Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Kemerdekaan berdarah, rakyat mencari jembatan emas


Oleh Kuirinus Kabul, MH * Spirit NTT, 25-31 Agustus 2008

JUDUL tulisan ini tidak bermaksud menggugat 63 tahun usia kemedekaan RI. Tetapi untuk mengingatkan para kepala daerah yang telah dipilih rakyat bahwa darah para pahlawan adalah benih-benih kehidupan baru bagi rakyat dan negara ini.? Benih itu harus mati untuk menghasilkan banyak buah.

Pertanyaan kita adalah mengapa rakyat di Propinsi Nusa Tenggara Timur masih berada di bawah penjajahan kemiskinan dalam berbagai bentuk? Di mana para pemimpin? Untuk apa pekik kemerdekaan itu?

Pada usia 63 tahun kemerdekaan, mestinya tidak ada lagi "piramida korban manusia", seperti rakyat yang busung lapar, kurang gizi-malnutrisi, anak-anak tidak punya uang sekolah atau tidak punya uang buku sehingga putus sekolah, pola pertanian warisan nenek moyang (bergantung pada takdir alam) dan masih banyak masalah mendasar lainnya.

Artinya, mungkin berlebihan kalau dikatakan Kemerdekaan sebagai jembatan emas masih sebatas sebuah utopia, bahkan menjadi obat bius supaya rakyat terlelap merangkul kemiskinannya, tidak perlu berontak. Di pihak lain, kelompok-kelompok shadow state sibuk mengumpul kembali harta yang pernah dikeluarkannya untuk sang VVIP, dengan cara meninggalkan perannya sebagai agen perubahan pembangunan masyarakat.

Tidak ada kata terlambat kalau sekarang kita mulai memberikan kemerdekaan itu kepada rakyat yang empunya jembatan emas itu. Beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai proses pemerdekaan rakyat di Propinsi Nusa Tengara Timur adalah:

Pertama, bentuk Ikatan Bupati Nusa Tenggara Timur. Para bupati perlu membuat suatu organisasi bupati se-Propinsi Nusa Tengara Timur. Tujuannya adalah membuat Road Map Development Program sebagai tonggak arah pembangunan daerah. Dengan ini, arah pembangunan jelas dan sasaran yang mau dicapai terukur.
Contoh, antara lain, pertama, bidang pariwisata yaitu membuat integrated destination program. Kedua, bidang pertanian yaitu pengembangan varietas tertentu di beberapa kabupaten. Ketiga, bidang pendidikan yakni kerja sama pengelolaan pendidikan dengan beberapa sekolah bermutu, membentuk pendidikan mandiri. Keempat, bidang perdagangan yaitu kerja sama antarkabupaten mendirikan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan bidang usaha sesuai dengan komoditi sehingga hasil pertanian para petani memiliki pasar terdekat. Dan masih banyak hal lain yang bisa dilakukan. Apakah gubernur terpilih dapat menjadi fasilitor terbentuknya lembaga ini?

Kedua, penciptaan pasar kain tenun (ikat). Setiap daerah (sebelum ada pemekaran kabupaten) memiliki tenun ikat dengan berbagai motif. Pasar membutuhkan informasi tentang jumlah kelompok tenun, kapasitas produksi sebulan. Masalah ini harus bisa dijawab dan diatasi oleh Dinas Perdagangan daerah. Salah satu cara adalah membentuk rumah produksi kain tenun ikat di setiap desa sehingga memiliki kepastian pasar. Setiap desa ditempatkan satu orang ahli tenun ikat. Selain tempat produksi, juga kegiatan-kegiatan pembinaan keterampilan generasi muda, pembinaan peningkatan mutu, dan masih banyak kegiatan lain. Upaya ini sekaligus menciptakan lapangan kerja baru.

Kalau para bupati berhasil mendirikan BUMD, maka prusahaan ini yang akan memasarkan hasil produksi tenun ikat atau dalam bentuk transfer price dari kelompok tenun desa dengan BUMD.
Pasar yang sudah ada yaitu setiap pegawai negeri, lembaga pendidikan (pegawai/guru, siwa/i), kantor-kantor swasta, termasuk berbadan hukum maupun perorangan, wajib berpakaian seragam menggunakan bahan tenun ikat daerah setempat setiap hari (Senin sampai Sabtu). Bupati harus berani menerbitkan Peraturan Daerah mengenai pakaian seragam.

Hal demikian sekaligus menciptakan dan menegaskan identitas kedaerahan yang besifat terbuka sebagai kekayaan budaya nasional sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi pedesaan. Itulah buah-buah kemerdekaan.

Ketiga, pariwisata. Para tamu asing (baca: turis) sering menyebut obyek-obyek wisata di Propinsi NTT dengan small paradise. Obyek-obyek wisata yang ada sebagian besar masih asli, belum dikosmetik. Ada beberapa masalah yang dihadapi para turis, antara lain, pertama, lapangan terbang: ketidakpastian jadwal penerbangan, toilet tidak bersih, microfon tidak ada, para penjemput tamu - guide tidak memiliki identitas yang bisa langsung diketahui; Kedua, hotel/penginapan: air kamar mandi dan toilet tidak bersih, pelayan hotel tidak memakai seragam atau identitas hotel; Ketiga, transportasi laut: perahu-perahu bermotor untuk tamu wisata hendaknya memiliki ciri khas sendiri seperti dicat menggunakan warna tertentu; Keempat, kesehatan: klinik, apotek masih sangat kurang; Kelima, telekomnikasi: internet (warnet) belum ada; Keenam, budaya: hilangnya beberapa tarian dan upaya adat, belum terkoordinir barang-barang ukiran, rajutan, anyaman. Belum lagi masalah-masalah kebutuhan hotel dalam hal makanan dan minuman yang harus didatangkan dari propinsi lain.

Sektor pariwisata mestinya menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Pemerintah harus memberikan perhatian serius terhadap sektor pariwisata karena memiliki multiply effect, antara lain terhadap penyerapan tenaga kerja, penerimaan daerah, pertumbuhan ekonomi masyarakat. Salah satu masalah yang perlu dipikirkan adalah berapa banyak uang dari tamu beredar di daerah dan selang berapa lama uang itu keluar daerah? Hal ini untuk mengetahui multiply effect of tourism.

Keempat, hutan dan air. Hutan dan air telah menjadi masalah sangat serius di berbagai belahan bumi ini. Hutan yang gundul dituding menjadi penyebab berkurangnya debit air, sawah-waduk mengering, longsor di mana-mana, panas bumi meningkat, dan berbagai macam penyakit bermunculan. Tuduhan tersebut mengaburkan keserakahan manusia untuk menaklukkan alam. Walaupun demikian, manusia mulai sadar bahwa hutan dapat menentukan hidup atau mati, sejahtera atau sengsaranya hidup manusia.

Supaya tidak berhenti saling menyalahkan, saya berpendapat pembangunan pedesaan (pembangunan daerah) harus dimulai dari pembangunan hutan. Pertama, pemerintah harus melihat kembali dan membangun hutan di area-area yang berada pada register zaman Belanda di bawah pengawasan dinas kehutanan. Kedua, setiap keluarga harus menanam pohon sebanyak minimal 1000 pohon, bibitnya disiapkan oleh pemerintah tanpa bayar untuk kebutuhan pemilik lahan. Apabila setiap keluarga sudah memiliki hutan keluarga, maka pemerintah mengeluarkan peraturan daerah tentang pelarangan pengambilan kayu dalam kawasan hutan lindung sehingga law enforcement ditegakkan, tidak tebang pilih.

Pertanyaannya, mengapa mulai dari hutan? Jawaban sederhana mengatakan, di mana ada konsentrasi hutan hampir pasti di sana ada mata air. Di mana ada air di sana pasti ada kehidupan. Air diperlukan untuk kepentingan apa saja yang tentu memberikan kehidupan. Misalnya, untuk mengairi pertanian basah dan kering.

Ben Mboi, pada masa kepemimpinannya, pernah mencanangkan program Nusa Hijau (selain Nusa Makmur). Ketika itu sang Gubernur menyadari pentingnya hutan bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Akan tetapi begitu sang Gubernur meninggalkan Propinsi Nusa Tenggara Timur, tidak ada lagi pemimpin yang mempunyai kesadaran seperti itu. Yang ada, kesadaran terbalik yaitu berlomba-lomba membabat hutan dengan diizinkannnya mesin pemotong kau masuk hutan.

Belum lama ini Harian Kompas kolom tokoh menulis seorang misionaris Societas Verbi Divini (SVD), Pater Marcel Agot, SVD, tentang upaya beliau menaklukkan kegersangan salah satu wilayah di Kabupaten Manggarai Barat. Dengan tangannya sendiri dia hari demi hari menanam berbagai jenis pohon yang akhirnya menjadi kawasan hutan. Di tengah hutan yang dibangunnya itu mengalir mata air membentuk kolam. Proficiat Pastor!

Dibanding dengan seorang P Marcel, pemerintah yang memiliki departemen kehutanan mestinya bisa berbuat jauh lebih banyak daripada sang misionaris. Pak bupati, apa yang salah dalam pengelolaan pemerintahan? Mungkinkah harus lebih rendah hati untuk belajar dari sang misionaris?

Keempat, pembangunan pertanian-perkebunan.
Kalau masih ada ruang kejujuran tentu kita mengakui bahwa sebagian besar kegiataan pertanian atau perkebunan rakyat masih sangat tradisional, benar-benar bergantung pada determinasi alam, hampir tidak banyak sentuhan kebijakan pemerintah secara merata. Misalnya, subsidi pupuk dan pestisida, bibit unggul, dll. Padahal, sumber daya manusia untuk bidang pertanian dan perkebunan boleh dibilang cukup karena di sana ada lembaga pendidikan pertanian, seperti di Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang ada fakultas pertanian dan fakultas peternakan, dan ada beberapa sekolah menengah pertanian.

Kekuatan ekonomi nasional itu ada di desa. Majunya desa menjadi piramida ketahanan nasional, dan sebaliknya, mundurnya ekonomi desa menjadi virus keambrukan ketahanan bahkan pertanahan nasional. Maka ekonomi desa harus benar dibangun tidak sekadar bersifat substitusi - untuk kepentingan kebutuhan rumah tangga, tetapi juga bersifat komersial.

Setelah pembangunan hutan yang dapat menghasilkan air, faktor lain yang turut mendukung pembangunan ekonomi desa adalah penempatan ahli-ahli pertanian di setiap desa. Tujuannya adalah membimbing para kelompok tani dan mengatasi masalah-masalah yang dihadapi para petani. Berilah peran dan kewenangan yang cukup kepada pegawai-pegawai PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) atau Gerbades (Gerakan Membangun Desa), berilah fasilitas yag memadai kepada pegawai-pegawai di lapangan (ironisnya fasilitas lebih banyak diberikan kepada pegawai yang kerja administrasi di kantor). Bangunlah ekonomi desa agar hidupmu panjang dan sejahtera.

Kelima, pendidikan. Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu tetap menjadi basic need suatu perubahan. Banyak faktor yang dapat mendorong tercapainya mutu SDM. Antara lain faktor keluarga, budaya, agama, ekonomi, politik, lembaga pendidikan. Khusus untuk pendidikan formal, Paul Freire dalam salah satu bukunya mengatakan, politik pendidikan negara berkembang adalah melayani kepentingan pemerintahan otoriter. Artinya manusia dididik untuk menjadi ABS (asal bapa senang). Barangsiapa melawan akan dipecat minimal dimutasi ke bagian yang tidak enak, tidak naik pangkat dan gaji. Salah satu indikasinya adalah ujian pilihan ganda, benar atau salah. Model ujian seperti ini berlaku sampai di perguruan tinggi.

Pendidikan yang bermutu harus keluar dari cengkeraman pola paternalisme tradisional. Karena itu lembaga sekolah harus dapat memodifikasi kurikulum pendidikan nasional dengan kurikulum sekolah yang menitikberatkan pendidikan kemandirian, berpikir alterntif, kreatif dan inovatif. Jika banyak pegawai atau masyarakat umum dapat memberikan kritik, saran dan jalan keluar, artinya pendidikan kita makin berhasil.

Perlu dibangun kerja sama antarlembaga sekolah yaitu sekolah peringkat A dengan peringkat C. Pola ini pernah dikembangkan oleh misonaris P. Waser SVD yang mengelola sekolah St. Klaus di Kuwu-Manggarai. Pola ini berhasil meningkatkan mutu pendidikan yang dibantu.

Dinas pendidikan dan dinas ketenagakerjaan harus menjadi ujung tombak pembangunan lembaga pendidikan keterampilan atau disebut balai latihan kerja (BLK). Jenis pendidikan seperti ini pernah menjadi primadona di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Sebut saja beberapa yaitu sekolah ambak di Mukun Manggarai, sekolah bengkel di Nenuk Belu. Apakah lembaga gereja, biara harus mengambil alih pola pendidikan keterampilan seperti itu, ataukah konsep pendidikan seperti itu dapat diteruskan oleh dinas pendidikan dan dinas ketenagakerjaan? Masih banyak pendidikan keterampilan yang dapat dikembangkan.

Dalam hal pendidikan formal, kesejahteraan guru harus benar-benar diperhatikan agar tidak mencari tambahan penghasilan setelah jam sekolah. Guru konsentrasi menyiapkan bahan pengajaran. Kekurangan buku pelajaran hendaknya tidak menjadi masalah serius bagi mutu pendidikan. Mengapa guru dulu yang hanya memiliki buku pegangan bisa mengajar dengan baik? Mental kapitalis telah menggerogoti kita di mana buku sampai pada LKS (lembar kerja siswa) dituding sebagai penyebab rendahnya mutu pendiddikan.

Para kepala daerah yang terhormat. Beberapa konsep tersebut di atas dan masih banyak konsep lain yang bisa dilakukan, kami percaya dapat memerdekakan rakyat dan menjadi jembatan emas bagi rakyat. Mereka tidak menatap kemerdekaan yang masih berdarah. Tetapi mereka sedang menikmati kemerdekaannya dan sekaligus bagian dari kemerdekaan itu. Salam Merdeka. *

* Penulis, lahir di Manggarai, 30 Maret 1965, alumnus STFK Ledalero (1995), tamat Magister Hukum pada Pasca Sarjana Universitas Trisakti (2005), bekerja pada Kantor Konsultan Hukum di Jakarta.




Tidak ada komentar: