Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Koordinasi tanpa mencampuri kewenangan

Spirit NTT, 20-26 Oktober 2008, Laporan Pascal Temaluru

KUPANG, SPIRIT--
Kapolda NTT, Brigjen (Pol) Antonius Bambang Suedi, MM,
mengatakan, solusi terbaik untuk mengatasi mis-komunikasi dalam bertugas adalah membangun koordinasi dengan baik dengan tanpa mencampuri kewenangan dari instansi masing-masing.

Hal ini diungkap Kapolda NTT dalam rapat gabungan komisi di Ruang Kelimutu DPRD NTT, Senin (22/9/2008). Rapat ini dipimpin Ketua DPRD NTT, Drs. Melkianus Adoe, didampingi Wakil Ketua, Drs. Paulus Moa, Markus Hendrik dan Asisten I Setda Propinsi NTT, YA Mamulak, S.Ip. Agenda rapat yang dihadiri oleh para pejabat dari Satuan Polisi Ditlantas Polda NTT, pejabat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Propinsi NTT, Dinas Perhubungan (DLLAJ) Propinsi NTT adalah membahas kasus penghentian konvoi kendaraan rombongan Gubernur dan Ketua DPRD NTT pada Kamis, 18 September 2008 yang lalu oleh petugas polisi di Desa Bokong, Kecamatan Takari.

Suedi mengatakan tindakan petugas itu sangat etis karena dilaksanakan dengan bahasa yang etis dan tidak menunjukkan suatu sikap yang arogan, sesuai Pasal 19 Ayat 1 UU No. 2 Tahun 2002. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Polri senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak azasi manusia.

Suedi menolak kata oknum polisi yang tertuang dalam surat Gubernur NTT tanggal 18 September 2008. Hal itu, menurutnya, tidak etis, karena petugas tersebut menjalankan tugas sesuai dengan Undang-Undang. Istilah oknum dapat dikonotasikan adanya suatu tindakan orang per orangan dalam hal ini polisi yang syarat dengan tindakan pelanggaran aturan, norma, atau hukum dan ataupun penyalahgunaan kewenangan.

Suedi menegaskan, sesuai UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan PP No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, hanya petugas kepolisian yang mendapat legitimasi untuk memberikan atau mempunyai kewenangan pengawalan.
Sedangkan Dinas Perhubungan, katanya, baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota merupakan salah satu unsur Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang mempunyai kewenangan terbatas dan di dalam undang-undang tidak diatur tentang kewenangan pengawalan. Bilamana Dinas Perhubungan/PPNS tetap melakukan kegiatan pengawalan dengan didasari oleh UU No. 8 Tahun 1987 tentang Protokol (Lembaran RI Tahun 1987 No. 43, tambahan Lembaran Negara No. 3363) dan PP No. 62 Tahun 1990 tentang Keprotokolan mengenai Tata Tempat, Tata Upacara dan Tata Penghormatan. Hal ini bukan merupakan ketentuan hukum yang mengatur tugas pengawalan, namun lebih mengatur tentang tata tempat, tata upacara, tata penghormatan bagi pejabat, pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat tertentu dalam acara kenegaraan dan acara resmi pemerintah.

Kapolda NTT, Brigjen (Pol) Antonius Bambang Suedi, MM mengemukakan solusinya, yakni senantiasa melaksanakan koordinasi dan kerja sama yang baik dengan tidak mencampuri dan atau kewenangan masing-masing instansi.
Sedangkan berkaitan dengan pengawalan terhadap kegiatan Gubernur NTT dalam rangka kedinasan seperti sebagai Irup dan kunjungan kerja ke luar kota, Suedi mengatakan pihak Polda NTT dengan mendelegasikan tugas pengawalan kepada Dit Lantas Polda akan menyiapkan pengawalan dimaksud. ( humas dprd ntt)



Tidak ada komentar: