Oleh sebab itu, sebenarnya terbuka peluang cukup besar bagi kalangan swasta untuk berekspansi membangun infrastruktur telekomunikasi di Flores, khususnya pada beberapa desa di Sikka yang dilukiskan terpencil. Kontribusi penting terhadap pengembangan wilayah melalui terbukanya akses komunikasi yang diperlukan masyarakat ini sangat disadari oleh operator selular seperti PT Telekomunikasi Indonesia, PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL) serta operator lainnya.
Dan, disadari juga pembangunan infrastruktur di suatu kawasan membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Biaya jaringan untuk telepon tetap memang terhitung lebih mahal jika dibandingkan dengan jaringan nirkabel. Selain mahal, juga membutuhkan waktu sekitar enam bulan mulai dari penggalian lahan untuk penanaman kabel, membangun sentral, sampai menjual nomor ke pelanggan.

Sementara untuk jaringan nirkabel, pekerjaannya selain lebih murah dan cenderung terus turun, juga hanya membutuhkan waktu sekitar dua bulan sejak pembebasan lahan, membangun menara transmisi BTS, hingga nomor dijual kepada pelanggan. Selain itu, keterlambatan pembangunan jaringan telepon tetap efektivitasnya sangat ditentukan oleh tingkat kepadatan penduduk yang bermukim di jalur jaringan tersebut.

Namun bagi vendor atau operator yang mempunyai kepedulian untuk membebaskan masyarakat daerah terpencil dari sekat-sekat komunikasi, seperti XL, biaya pembangunan sebuah BTS yang mahal, bukanlah kendala. Hanya soal waktu. Dan, semua elemen, pasti mendukung XL yang mau masuk ke daerah terpencil untuk memberikan peningkatan pelayanan kepada masyarakat di bidang komunikasi. Upaya mulia ini harus dihargai karena ini merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat luas. Dalam konteks ini, XL tidak hanya memperhatikan pasar, tetapi melihat kebutuhan masyarakat terhadap komunikasi ini sangat tinggi.

Secara pribadi saya prihatin dengan kondisi desa-desa terpencil di Flores karena 'martabat' warganya berada di titik nol. Gara-gara sekat komunikasi yang sulit ditembus, harga komoditi anjlok. Warga tidak mengetahui perkembangan harga komoditi di tempat lain, misalnya di Surabaya, yang selama ini menjadi poros pasaran komoditi Flores seperti vanili. Posisi tawar para petani pun lemah 'ditelan' para tengkulak. Mereka menjadi tak berdaya oleh kekuatan para renternir. Lintah darat.

Sekat komunikasi membuat pembangunan di bidang lain berjalan di tempat. Potensi-potensi di desa seperti pariwisata hanya menjadi sebuah kebanggaan tak bermakna. Di Desa Bhera, misalnya, ada wisata budaya yang eksotik. Namun tak dapat dikomunikasikan dengan dunia luar karena 'sinyal' tak ada.

Berita menggembirakan perihal keberpihakan XL untuk membuka isolasi komunikasi di kawasan terpencil, membuat saya optimis bahwa pada suatu saat 'perawan' Flores itu akan 'didandani.' Dan, saya merasa sangat bahagia jika seorang petani di Desa Bhera, yang pernah kutemui dulu, setelah bekerja keras bisa berkomunikasi dengan kerabatnya yang jauh. Berkat masuknya XL ke kawasan itu. Dan, ini bukti nyata XL mendukung program pemerintah untuk meningkatkan
pelayanan telekomunikasi kepada masyarakat luas.

Dan, saya pun yakin, XL tidak berhenti berbuat amal ketika mendirikan BTS, menghadirkan sinyal. XL pasti tak membiarkan SDM anak bangsa di kawasan terpencil itu merana. XL akan berbuat lebih, misalnya, mendirikan taman bacaan. Sebab, membaca merupakan kegiatan dasar untuk memperkaya diri dengan segala informasi, ilmu dan pengetahuan. Kekayaan ini mendorong kita untuk semakin berprestasi.
***
HADIRNYA operator seluler di Indonesia saat ini mendapat sambutan meriah dari masyarakat yang membutuhkan sentuhan teknologi dalam setiap aktivitas mereka. Penjualan hand phone menjadi sangat pesat. Gerai-gerai penjualan produk seluler hadir di mana-mana. Namun, untuk kondisi saat ini, tidak merata. Di perkotaan atau daerah urban yang maju berbeda dengan pedesaan yang terpencil.

Maka dari itu, lampu kuning bagi terbukanya persaingan operator seluler untuk mengembangkan jaringannya ke desa-desa terpencil sudah dinyalakan pemerintah. Dan, lampu kuning itu pun sudah menyala di desa-desa terpencil di Sikka dan Flores umumnya. Tinggal operator tanggap dan menindaklanjutinya sesuai program atau rencana kerja yang telah dirumuskan. Bagi seluler, program ini harus dianggap sebagai sesuatu 'yang terberi' karena seluruh rakyat Indonesia berhak untuk memperoleh akses informasi, sehingga tidak berada pada posisi ketertinggalan informasi (digital divide) mengingat selama ini tingkat teledensitas masih sangat rendah.

Kebijakan USO pun menyadarkan kita bahwa pembangunan infrastruktur telekomunikasi merupakan tanggung jawab bersama, antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Dengan USO, semua operator yang bermain di wilayah komersial ikut bertanggung jawab pada pengembangan daerah nonkomersial sehingga tercipta pemerataan kesempatan akses komunikasi.

Operator telepon seluler yang tengah bermunculan saat ini sedang gencar berlomba-lomba memunculkan inovasi berkualitas yang terbaru dari produk-produk telekomunikasi mereka. Mereka (operator seluler, Red) terus memberi perhatian yang lebih untuk mengenali kebutuhan dan keinginan pelanggannya. Semuanya membawa misi yang positif bagi perkembangan kehidupan dan teknologi kepada masyarakat. Semuanya mendukung kepentingan bangsa Indonesia yang tercinta ini.

Seperti yang dilakukan oleh PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL) untuk memuaskan para pelanggannya. Manajemen operator ini menggelar Directors to the Field. Program ini terdiri dari Dewan Direksi, Vice President dan General Manager untuk berbicara langsung dengan para pelanggan. Melalui program ini mereka akan mendapatkan informasi dan pemahaman mengenai apa yang dibutuhkan oleh pelanggan XL. Manajemen XL bisa menanyakan tentang kepuasan pelanggan terhadap layanan XL, menyimak berbagai keluhan pelanggan dan melihat sejauh mana tingkat penyerapan pelanggan tehadap informasi program XL.

Dan, bisnis XL saat ini adalah Consumer Solutions sebagai penyedia jaringan selular dual band melalui kartu prabayar jimat, jempol dan bebas serta pascabayar Xplor dan Business Solutions sebagai penyedia layanan solusi korporat berbasis sirkit sewa (leased line), broadband dan IP (Internet Protocol). Sebelumnya, pada 21 September 2006, XL telah meluncurkan XL 3G, layanan telekomunikasi selular berbasis 3G pertama yang tercepat dan terluas di Indonesia.

Begitu pula dengan Indosat yang menyelenggarakan Program Apresiasi untuk pelanggan. Indosat mengajak pelanggan VIP-nya yang berada di wilayah Jabodetabek menonton bareng film Ratatouille. Indosat secara berkala membuat berbagai program retensi yang ditujukan bagi seluruh pelanggannya, yaitu pelangan Matrix, Mentari, IM3 & StarOne.

Maka dari itu, dengan berbagai macam program pelayanan terbaik yang diberikan oleh para operator seluler, diharapkan masyarakat daerah pemukiman terpencil akan semakin melek terhadap teknologi, dapat mengambil manfaat secara langsung dan semakin menyadari pentingnya penukaran informasi dan budaya serta dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya. Sehingga komunikasi berjalan dengan semakin lancar, menyebar dan menyeluruh, menjangkau semua kawasan dan wilayah regional Indonesia. Serta semakin nyata pula kontribusi para operator seluler di Indonesia yang dapat dinikmati demi perkembangan perekonomian Indonesia pada khususnya dan taraf kehidupan masyarakat dunia pada umumnya.
Ingat, mengabaikan desa-desa tertinggal bukan saja melemahkan perekonomian masyarakat, melainkan bisa berdampak pada masalah kedaulatan negara, terutama untuk pulau-pulau terluar. Di NTT ada beberapa pulau terluar seperti Pulau Batek, Pulau Mengkudu, Pulau Ndana dan sebagainya. Kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan pada 17 Desember 2002 telah membuktikan betapa pengabaian terhadap perlindungan, pengawasan, dan pemantauan akibat keterbatasan akses (komunikasi dan transportasi) telah mencoreng muka kita di dunia internasional, sekaligus mencabik kedaulatan kita atas tanah sendiri.

Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang sangat besar. Posisi geografis yang sangat strategis, iklim yang memungkinkan untuk pendayagunaan lahan sepanjang tahun, serta hutan dan kandungan bumi yang sangat kaya, merupakan modal utama untuk kemakmuran rakyatnya.

Akan tetapi, hingga saat ini, potensi besar itu belum secara nyata memberikan kemakmuran bagi rakyatnya. Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup banyak, yang ditandai dengan kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi.

Pada gilirannya, kondisi tersebut mengakibatkan antara lain, (i) tingginya beban sosial ekonomi masyarakat; (ii) rendahnya kualitas dan produktivitas sumber daya manusia; (iii) rendahnya partisipasi aktif masyarakat; (iv) menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat; dan (iv) kemungkinan pada merosotnya mutu generasi yang akan datang.
Dengan dikuranginya subsidi bahan bakar minyak, maka dana kompensasi tersebut dapat menjadi dana kompensasi yang diarahkan untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai tambah dari produk yang dihasilkan penduduk miskin khususnya di pedesaan. Salah satu upayanya adalah melalui penyediaan infrastruktur pedesaan.

Penyediaan infrastruktur pedesaan ini dengan maksud membuka akses dan mendukung kegiatan produksi, ekonomi, dan sosial yang merupakan komponen penting dalam pengembangan pedesaan. Dengan tercapainya komponen program ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa karena terbukanya kawasan dari keterisolasian desa dan meningkatnya arus keluar masuk barang, terjaminnya air irigasi, dan air minum sebagai kebutuhan dasar, serta prasarana perdesaan lainnya yang akan menunjang meningkatnya produksi dan produktivitas masyarakat desa, serta akan memperkuat komoditi ekonomi pedesaan yang potensial untuk berkembang.

Akses komunikasi sebagai sarana mutlak yang dibutuhkan masyarakat membutuhkan investasi untuk pembangunan sarana telekomunikasi. Menurut penelitian International Telecommunication Union (ITU), pertumbuhan atau penambahan satu persen teledensitas akan memberikan dampak pertumbuhan ekonomi sebesar tiga persen.

Negara ASEAN seperti Singapura yang tingkat pertumbuhannya relatif sangat tinggi, teledensitasnya mencapai 58 persen. Malaysia sudah mencapai 30 persen. Sementara, jumlah satuan sambungan telepon (SST) di Indonesia sangat rendah karena baru mencapai 6,7 juta SST dengan rasio jumlah penduduk sebanyak 220 juta penduduk. Hanya tiga SST untuk per 100 penduduk atau dapat dihitung teledensitasnya hanya tiga persen Hal ini menunjukkan, sebagian besar masyarakat Indonesia belum terjangkau fasilitas telekomunikasi, sehingga tak heran jika pertumbuhan ekonominya juga terbilang sangat rendah jika dibandingkan dengan kedua negara jiran tersebut.

Hal ini terkait dengan SDM dengan item-item seperti jumlah penduduk miskin, tingkat pendidikan masyarakat, tingkat kesehatan masyarakat, dan sebagainya. Seperti juga infrastruktur: jumlah prasarana dasar masyarakat, prasarana pendukung aksessibilitas masyarakat, prasarana pendukung komunikasi, karakteristik daerah, dan kemampuan fiskal. Sebagai bukti kecil, pada daerah pedalaman atau perkebunan yang terpencil, dengan adanya sambungan telepon, maka hasil perkebunan dari daerah tersebut akan dapat menjangkau pasar seluas-luasnya melalui penyebaran informasi pasar yang cepat dan alur komunikasi penjual-pembeli yang mudah. Inilah harapan saudara-saudaraku di Desa Bhera, Paradesa, Wolomapa, Riit dan Flores umumnya. Operator mana yang peduli? Mereka menanti XL. *


Tidak ada komentar: