Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wajah memelas orangtua murid

Spirit NTT, 25-31 Agustus 2008

TAHUN ajaran baru sudah berjalan. Sebelumnya, pintu penerimaan siswa baru dari berbagai jenjang pendidikan mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi lebar terbuka.
Disaat pintu ini terbuka, saat itu pula ada dua wajah yang berbeda muncul di hati orang tua dan siswa baru. Bagi orang tua dan siswa baru disatu sisi, ini adalah kebahagian terbesar dalam hidupnya menyambut sebuah babak baru dalam perjalanan pencarian ilmu sang anak, tetapi disatu sisi kebahagiaan itu tertutupi oleh besarnya angka biaya yang harus dipenuhi dalam memasuki pintu pendidikan ini.
Banyak gumam dan wajah memelas orang tua saat menerima kenyataan besarnya biaya masuk sekolah ini. Bahkan kebahagiaan itu ada berbuah keputusasaan untuk dapat melanjutkan pendidikan.

Seperti diberitakan PadangKini.com (9 Juli 08 ) dengan judulnya "Uang Masuk Sekolah Mahal, Uang Pangkal Sampai Jutaan", menyebutkan, "Salah satunya SMAN 10 Padang di Jalan Situjuh Jati. Setiap siswa baru yang mendaftar kesana diharuskan membayar uang pangkal Rp 2,24 juta dengan rincian, sebanyak Rp 1 juta untuk uang pembangunan dan Rp 1,24 juta uang administrasi dan seragam sekolah."

Keadaan seperti ini saya pikir bukan hanya terjadi di SMAN 10 Kota Padang saja, hampir seluruh sekolah di Sumatera Barat mengalamai kondisi yang sama, tentunya dengan tingkat besaran uang pangkal yang berbeda, tetapi intinya sama, yakni adanya uang pangkal yang memberatkan kondisi orang tua.

Dari kondisi seperti ini yang terus berlangsung setiap masuk tahun ajaran baru, tentu adalah wajar jika semakin banyak kepesimisan dan sikap skeptis yang muncul dari masyarakat akan harapan pendidikan yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat, apalagi dengan embel-embel pendidikan gratis.

Melihat fenomena besarnya uang masuk sekolah ini, mungkin perlu kita pertanyakan lagi soal kebijakan besaran uang masuk sekolah ini.

Kebijakan Pemungutan
Pada umumnya kebijakan pemungutan dan besaran uang masuk sekolah ini memang bisa dikatakan legal, karena setiap sekolah dalam pengambilan keputusan untuk sumbangan pendidikan ini, seperti uang pembangunan, uang ekstra kurikuler, uang pakaian, dan sebagainya, biasanya pengambilan keputusannya dilakukan dalam rapat komite sekolah yang dihadiri oleh para wali murid, anggota komite, kepala sekolah, dan majlis guru.

Kegiatan rapat komite ini perlu menjadi perhatian kita bersama. Biasanya rapat komite salah satu agendanya selalu meminta kesediaan para wali murid untuk menyumbang biaya bagi pembangunan atau operasional sekolah.

Pihak sekolah dan komite sekolah biasanya selalu merancang proposal pengajuan sumbangan dari wali murid yang selalu naik tiap tahunnya, dan sayangnya banyak dari wali murid yang kurang kritis dalam menyigi pengajuan dan penggunaan item biaya dari proposal yang diajukan oleh pihak sekolah bersama komite ini.

Jikapun ada wali murid yang merasa ingin mengkritisi proposal yang diajukan tersebut kadang terbentur oleh rasa sungkan karena dianggap tidak mendukung proses pembelajaran anaknya di sekolah tersebut.

Karena itu para wali murid dan pihak yang merasa memiliki kepedulian terhadap pendidikan anak bangsa, diharapkan agar bisa mengkritisi proposal yang diajukan oleh pihak komite sekolah.

Sebagai salah satu contoh yang bisa menjadi catatan bagi wali murid dalam menyikapi proposal yang diajukan oleh pihak komite sekolah ini adalah seperti salah satunya ada item untuk bantuan tunjangan bagi kepala sekolah (namanya bermacam-macam, ada bantuan transportasi, bantuan peningkatan mutu, dan sebagainya).

Pengalaman saya di salah satu SMA di Kabupaten Tanah Datar tiga tahun lalu, ada sekolah yang menganggarkan tunjangan dari sumbangan wali murid ini lebih besar dari tunjangan yang didapatkannya secara legal dari tunjangan jabatannya selaku PNS.

Selain kepala sekolah biasanya para guru juga mendapatkan tunjangan tambahan, inipun namanya bermacam-macam. Ada yang menyebutkan uang peningkatan kesejahteraan, uang peningkatan mutu pendidikan dan sebagainya. Begitu juga komite sekolah juga mendapatkan jatah. Tentunya hal ini tidaklah sama pada setiap sekolah, ada yang mengajukannya juga ada yang tidak.

Kita tentunya tidaklah mempermasalahkan jika ada sekolah yang mengajukan bantuan proses penyelenggaraan pendidikan itu dari sumbangan wali murid, tetapi pertanyaannya apakah kondisi tersebut cukup wajar di saat sangat banyak masyarakat kita yang terhimpit hidup?

Bukankah sekarang para penyelenggara pendidikan sudah menerima gaji dan tunjangan tambahan lainnya dari pemerintah dengan nilai cukup memadai?

Selain itu masih banyak item lainnya yang harus dicermati, seperti biaya pembangunan, biaya penambahan prasarana sekolah seperti komputer, alat laboratorium, meja, kursi dan sebagainya. Karena kadangkala item-item yang diajukan ini juga sudah ada diajukan atau dibantu pengadaannya oleh pemerintah, sehingga terjadi tumpang tindih pendanaan.

Sedangkan untuk biaya uang seragam sekolah, menurut saya ini tidak zamannya lagi untuk dikoordinir oleh pihak sekolah, biar saja masing-masing wali murid atau siswa yang menyediakannya, pihak sekolah cukup memberikan standar dan modelnya saja.

Kondisi pemungutan biaya dari wali murid ini, harus perlu menjadi pertanyaan bagi wali murid dan pemerhati pendidikan. Kepada pemerintah daerah dan legislatif selaku regulator pendidikan juga diharapkan untuk mengawasi praktek-praktek pemungutan biaya oleh pihak sekolah bersama dengan komite sekolah ini, setiap proposal yang diajukan oleh komite sekolah diharapkan ada standarnya dan diperiksa setiap jenis item yang diajukan.

Mari kita lihat dengan obyektif, kita tentunya tidak bisa melengahkan hal ini hanya dengan alasan masih kecilnya anggaran pendidikan, apakah kekurangan anggaran tersebut harus ditutupi dengan sumbangan dari wali murid atau masyarakat yang juga banyak di antara mereka kondisi hidupnya lebih miris penghasilannya dari para penyelenggara pendidikan itu sendiri. (empi muslion Jb/padangkini.com)


Tidak ada komentar: