Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuka - Ohu

Spirit NTT, 25-31 Agustus 2008

HARI masih pagi, sekitar jam enam lewat sedikit. Wokowula kasih keluar berbagai barang dagangan dari kantong terigu yang mulai tampak kowan, lalu mejejerkannya di daun pisang di atas trotoar. Paling kiri ubi tatas, tuka bura dan tuka meran, lalu ubikayu, ai-ohu duur palekat, ai-ohu heret, ai-ohu bura, lantas ohu dan hura, hingga sejumlah keladi-wutik-roset.
"Pas sudah," katanya puas, sambil tepuk-tepuk dia pu tangan, biar bersih dari abu ubi.

Hari kian terang. Pasar Spontan di sekitar perempatan Toko Nita hingga TPI mulai ramai. Para papalele kecil yang mayoritas adalah mama-mama dari berbagai pelosok kampung duduk berjejer manis macam menequin hitam di emper-emper tetokoan itu. Dan disitulah Wokowula terselip, duduk plage di atas kantong terigu kowan. "Dua jam lagi sa su pulang ka," katanya optimis seraya menatap penuh harap ke setiap calon pembeli yang lalu lalang di depan jajaannya.
"Ubi ni berapa, Om?"
"Satu kumpul tiga ribu, Bapa..."
"Hahahaha...!!!"

Tersinggung, Wokowula mendongak ke si penertawa itu. "Poki ayam kau Eja Jose!" Jose tertawa geker, Wokowula terkekeh glakar, para mama terheran-heran.
"Sapa suru ko dadi papalele, Eja?", tanya Jose tanpa basa-basi. "Kenapa kau bisa duduk teka di sini e? Ubi, ubi, ubi, oi semuanya ubi!"

Tidak jawab itu pertanyaan, Wokowula malah tarik-sentak Jose pu tangan.
"Botak cerewet, kau pu ubi bakar tu! Duduk sini." Kemudian Wokowula mulai cerita ba'a te ia... Bahwa mereka di Bagian Timur sekarang susah. Kakao belum juga berbuah. Andalan petani sekarang justru kelapa, yang sekian lama ditelantarkan. Sialnya, banyak petani telah tebang buang mereka pu kelapa.
"Mau lapor lapar pada pamarentah, kami malu. Masa tiap tahun ngemis terus. Kami harus cari solusi sendiri. Maka saya te tota lalan teÆa pleur tuka-ohu-hura di Toko Nita sini. Ewe we ko wula rua ba'a ge, Keran Doset....."
"O...," begitu saja Jose kasi respons.
"Tuka ini saya ambil dari Pruda. Ohu-Hura saya ambil dari PaluE. Ai-Ohu saya ambil dari Habi-Watuliwung."

"Tapi kau jual di sini orang marah ka, Teman...," tanggap Jose.
"Tida te.... Su tidak ba'a. Dulu memang dilarang, tapi sekarang boleh. Malah laku sekali!!! Betul teman, laku sekali. Kau tau sebabnya?" tutur Wokowula antusias.
Jose diam saja, hanya matanya melotot macam gong matan.

"Karena kami didukung pemerintah. Bupati Aman Moat Sosimus nora Wakil Bupati Aman Moat Damianus su kasi parenta ke semua pegawe untuk beli tuka-ohu-hura-mu'u sebagai makanan utama di setiap acara resmi kepemerintahan, seperti rapat-rapat atau pelantikan apa ka apa. Tidak boleh lagi roti-kue-snek dari toko-toko. Yang boleh justru pisang dan ubi dari petani. Rakang golo.... Hebat inan-puan... Maka, ami mai te'a-pleur ge poi te jam sembilan-sepuluh laku sawe ba....

"Ia ka?" tanya Jose.
"Ia ka!!! Malah semua air dos.... macam Aqua, ATM, harus diganti dengan air biasa yang dimasak dari unu Wolokoli...." papar Wokowula.
"Oi, mirip gerakan swadesi Mahatma Gandi ya...." Jose tampak terpesona.
"Dan Teman, di Kecamatan Alok Timur, Moan Camat Boseng justru su lama praktekkan. Mereka di situ tidak lagi makan di piring kaca tapi di anyaman daun lontar. Pigang rebu diganti dengan wajak."

"Oi, kalo begitu kau su makmur ka teman...."
"Makmur apa, pukiayam! Tapi.... memang sekarang ini lain. Kebijakan Tuka-Ohu itu sangat membantu kami, teman. Soba eÆon ha ami susar liwat ge..."
"Luar biasa..." imbuh Jose.

"Memang. Dulu pamarentah suruh petani lestarikan tanaman pangan lokal namun tanpa menyiapkan pasar. Alhasil ita leur wi wawi.... Sekarang pasarnya disiapkan, maka petani akan dengan sendirinya menanam ubi-ubian itu, dan memperoleh uang. Untung jugalah kami yang papalele kecil ini.... Sistem ini akan menolong proses pemberdayaan ekonomi masyarakat sekaligus memperkuat ketahanan pangan kita....," Wokowula mulai berkicau dengan melaju khas pejabat.

Tiba-tiba ada teriakan: "LARI. LARI." Dan mama tua-mama tua di ujung jalan lari sira-wirang. Jose dan Woko serentak berdiri. "Ada apa? Apa da'a?"
"Pol Pepe! Pol Pepe! Operasi trantib."

Dengan panik Wokowula lari ilang ke Timur. Dengan bingung Jose ikut lari sambil tole, lari tole, lari tole.... Depan Toko Ambon keduanya berhenti.
"Tadi kau bilang aman!" protes Jose.
Wokowula malas jawab.

"Hoeee! Tadi kau bilang aman!" Jose protes terus.
Wokowula tole juga tida. Mukanya pucat.
"Ancur sa pu ubi... Ancur sa pu ubi..." Lama Wokowula meratap dalam senyap.
Agak lama kemudian, Jose berniat menghibur, "Sudah, Teman... Toh tak semua ubi kau hancur...."

"Tak semua bagaimana???!!! Semua tertinggal di sana juga???!!!"
"Tidak, Teman... Kau justru sudah menyelamatkan kau punya ubi terbaik...."
Sejenak Wokowula terdiam. Lalu berangsur-angsur sadar, dan langsung meradang: "Pokiayam, kau bo'o walong saya ka???!!! Kau noka wado neku???!!!"
Jose menghindar, Wokowula kejar. Mereka lari tertawa di depan Toko Kuda Mas ke atas.* (even edomeko)



Tidak ada komentar: