Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Lamalera, simfoni yang kian pudar

Spirit NTT, 19-25 Januari 2009

Inate amate gena ola, ola kae tode tai/
Tite bai mi ola plau lefa pe bata na mura/
Ara puka ina-amate gena kae/
Tite tode tairo........./

(Nenek-moyang sudah mewariskan kerja ini, karena merupakan kerja, maka haruslah kita jalankan/Kita merasakan bahwa pekerjaan di laut itu sungguh berat/Tetapi karena Nenek-moyang kita sudah mewariskan/maka kita harus menjalankan)
***
LAMALERA dikenal di seantero dunia sebagai satu-satunya desa nelayan karena keunikannya menangkap ikan paus dengan menggunakan peralatan serba tradisional; layar, tali (yang terbuat dari benang kapas, daun gebang dan serat kulit waru), tempuling atau harpun, peledang (perahu) dari kayu, sampan, galah tempat menancapkan harpun untuk menombak, alat untuk menggayung air, gentong air, faje (alat untuk dayung). Nyanyian adat ini oleh masyarakat Lamalera dihayati sebagai sebuah warisan yang harus diwariskan dari generasi ke generasi. Semenjak masuknya gereja Katolik tahun 1886 di Pulau Lembata, tepatnya di Lamalera, prosesi ritual tradisi ini mendapat bentuk baru dengan upaya inkulturasi dari Gereja Katolik. Misalnya sebelum musim lefa atau olanua dimaknai dengan upacara misa di pantai, pemberkatan peledang oleh pastor, doa bersama, dan penggunaan air suci untuk kepentingan upacara bersih diri dari salah dan dosa.
***


MUSIM perburuan ikan-ikan besar, seperti ikan paus, lumba-lumba, pari, dan hiu, dari berbagai jenis oleh masyarakat Lamalera disebut sebagai musim lefa atau yang lebih dikenal dengan nama olanua (mata pencaharian). Prosesi ritual olanua dimulai pada 1 Mei hingga 31 Oktober. Tradisi ini diawali upacara misa dan ceremoti, upacara tradisional di mana seluruh komponen masyarakat Kampung Lamalera duduk bersama di pantai bermusyawarah untuk membicarakan seluruh persoalan kampung, persoalan perburuan dengan berbagai tahapan yang mesti dilaksanakan dalam perburuan itu.

Tradisi olanua ini menjadi unik dan demikian menarik karena rentetan upacara dan segala macam ritual adat dan agama Katolik. Perjumpaan kedua aspek ini menjadi begitu kental dan akrab dalam seluruh proses kehidupan masyarakat Lamalera. Malam sebelum keesokan harinya mereka melaut, semua suku yang memiliki perahu berdoa di rumah adat (rumah suku) masing-masing. Ada sharing pengalaman, ada petuah dari yang dituakan dalam suku. Intinya, masing-masing individu harus dapat menjaga ketenteraman, menjaga tutur kata, tidak boleh bertengkar dengan sesama, tetangga, dalam rumah tangga suami dan istri, anak tidak ada perselisihan, dan pertengkaran. Melanggar semua hal tersebut berarti kerja keras di laut tak membawa hasil. Masyarakat Lamalera meyakini bahwa hubungan antara di darat dan di laut merupakan hubungan sebab akibat. Keduanya saling mendukung dan saling menentukan. Salah, keliru, atau bahkan lalai membagi hasil tangkapan juga akan membawa dampak buruk terhadap proses penangkapan ikan. Karena itu, masyarakat Lamalera sangat menjaga hubungan itu jangan sampai ternoda atau tercela. Seluruh hasil penangkapan ikan, pertama-tama diperuntukkan bagi para janda, fakir miskin, dan para yatim piatu. Mereka mendapat tempat sentral dalam seluruh prosesi perburuan ikan. Dalam setiap nyanyian adat, doa, dan permohonan dari nelayan, kehadiran para janda, fakir miskin, dan para yatim piatu menjadi tujuan utama dari seluruh karya mereka di laut. Dalam tradisi olanua ada aturan di mana masyarakat Lamalera mempunyai komitmen untuk tidak boleh menombak ikan paus atau lumba-lumba yang sedang bunting. Peran lamafa (juru tikam) dalam memilih obyek yang hendak ditombak menjadi sangat penting. Filosofi di balik itu adalah untuk menjaga kelestariannya supaya ikan paus dan lumba-lumba tidak punah.
***
MASYARAKAT Lamalera meyakini bahwa dengan menangkap ikan, lumba- lumba, paus, pari, dan berbagai jenis ikan besar lainnya dapat menghidupi seluruh masyarakat Lamalera, bahkan seluruh Pulau Lembata. Tradisi barter merupakan prinsip yang dianut oleh masyarakat Lamalera dan Lembata pada umumnya. Ikan ditukarkan dengan jagung, padi, beras, singkong, buah-buahan, dan berbagai komoditas pertanian lainnya. Dengan hasil itu masyarakat Lamalera mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi.

Lamalera dengan keunikan tradisi perburuan ikan dan peralatan serba tradisional itu kini secara perlahan mengalami perubahan paradigma. Sebagaimana desa-desa tradisional di daerah lain, Lamalera tampaknya tak kuasa membendung derasnya arus modernisasi dan teknologi yang memasuki seluruh ruang kehidupan. Tradisi dan prosesi perburuan unik ini nyaris terkikis punah. Seluruh aspek sosial, budaya, dan ekonomi yang sangat kental dengan kearifan lokal pun nyaris tak kuat bertahan. Bagi generasi muda Lamalera, suatu tantangan serius untuk melestarikan warisan ini, sebagaimana nyanyian adat di atas yang selalu menjadi kredo masyarakat Lamalera di mana saja. Di hadapan mereka sesungguhnya warisan itu sangat memungkinkan untuk dikemas dalam sebuah pesona pariwisata yang pada gilirannya akan mendatangkan "devisa" bagi mereka.

Sayangnya, peran pemerintah pun agak lalai memerhatikan aspek dan keunggulan tradisi ini sebagai sumber devisa kabupaten, propinsi, bahkan juga negara ini. Tradisi ini mungkin suatu saat hanyalah tinggal sebuah cerita. Ia hanya menjadi sebuah episode akhir dari sebuah perjalanan kisah hidup perburuan ikan dengan peralatan tradisional yang hanya dimiliki negeri ini. Harmoni kehidupan yang lahir dan tumbuh dari prosesi panjang perburuan, yang kaya akan nilai-nilai adat istiadat warisan leluhur, nilai-nilai keagamaan, dan hubungan sosial, hampir bisa dipastikan tak kuat bersanding di tengah terpaan gelombang modernisasi teknologi. Memandang Lamalera kini bagai alunan simfoni yang kian pudar. (bona beding/wartawan dan penulis, tinggal di Jakarta)



Tidak ada komentar: