Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Penguatan hukum adat, HAM dan pluralisme

Oleh Daniel Taneo * Spirit NTT, 25-31 Agustus 2008

DALAM kehidupan bermasyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang terdiri dari Nonot Mollo (Oenamas), Nonot Amanuban (Banamas) dan Nonot Amanatun (Onamas), tidak terlepaskan bahkan selalu ditopang dengan nilai-nilai budaya yang tertata melalui hukum adat, pluralisme dan penegakan HAM serta berkembang dalam -foses pluralisme atau kemajemukan komunitas.

Ketiga unsur ini (Hukum Adat, HAM dan Pluralisme) sangat erat kaitannya dengan kepentingan hidup, baik dalam kehidupan pribadi, berkelompok, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Diakui, bahwa unsur-unsur tersebut saling pengaruh mempengaruhi sepanjang perjuangan membangun kehidupan manusia seutuhnya dan masyarakat TTS seluruhnya.

Pada masa pemerintahan Belanda, begitu banyaknya persekutuan hukum yang diakui dan diberhak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, memilih kepala-kepalanya dan pembantu-pembantunya, menyelenggarakan usaha-usaha guna keberesan rumah tangganya secara gotong royong dalam kekeluargaan. Gotong-royong itu didasari pada pedoman-pedoman yang bersumber pada adat istiadat sehingga masyarakat diikat dengan kuat melalui kehidupan lingkungan secara kekeluargaan.

Pengakuan dan pemberian wewenang (secara terbatas) oleh pemerintah Belanda kepada berbagai persekutuan hukum itu, tertuang dalmn pasal 118 1. S. yang berbunyi: "Sepanjang keadaan mengizinkan, penduduk bumi putera dibiarkan dibawah pimpinan langsung dari kepala-kepala mereka, yang diangkat atau diakui oleh pemerintah, yang tunduk kepada pengawas yang lebih sesuai dengan ketentuan-ketentuan umum atau khusus yang ditetapkan atau akan ditetapkan oleh Gubemur Jenderal".

Selanjutnya, menurut pasal 128 1. S. (Stbld 1925 No. 447), dinyatakan: "Persekutuan-persekutuan hukum diperbolehkan meneruskan, mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, asal tidak mengadakan aturan atau tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum, atau dengan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh kepala negara yang ada di atasnya."

Dijelaskan bahwa penduduk bumi putera tidak dicampuri urusannya oleh Pemerintah Hindia Belanda, dan diserahkan langsung kepada kepala-kepala yang berada dan berhak mengawasi penduduk bumi putera, baik berdasarkan kekuatan hukum adat maupun berdasarkan hak-hak naluri.

Dalam masa penyelenggaraan pemerintahan Republik Indonesia, telah pernah ditetapkan LTU No. 19 tahun 1965 tentang Desa Praja (L.N.1965 No.83, TLN No.2778) yang bisa berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri.

Namun sebelum diberlakukan UU No. 19 Tahun 1965 dibekukan dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Dengan instruksi Menteri Dalam Negeri No. 29 tahun 1966, tanggal 15 Oktober 1966, ditangguhkannya LTU No. 19 Tahun 1965, maka perundangan-undangan pedesaan kembali ke keadaan sebelum terciptanya UU No. 19 Tahun 1965.
Dengan demikian berarti bahwa sumber hukum pemerintah di desa kembali kepada penetapan pasal 118 1. S.

Berdasarkan instruksi Mendagri No. 1 Tahun 1968 jo instruksi Mendagri No. 29 Tahun 1966, maka pemerintah desa merupakan unit pemerintahan yang terendah yang dipimpin oleh kepala desa, dibantu oleh anggota pamong desa ex afisio mewakili Pemerintah Pusat.

Dengan berlakunya LTU No. 69 tahun 1958, terbentuklah Kabupaten Timor Tengah Selatan diikuti dengan pembentukan kecamatan-kecamatan, maka berakhir pula struktur Swapraja dan Kefetoran. Selanjutnya, dilakukan peleburan dari dua atau lebih ketemukungan menjadi satu Desa Gaya Baru berdasarkan instruksi Gubemur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur No. Und./l/7, tanggal 4 November 1964.

Penggabungan ketemukungan tersebut membawa berbagal permasalahan antara lain dalam pemilihan kepala desa. Terdapat temukung (kepala ketemukungan) yang setelah penggabungan, tidak pernah memperoleh kesempatan untuk menjadi kepala desa hingga saat ini.

Terjadilah pro kontra atau adanya sikap apatis dari sebagian warga masyarakat yang melahirkan stagnasi dalam penyelnggaraan pemerintahan desa yang berlarut-larut. Di samping itu, timbulah dualisme pengaruh antara para pemangku adat kontra pemerintah desa.

Sistem pemerintahan berdasarkan LJU No. 5 tahun 1979 yang sentralistik, menyeragamkan semua identitas asli komunitas adat dengan sebutan desa, lebih memperarah proses marginalisasi (tidak menguntungkan) yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, membawa dampak negatif pada masyarakat atoin meto, terutama dalam bidang politik, ekonomi dan sosial budaya.

Hak naluri (sebagai salah satu hak asasi manusia) yang merupakan dorongan hati atau nafsu untuk mengatur dan mengurus rumah tangga desa sendiri, tidak leluasa digunakan untuk membangun sesuai kondisi dan adat istiadat sendiri, selalu dibatasi dengan aturan yang bersifat sentralistik. Kekuatan organisasi rakyat secara sistimatis dan represif (tertekan), lahan-lahan hancur serta menihilkan kenyataan aman organisasi rakyat, termasuk masyarakat adat atoin meto di Kabupaten TTS.
Patut diakui bahwa bangsa Indonesia termasuk didalamnya masyarakat adat atoin meto, terdiri dari berbagai kelompok persekutuan hidup yang membentuk masyarakat dengan pola budaya dan nilai-nilai tertentu.

Disamping masyarakat atoin meto, terdapat berbagai kelompok yang disebut Amnemat (pendatang) yang juga disebut kase (sebagian secara turun-temurun telah menjadi warga masyarakat kabupaten TTS).

Nilai-nilai budaya yang dihayati oleh kelompok-kelompok persekutuan ada yang sama tetapi ada juga yang berbeda, semuanya menjadi acuan di dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam kondisi sedemikian, patut kita mengakui dan menerima perbedaan nilai budaya yang ada sebagai kelengkapan sistem nilai budaya, sekaligus mewaspadai aspek negatifnya dalam kehidupan bermasyarakat. Semua kelompok menyadari bahwa mereka itu merupakan satu kelompok besar yang namanya masyarakat TTS.
Betapapun kecilnya perbedaan nilai-nilai tertentu, semua kelompok persekutuan menyadari akan hak dan kewajiban dalam menjunjung tinggi aturan-aturan adat serta sanksi adat yang patut diterimanya.

Pada masa yang lalu, penerapan hukum adat memang lebih efektif dibandingkan dengan masa sekarang, ditandai dengan antara lain keberhasilan dalam pengamanan dari penebangan pohon-pohon pada sumber-sumber mata air serta penebangan pohon-pohon cendana yang belum matang tebang dan sebagainya.
Menyadari hal itu, telah ditempuh langkah-langkah dalam upaya penguatan hukum adat di kabupaten TTS yakni:

Pertama, optimalisasi peranan dan fungsi pimpinan informal dalam pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat istiadat serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang positif dalam menunjang pembangunan, dengan keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat H TTS No. 140/SKEP/fW/1966, tanggal 5 Oktober 1966 (sebanyak 579 fungsionaris adat).

Kedua, inventarisasi serta pemberdayaan para fungsionaris adat se-Kabupaten TTS dengan surat keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat H TTS No. 169/SKEP/tWI966, tanggal 6 Desember 1966.

Ketiga, telah ditetapkan peraturan daerah kabupaten TTS No. 17 Tahun 2001 tentang pemberdayaan, pelestarian, pengembangan dan perlindungan adat istiadat dan lembaga adat dalam Kabupaten TTS.

Keempat, telah ditetapkan peraturan daerah kabupaten TTS No. 19 Tahun 2001 tentang pedoman tata cara penetapan peraturan desa dalam Kabupaten TTS.

Kelima, telah dibentuk forum konsultasi pemberdayaan masyarakat adat atoin meto dengan keputusan Bupati TTS No. 37/KEP/FIK/2003.
Memang sudah cukup lama, lebih dari tiga dekade, hukum adat komunitas atoin meto di TTS bersama lembaga adatnya telah hampir sima. Akan tetapi, nilai-nilai yang bersifat intrinsik, hakiki dan abadi, tetap bercahaya serta menyinari moral warga masyarakat adat, berakar pada lubuk hati nurani, tumbuh berkembang pada budi nurani dan berbuah pada budi pekerti bangsa.

Tidak kecil peran dan sumbangan nilai-milai hukum adat dalam upaya pembangunan dan penciptaan stabilitas nasional. Di sinilah letak kepatutan dan kelayakan upaya penguatan hukum adat, HAM dan pluralisme. *

* Penulis, warga TTS



Tidak ada komentar: