Spirit NTT, 26 Mei-1 Juni 2008
BERITA kelulusan SMU/SMK Indonesia sebentar lagi akan diumumkan. Ada aksi kecurangan tak sedikit buat kita 'tebal muka' sebagai bangsa besar. Sebentar lagi, pemandangan air mata dan histeris kegembiraan digagap oleh pengadilan terakhir. Inilah pengadilan atas nama pendidikan. Ada siswa yang lulus dan tak sedikit pula yang tidak lulus. Dua suasana kontras yang sulit disenyawakan.
Bagi siswa yang lulus tentunya mereka merasa bahagia. Orangtua, sekolah dan para guru pun turut berbangga. Hanya, muncul persoalan baru, mau diapakan setelah lulus? Di sini mulai bingung. Kuliah, cari kerja atau bantu orangtua, ataukah jadi penganggur? Pilihan serba pusing!
Lain halnya, dengan nasib siswa yang tidak lulus. Air mata, frustrasi bahkan cipratan amarah dan ledakan kekesalan orangtua dan guru pun tak sepih. Lengkap sudah kefrustrasian mereka. Lalu, mau di ke manakan setelah ketidaklulusan? Mau lamar kerja, tapi tak ada ijazah di tangan. Mau ikut ujian ulang paket C tapi belum tentu lulus juga. Kalaupun lulus, mungkin saja orang katakan kasihan 'diluluskan.' Pusing tiada duanya!
Setidaknya, inilah realitas pengadilan atas nama pendidikan di negeri kita. Ternyata, bukan hanya pihak siswa yang tidak lulus, yang dibikin pusing. Siswa yang lulus juga malah pusing. Kalau demikian, apalah artinya 'sekolah'? Apakah pendidikan, semacam pengadilan di atas awan-awan. Lalu, print out ijazah. Perkara habis.
Indonesia memang lagi 'demam ijazah.' Tidak heran, sektor pasar kerja juga tertular demam ijazah. Apa saja serba butuh ijazah. Padahal, ijazah belum tentu menjamin kepintaran dan keahlihannya. Sama halnya, kalau ingin melanjutkan studi ke sekolah lanjutan atau ke perguruan tinggi. Tinggi rendahnya NEM sangat menentukan.
Bahkan, menjadi bumerang untuk mengadili siswa akan bakal diterima atau ditolak. Apakah NEM sebagai harga mati untuk meneracakan kecerdasan siswa? Padahal, Albert Einstein katakan, keberhasilan itu cuma satu persen dari pendidikan dan 99 persen adalah kerja keras keras, keringat menggumpal. Bagaimana nasib anak-anak yang NEM-nya tidak mencapai standar patokan itu. Apa mereka orang tidak berhasil?
Bagimana dengan anak yang lulus tapi nilainya rata-rata net? Mengapa mereka 'diluluskan'? Jika pada akhirnya, kelulusan mereka tak bisa tembus ke sekolah lanjutan. Hanya, karena NEM yang mereka raih lebih rendah dari apa yang ditargetkan oleh sekolah penerima.
Apa artinya lulus 100 persen? Bukankah, lebih baik kita berbangga dengan presentasi kelulusan rendah daripada presentasi tinggi tapi siswanya tidak banyak yang bisa tembus studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Untuk apa kita mengagung-agungkan presentasi kelulusan 100 persen kalau realitasnya sesedih itu. Akhirnya, filosofi pendidikan yang kita rancang sendiri, justru membingungkan kita sendiri.
Seakan-akan presentasi lulus 100 persen adalah takaran absolut kesuksesan pendidikan. Gejala seperti ini akan langsung terlihat. Ada tendensi besar antarsekolah untuk membanding-banding. Sekolah kita masih lebih baik, lulus 80 persen dan sekolah lain merayap antara 60 persen atau 50 persen saja. Mutu sekolah pun mulai dikerucutkan atas dasar presentasi kelulusan sekolah.
Profesionalisme guru juga dikerdilkan oleh tinggi rendahnya presentasi kelulusan. Hemat saya, kompetisi antarsekolah sah-sah saja. Sejauh intensi kompetensi itu membuat kita lebih profesional untuk menyatrategi dunia pendidikan ke arah yang lebih baik. Bukan sebaliknya demi prestasi, prestise dan previlese yang dangkal-dangkalan.
Lebih prihatin lagi, justru kebanyakan sekolah negeri (walaupun ada juga beberapa sekolah swasta popular) yang bersikeras dengan kualifikasional pematokan NEM dalam periode pendaftaran murid baru. Jelas, siswa yang tidak memenuhi kualifikasi NEM persyaratan akan otomatis tidak laku, ditendang tanpa kompromi.
Kita bersyukur, masih ada sekolah-sekolah swasta. Sekolah swastalah yang siap menjadi tumpangan bagi siswa-siswa yang didiskualifikasikan di sekolah negeri ini. Di sekolah swasta itulah mereka mendapat hak untuk dipintarkan. Atau saya meminjam istilah UUD yaitu 'dicerdaskan.'
Sekian istimewah, pemerintah memperlakukan sekolah negeri. Dana pun dikucur habis-habisan. Unit bangunan serentak dibangun. Guru-guru pun tak susah dicari. Tinggal angkat saja calon guru yang sudah ikut testing mungkin lebih dari sepuluh kali tapi belum juga lulus. Lalu, bagaimana nasib sekolah swasta?
Memang sekolah swasta hidup dengan keberdikariannya. Dedikasi tinggi kadang tak seimbang dengan gaji yang diterima. Maklum, gaji mereka tergantung pada uang setoran siswanya. Bahkan, ada sekolah tertentu yang pengeluarannya lebih besar daripada pemasukan. Kadang, uang setoran siswa hanya cukup untuk melunasi biaya listrik, air dan beli kapur tulis.
Padahal, tak sedikit pula petinggi daerah kita, yang pernah menikmati dan merupakan jebolan sekolah swasta. Tapi mereka macam tidak tahu bahwa nasib sekolah swasta seperti apa. Mungkin juga mereka tahu, cuma tidak tahu, mau buat apa dengan nasib sekolah swasta? Kapan naluri sosial mereka tergerak untuk menolong sekolah-sekolah swasta?
Jika, peran sekolah swasta mempunyai andil yang signifikan dalam mendidik anak bangsa di daerah ini, untuk melanjutkan estafet kepemimpinan dan menjadi pemikir handal dalam kehidupan berbangsa. Maka, mengapa kita tidak bersedia membuka mata untuk meringankan beban sekolah-sekolah swasta?
Tak jarang, sekolah swasta 'dianaktirikan' oleh stakeholders pendidikan di negeri ini. Banyangkan, berapa banyak jumlah sekolah swasta negeri ini? Mungkin dua kali lipat dari jumlah sekolah negeri. Sebenarnya, bukan soal jumlah yang ditekankan. Kontribusi sekolah swasta selayaknya mendapat perhitungan juga. Sebagaimana, pemerintah memperlakukan sekolah-sekolah negeri.
Maka, tidak ada jalan lain, selain pemerintah memperlakukan sekolah swasta dan negeri secara proposional. Sama halnya, seorang ibu yang punya anak kembar. Ia tidak mungkin menyuap bubur anak yang satu dengan piring emas. Satunya lagi, cuma piring plastik saja. Artinya, mengapa kita tidak bisa menyiapkan 'piring plastik' dengan 'porsi menu' yang sama baik untuk sekolah negeri maupun swasta. Jika visi dan misi kita sama yaitu mencerdaskan kehidupan anak-anak bangsa.
Pertama, kini saatnya pemerintah daerah untuk memberi perhatian yang lebih ekstra terhadap nasib sekolah swasta. Dari terminologi 'perhatian'- memberi 'hati'- mengandung arti tulus, suci, ikhlas. Misalkan saja, mengirimkan guru-guru berstatus pegawai negeri ke sekolah swasta lebih banyak daripada tahun-tahun kemarin.
Atau banyak cara lain. Yang penting kita buka perspektif, agar pemerintah bisa berbuat sesuatu yang lebih. Tidak cukup imbauan, agar sekolah negeri belajar dari sekolah swasta ataupun vice versa. Apa yang hendak dipelajari, juga tidak jelas. Apakah sebatas mendogkrak presentasi kelulusan? Lebih penting adalah membangun kerja sama kooperatif mutual yang produktif. Saling menukar informasi manajemen pendidikan, keorganisasian, dan keprofesionalan tenaga keguruan.
Kedua, sekolah negeri sebaiknya memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak-anak miskin tanpa mewajibkan standar NEM. Alasan ruang tidak mencukupi, juga tidak realistis. Jika banyak siswa ingin bersekolah maka kewajiban yang tak boleh ditunda-tundai adalah memperbanyak ruang kelas.
Sehingga, anak-anak bisa tertampung. Siswa-siswa yang otaknya dikategorikan 'jongkok', jangan juga cepat-cepat dieksekusikan dari sekolah. Begitupun anak-anak yang tidak disiplin, jangan cepat-cepat disepak keluar. Di sini, peran sekolah sebagai almamater (baca: ibu), 'surga ada di telapak ibu' akan teruji kesajatian keibuannya.
Ketiga, perbaikan kualitas pendidikan belum lengkap kalau tanpa adanya perpustakaan. Hampir sedikit sekolah yang punya perpustakaan cukup memadai. Pemerintah daerah perlu galakan penyedian perpustakaan umum daerah untuk pelajar khususnya atau bila perlu masyarakat pada umumnya. Sehingga, siswa-siswa dan guru-guru bisa mengakses buku-buku secara gratis. Pembangunan perpustakaan adalah ruang investasi pendidikan yang urgen, yang sama persisnya kita menginvestasi generasi masa depan.
UNESCO, pilar pendidikan kesejagatan dikonstruksi untuk mengembangkan potensi anak didik yang berkualitas. Pilar pendidikan kesejagatan itu adalah belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be). (Fidel Harjo/Alumnus STFK Ledalero, Maumere)
BERITA kelulusan SMU/SMK Indonesia sebentar lagi akan diumumkan. Ada aksi kecurangan tak sedikit buat kita 'tebal muka' sebagai bangsa besar. Sebentar lagi, pemandangan air mata dan histeris kegembiraan digagap oleh pengadilan terakhir. Inilah pengadilan atas nama pendidikan. Ada siswa yang lulus dan tak sedikit pula yang tidak lulus. Dua suasana kontras yang sulit disenyawakan.
Bagi siswa yang lulus tentunya mereka merasa bahagia. Orangtua, sekolah dan para guru pun turut berbangga. Hanya, muncul persoalan baru, mau diapakan setelah lulus? Di sini mulai bingung. Kuliah, cari kerja atau bantu orangtua, ataukah jadi penganggur? Pilihan serba pusing!
Lain halnya, dengan nasib siswa yang tidak lulus. Air mata, frustrasi bahkan cipratan amarah dan ledakan kekesalan orangtua dan guru pun tak sepih. Lengkap sudah kefrustrasian mereka. Lalu, mau di ke manakan setelah ketidaklulusan? Mau lamar kerja, tapi tak ada ijazah di tangan. Mau ikut ujian ulang paket C tapi belum tentu lulus juga. Kalaupun lulus, mungkin saja orang katakan kasihan 'diluluskan.' Pusing tiada duanya!
Setidaknya, inilah realitas pengadilan atas nama pendidikan di negeri kita. Ternyata, bukan hanya pihak siswa yang tidak lulus, yang dibikin pusing. Siswa yang lulus juga malah pusing. Kalau demikian, apalah artinya 'sekolah'? Apakah pendidikan, semacam pengadilan di atas awan-awan. Lalu, print out ijazah. Perkara habis.
Indonesia memang lagi 'demam ijazah.' Tidak heran, sektor pasar kerja juga tertular demam ijazah. Apa saja serba butuh ijazah. Padahal, ijazah belum tentu menjamin kepintaran dan keahlihannya. Sama halnya, kalau ingin melanjutkan studi ke sekolah lanjutan atau ke perguruan tinggi. Tinggi rendahnya NEM sangat menentukan.
Bahkan, menjadi bumerang untuk mengadili siswa akan bakal diterima atau ditolak. Apakah NEM sebagai harga mati untuk meneracakan kecerdasan siswa? Padahal, Albert Einstein katakan, keberhasilan itu cuma satu persen dari pendidikan dan 99 persen adalah kerja keras keras, keringat menggumpal. Bagaimana nasib anak-anak yang NEM-nya tidak mencapai standar patokan itu. Apa mereka orang tidak berhasil?
Bagimana dengan anak yang lulus tapi nilainya rata-rata net? Mengapa mereka 'diluluskan'? Jika pada akhirnya, kelulusan mereka tak bisa tembus ke sekolah lanjutan. Hanya, karena NEM yang mereka raih lebih rendah dari apa yang ditargetkan oleh sekolah penerima.
Apa artinya lulus 100 persen? Bukankah, lebih baik kita berbangga dengan presentasi kelulusan rendah daripada presentasi tinggi tapi siswanya tidak banyak yang bisa tembus studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Untuk apa kita mengagung-agungkan presentasi kelulusan 100 persen kalau realitasnya sesedih itu. Akhirnya, filosofi pendidikan yang kita rancang sendiri, justru membingungkan kita sendiri.
Seakan-akan presentasi lulus 100 persen adalah takaran absolut kesuksesan pendidikan. Gejala seperti ini akan langsung terlihat. Ada tendensi besar antarsekolah untuk membanding-banding. Sekolah kita masih lebih baik, lulus 80 persen dan sekolah lain merayap antara 60 persen atau 50 persen saja. Mutu sekolah pun mulai dikerucutkan atas dasar presentasi kelulusan sekolah.
Profesionalisme guru juga dikerdilkan oleh tinggi rendahnya presentasi kelulusan. Hemat saya, kompetisi antarsekolah sah-sah saja. Sejauh intensi kompetensi itu membuat kita lebih profesional untuk menyatrategi dunia pendidikan ke arah yang lebih baik. Bukan sebaliknya demi prestasi, prestise dan previlese yang dangkal-dangkalan.
Lebih prihatin lagi, justru kebanyakan sekolah negeri (walaupun ada juga beberapa sekolah swasta popular) yang bersikeras dengan kualifikasional pematokan NEM dalam periode pendaftaran murid baru. Jelas, siswa yang tidak memenuhi kualifikasi NEM persyaratan akan otomatis tidak laku, ditendang tanpa kompromi.
Kita bersyukur, masih ada sekolah-sekolah swasta. Sekolah swastalah yang siap menjadi tumpangan bagi siswa-siswa yang didiskualifikasikan di sekolah negeri ini. Di sekolah swasta itulah mereka mendapat hak untuk dipintarkan. Atau saya meminjam istilah UUD yaitu 'dicerdaskan.'
Sekian istimewah, pemerintah memperlakukan sekolah negeri. Dana pun dikucur habis-habisan. Unit bangunan serentak dibangun. Guru-guru pun tak susah dicari. Tinggal angkat saja calon guru yang sudah ikut testing mungkin lebih dari sepuluh kali tapi belum juga lulus. Lalu, bagaimana nasib sekolah swasta?
Memang sekolah swasta hidup dengan keberdikariannya. Dedikasi tinggi kadang tak seimbang dengan gaji yang diterima. Maklum, gaji mereka tergantung pada uang setoran siswanya. Bahkan, ada sekolah tertentu yang pengeluarannya lebih besar daripada pemasukan. Kadang, uang setoran siswa hanya cukup untuk melunasi biaya listrik, air dan beli kapur tulis.
Padahal, tak sedikit pula petinggi daerah kita, yang pernah menikmati dan merupakan jebolan sekolah swasta. Tapi mereka macam tidak tahu bahwa nasib sekolah swasta seperti apa. Mungkin juga mereka tahu, cuma tidak tahu, mau buat apa dengan nasib sekolah swasta? Kapan naluri sosial mereka tergerak untuk menolong sekolah-sekolah swasta?
Jika, peran sekolah swasta mempunyai andil yang signifikan dalam mendidik anak bangsa di daerah ini, untuk melanjutkan estafet kepemimpinan dan menjadi pemikir handal dalam kehidupan berbangsa. Maka, mengapa kita tidak bersedia membuka mata untuk meringankan beban sekolah-sekolah swasta?
Tak jarang, sekolah swasta 'dianaktirikan' oleh stakeholders pendidikan di negeri ini. Banyangkan, berapa banyak jumlah sekolah swasta negeri ini? Mungkin dua kali lipat dari jumlah sekolah negeri. Sebenarnya, bukan soal jumlah yang ditekankan. Kontribusi sekolah swasta selayaknya mendapat perhitungan juga. Sebagaimana, pemerintah memperlakukan sekolah-sekolah negeri.
Maka, tidak ada jalan lain, selain pemerintah memperlakukan sekolah swasta dan negeri secara proposional. Sama halnya, seorang ibu yang punya anak kembar. Ia tidak mungkin menyuap bubur anak yang satu dengan piring emas. Satunya lagi, cuma piring plastik saja. Artinya, mengapa kita tidak bisa menyiapkan 'piring plastik' dengan 'porsi menu' yang sama baik untuk sekolah negeri maupun swasta. Jika visi dan misi kita sama yaitu mencerdaskan kehidupan anak-anak bangsa.
Pertama, kini saatnya pemerintah daerah untuk memberi perhatian yang lebih ekstra terhadap nasib sekolah swasta. Dari terminologi 'perhatian'- memberi 'hati'- mengandung arti tulus, suci, ikhlas. Misalkan saja, mengirimkan guru-guru berstatus pegawai negeri ke sekolah swasta lebih banyak daripada tahun-tahun kemarin.
Atau banyak cara lain. Yang penting kita buka perspektif, agar pemerintah bisa berbuat sesuatu yang lebih. Tidak cukup imbauan, agar sekolah negeri belajar dari sekolah swasta ataupun vice versa. Apa yang hendak dipelajari, juga tidak jelas. Apakah sebatas mendogkrak presentasi kelulusan? Lebih penting adalah membangun kerja sama kooperatif mutual yang produktif. Saling menukar informasi manajemen pendidikan, keorganisasian, dan keprofesionalan tenaga keguruan.
Kedua, sekolah negeri sebaiknya memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak-anak miskin tanpa mewajibkan standar NEM. Alasan ruang tidak mencukupi, juga tidak realistis. Jika banyak siswa ingin bersekolah maka kewajiban yang tak boleh ditunda-tundai adalah memperbanyak ruang kelas.
Sehingga, anak-anak bisa tertampung. Siswa-siswa yang otaknya dikategorikan 'jongkok', jangan juga cepat-cepat dieksekusikan dari sekolah. Begitupun anak-anak yang tidak disiplin, jangan cepat-cepat disepak keluar. Di sini, peran sekolah sebagai almamater (baca: ibu), 'surga ada di telapak ibu' akan teruji kesajatian keibuannya.
Ketiga, perbaikan kualitas pendidikan belum lengkap kalau tanpa adanya perpustakaan. Hampir sedikit sekolah yang punya perpustakaan cukup memadai. Pemerintah daerah perlu galakan penyedian perpustakaan umum daerah untuk pelajar khususnya atau bila perlu masyarakat pada umumnya. Sehingga, siswa-siswa dan guru-guru bisa mengakses buku-buku secara gratis. Pembangunan perpustakaan adalah ruang investasi pendidikan yang urgen, yang sama persisnya kita menginvestasi generasi masa depan.
UNESCO, pilar pendidikan kesejagatan dikonstruksi untuk mengembangkan potensi anak didik yang berkualitas. Pilar pendidikan kesejagatan itu adalah belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be). (Fidel Harjo/Alumnus STFK Ledalero, Maumere)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar