Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Cinta sang 'ranger' kepada alam Komodo


SPIRIT NTT/IST
Reptil komodo. Para wisatawan yang mengabadikannya harus dikawal seorang ranger.

Spirit NTT, 8-14 September 2008

JIKA tidak karena cinta kepada alam Pulau Komodo, Manggarai Barat, maka para
ranger di pulau tersebut tidak akan mampu bertahan hingga puluhan tahun. Terlebih lagi harus menghadapi tantangan alam yang tidak "ramah" karena 70 persen kawasan Taman Nasional Komodo berupa padang savana yang sangat panas dan kering.

Ranger adalah sebutan dari wisatawan asing bagi polisi hutan yang bertugas menjaga Taman Nasional Komodo di Kabupaten Manggarai Barat. Saat ini ada sekitar 60 polisi hutan yang bertugas di sana. Salah satunya adalah Yusuf Jenata Hamzah.


Tugas sehari-hari Yusuf Jenata adalah mengawal para wisatawan yang berkunjung ke Taman Nasional Komodo. Wisatawan tidak diperbolehkan jalan sendiri karena akan membahayakan dirinya. Mereka perlu dikawal seorang ranger yang mengenal betul titik-titik lemah komodo. Informasi yang lengkap pun diberikan oleh Yusuf. Tak cuma itu, ia pun melakukan patroli darat maupun laut.

"Kesulitan di lapangan adalah soal fasilitas. Kami mengadakan kegiatan patroli dengan daya dukung sangat terbatas. Misalnya, kami sangat membutuhkan kendaraan air karena di laut ada pelanggaran-pelanggaran, seperti orang mengebom, mencari ikan memakai racun, seperti sianida," kata Yusuf Jenata.

Yusuf bertugas di Taman Nasional Komodo sejak tahun 1983. Selama 23 tahun bertugas, banyak pengorbanan yang harus ia berikan demi cintanya kepada Taman Nasional Komodo. Seorang istri dan tiga anaknya yang tinggal di Labuhan Bajo terpaksa ia tinggalkan setiap 10 hari sekali untuk bertugas.

Untuk tugas yang bagi kebanyakan orang terbilang berat itu, Yusuf Jenata menerima gaji per bulan sekitar Rp 1 juta. Apakah cukup? "Mau bilang tidak cukup, ya cukup. Kenapa saya mau menjadi ranger, itu karena saya merasa terpanggil. Kalau melihat hutan, saya sudah simpati. Melihat rusa rasanya sayang," tutur Yusuf Jenata.

Selama 23 tahun bertugas, sudah banyak rekan satu angkatannya yang "rontok" satu per satu, dan kini tinggal belasan orang. Teman- temannya tersebut mengundurkan diri sebagai ranger karena tidak tahan dengan situasi di Taman Nasional Komodo yang sangat gersang.

"Yang terpenting buat saya adalah bagaimana menjaga Taman Nasional Komodo menjadi kebanggaan bagi bangsa ini," kata Yusuf. Ia
fasih berbahasa Inggris. Ia mengaku belajar bahasa Inggris secara otodidak karena tuntutan harus memberi informasi kepada wisatawan sekaligus mengawal mereka.

"Malu rasanya saat belum bisa berbahasa Inggris. Tapi sekarang ini saya hanya mengerti ngomong-nya saja, kalau disuruh menulis dalam bahasa Inggris tidak bisa," katanya tergelak.

Dulu berburu
Masyarakat di Pulau Komodo dulu hidup tradisional dengan berburu. Akan tetapi, ketika Taman Nasional Komodo dibuka tahun 1980 dan ditetapkan menjadi Cagar Biosfer tahun 1986, serta Warisan Alam Dunia di Indonesia pada tahun 1991-yang diumumkan oleh UNESCO, maka masyarakat pun dilarang berburu di darat. Mereka kemudian menjadi nelayan, mencari ikan di laut.

Komodo kini sudah menjadi bagian kehidupan mereka karena mereka hidup dengan menjual suvenir. Masyarakat pun mulai bergantung pada kedatangan wisatawan ke Taman Nasional Komodo. "Para penjual suvenir dari kampung-kampung itu mengambil mutiara dari Mataram dan dirangkai sendiri. Itu untuk memberdayakan
masyarakat di sini, sedangkan kaus yang dijual bikinan dari Surabaya," kata Kepala Seksi II Taman Nasional Komodo, Vicensius Latief.

Luas Taman Nasional Komodo sekitar 173.300 hektar, yang terdiri atas 40.728 hektar daratan dan 132.572 hektar lautan. Tiga pulau terbesar adalah Pulau Komodo (33.937 hektar), Pulau Rinca (19.627 hektar), dan Pulau Padar (2.017 hektar). Taman Nasional Komodo memiliki dua pintu masuk, yakni di Loh Liang di Pulau Komodo dan Loh Buaya di Pulau Rinca.

Kini populasi komodo tidaklah besar. Di Pulau Komodo ada sekitar 1.200 ekor, di Pulau Rinca ada 1.100 ekor, dan di Pulau Gili Motang ada 100 ekor.
Mengenai kondisi saat ini, Kepala Taman Nasional Komodo, Tamen Sitorus menyatakan, kondisi yang ada-khususnya wisata alam Taman Nasional Komodo-saat ini secara infrastruktur masih memrihatinkan. Namun, pada tahun 2007 dilakukan perbaikan fasilitas seperti kantor seksi yang hampir roboh, juga kafetaria. Sejak tahun 1984, Menteri Kehutanan telah memberi izin konsesi
pemanfaatan pariwisata alam kepada pihak swasta untuk mengelola dan mengembangkan fasilitas eko-turisme yang ada di Taman Nasional Komodo, khususnya di Loh Liang dan Loh Buaya. Sekarang konsesi tersebut dipegang oleh PT Putri Naga Komodo (PNK).

Menurut Tamem Sitorus, PT PNK berkewajiban mengembangkan pariwisata alam yang ada. Mulai dari promosi, penerimaan turis, pembangunan sarana dan prasarana, serta menjaga dan memelihara kawasan.

Selain beberapa fasilitas kantor, juga ada penginapan berupa cottage untuk wisatawan atau peneliti yang ingin menginap di Taman Nasional Komodo. Namun, cottage yang dibangun pada tahun 1980-an tersebut kini kurang representatif dan perlu diperbarui.

Membantu konservasi
Mengenai keberadaan PT PNK di Taman Nasional Komodo, dalam kesempatan yang terpisah, Widodo Ramono dari PT PNK mengatakan, PT PNK kini melanjutkan tugas untuk membantu konservasi Taman Nasional Komodo.
Konservasi tetap menjadi tugas pemerintah, namun PT PNK bisa membantu konservasi tersebut. Menghadapi kenyataan adanya pihak-pihak yang pro dan kontra terhadap izin konsesi pada pihak swasta tersebut, Widodo Ramono menegaskan, PT PNK akan memberikan sharing kepada masyarakat di sekitar Taman Nasional Komodo. Bentuknya, antara lain, dengan melakukan pengembangan komunitas, seperti yang sudah dilakukan sekarang dalam hal penyediaan air minum atau air bersih kepada masyarakat, peningkatan sekolah, sarana kesehatan, hingga sarana peribadatan.

PT PNK pun berupaya memperkuat masyarakat untuk mendapatkan alternatif mata pencarian, seperti membantu unit manajemen keuangan tingkat desa melalui kerajinan tangan, prosesing ikan, dan jahit-menjahit, sehingga mereka bisa meningkatkan penghasilan.

Apa pun upaya yang akan dilakukan berkaitan dengan Taman Nasional Komodo, alangkah baiknya jika segera disosialisasikan kepada warga masyarakat. Tidak hanya di sekitar Taman Nasional Komodo, tetapi juga warga di luar Taman Nasional Komodo. Ini perlu supaya tidak terjadi prasangka yang tidak perlu.
Segala hal yang terkait dengan potensi pariwisata alam di Taman Nasional Komodo diharapkan membawa manfaat bagi warga masyarakatnya.

Jika sudah ada kejelasan-kejelasan, maka akan dengan ringan kita bisa menerima kedatangan para tamu kapal pesiar mewah yang siap melabuhkan jangkarnya di perairan Pulau Komodo.

Mereka tentunya tidak hanya hendak menyaksikan komodo dan eksotisnya Pantai Merah. Keindahan dunia bawah laut dengan ber-snorkeling dan menyelam pun sangat menarik untuk dilakukan. Keuletan dan idealisme para ranger pun dapat menjadi suguhan berarti. "Kedatangan kapal pesiar mewah itu membanggakan, tetapi saya juga sedih karena fasilitas dermaga belum memadai. Ini yang akan kami coba antisipasi," kata Tamem Sitorus.

Yang jelas pada bulan Februari 2007, Direktur Operasi Cruise Costa Crociere, Rocco Auteri, membawa 700 penumpang untuk berpesiar ke Pulau komodo. (elok dyah messwati/kcm)


Tidak ada komentar: