Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Menakar Kejujuran Ujian Nasional

Spirit NTT, 26 Mei-1 Juni 2008

PERASAAN plong disertai harap-harap cemas terpancar dari setiap wajah siswa usai menyelesaikan rangkaian ujian nasional (UN). Kelegaan sesaat setelah beberapa hari berkutat dengan soal-soal ujian. Perasaan harap-harap cemas muncul karena status kelulusan yang masih mengambang. Lulus atau tidak?
Tulisan ini selesai disusun setelah UN tingkat sekolah menengah (SMP dan SMA) telah usai. Pengalaman dan pelajaran berharga diperoleh selama penyelenggaraan UN.

Ternyata UN mempunyai efek luar biasa bagi siapa saja yang bersangkutan. Ada yang menyambutnya dengan biasa saja ada juga yang menghadapinya dengan resah. Bagi yang menghadapinya dengan resah UN menjadi sangat menakutkan. Mulai dari siswa, kepala sekolah, guru mata pelajaran yang diujikan, orang tua dan bahkan pengelola pendidikan dalam hal ini dinas pendidikan kabupaten/ kota.

Mereka secara berjamaah takut UN. Siswa takut tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Orang tua takut gagal mendidik anak sehingga menjadi aib keluarga. Kepala sekolah dan guru mata pelajaran takut reputasi mereka jeblok karena banyak siswanya tidak lulus. Tak terkecuali dinas pendidikan turut takut karena mutu pendidikan menjadi rendah sehingga berpengaruh pada turunnya gengsi pendidikan di daerah.

Strategi antitakut
Apakah benar UN menjadi momok yang menakutkan? Kenapa harus takut pada UN? Kenapa harus takut pada UN jika setiap siswa telah menyiapkan diri dengan matang dan terencana sejak awal. Kenapa harus was-was jika para orang tua selalu mendampingi anaknya untuk belajar sungguh-sungguh sejak tahun ajaran baru. Kenapa harus deg-degan jika para kepala sekolah dan guru mata pelajaran telah menyajikan/ menyampaikan materi dan bahan ajar yang sesuai dan berkualitas.

Ketakutan pada UN lebih diakibatkan karena yang bersangkutan kurang mengantisipasi sejak dini. Hasilnya saat akan diselenggarakan UN semuanya seakan terkejut dan terkesan mendadak. Karena itu perlu strategi untuk menyongsongnya sejak awal tahun ajaran baru. Pertama, menyadarkan siswa untuk sadar belajar jangan malah sering dibiarkan keluyuran. Kalau perlu diadakan program 'karantina' untuk bidang studi yang diujikan. Kedua, memberdayakan peran orang tua untuk mengawasi dalam pengajaran informal di rumah. Ketiga, bersikap apa adanya dan tidak berlebihan dalam menghadapi UN secara fair.

Dengan beberapa strategi tersebut ketakutan menghadapi UN akan terkikis. Sehingga dengan sendirinya akan menghilangkan tindakan untuk 'saling melindungi.' Jangan sampai ada kepala sekolah dan guru mata pelajaran melindungi anak didiknya dengan membocorkan dan membenarkan jawaban. Jangan sampai terjadi orang tua 'membeli' soal. Dan jangan sampai ada lagi siswa melakukan perbuatan tercela yang akan merugikan diri sendiri dan almamaternya.

Takaran kejujuran
Ujian nasional adalah investasi yang mahal. Alur panjang mulai dari penyusunan soal, pencetakan soal, pendistribusian soal, penilaian sampai kepada supervisi memerlukan biaya besar. Di satu sisi UN juga telah bergeser fungsinya dari sekedar ujian untuk mengukur prestasi menjadi ujian untuk mengukur kejujuran. Baik untuk siswa, kepala sekolah, guru, orang tua dan dinas pendidikan.

Jujur adalah bibit unggul. Percuma baik tetapi tidak unggul. Ibarat padi, dia bisa dipanen dan dikonsumsi, tetapi kalau tidak unggul dia hanya mandeg sampai dikonsumsi saja.. Tetapi kalau unggul dia masih bisa dijadikan bibit lagi untuk menghasilkan butiran-butiran padi yang lain. Karenanya jangan gadaikan UN dengan sikap tidak jujur. Nilai kejujuran bisa dinilai dari pemahaman pada setiap diri yang tersangkut dalam UN. Apakah pendidik sudah mengajar dengan baik? Apakah bahan yang diajarkan telah memenuhi standar dan berkualitas? Apakah sarana dan prasarana sekolah telah dimanfaatkan dengan maksimal? Apakah siswa telah belajar dengan sungguh-sungguh, memahami materi dan mampu mengerjakan soal dengan baik?

Jika semua pihak bisa introspeksi diri dengan usaha yang telah dilakukan maka itulah takaran yang sesungguhnya. Hasil UN yang dicapai menunjukkan sejauh mana pihak yang terkait telah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara benar. Kini UN bisa dijadikan tolok ukur kejujuran suatu bangsa. Bangsa yang jujur akan menghasilkan masyarakat yang jujur. Masyarakat yang jujur akan menghasilkan pemimpin yang jujur yang tentu dipilih oleh rakyat yang jujur.

Konsekuensi kejujuran
Jujur mempunyai konsekuensi yang berat. Jujur mengakui ketidakulusan lebih baik daripada meluluskan dengan cara yang curang. Apapun hasil dari UN adalah usaha maksimal yang telah dilakukan. Kalaupun belum berhasil dengan maksimal bukan berarti patut disesali. Justru karena itu patut dievaluasi dan diperbaiki.

Kalau dalam UN terdapat kebohongan hal itu justru akan menjadi boomerang. Kualitas pendidikan dan lulusan akan menjadi taruhan. Karena hasil itu adalah semu dan rekayasa.

Pemerintah tentu mempunyai kebijakan untuk lebih memperhatikan daerah yang tingkat kelulusan masih rendah. Baik berupa bantuan khusus tentang sarana-prasarana, peningkatan kompetensi sumber daya pendidik, fasilitasi pendidikan, kucuran blockgrant, hibah dan berbagai program dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Dengan berbagai program tersebut diharapkan tingkat kelulusan di masa mendatang akan meningkat. Dan otomatis mutu pendidikan juga akan terangkat.

Akhirnya, jangan kotori prestasi dengan sikap tidak jujur. Jangan cemari pendidikan Indonesia dengan sikap tidak jujur. Kejujuran adalah investasi yang mahal untuk mencetak bangsa yang bermartabat. Sedikit saja dimasuki 'kotoran', maka kualitasnya akan tercemar. Kejujuran perlu dijaga kemurnian dan dilestarikan selamanya.

Semoga tulisan ini menyadarkan kita semua untuk menempatkan kejujuran dimana saja dan kapan saja. Baik diawasi ataupun tidak kita harus bisa bersikap jujur pada diri kita. Ujian nasional hanya media untuk mengukur sampai sejauh mana kita telah menempatkan kejujuran. Lebih dari itu jiwa dan sikap kita yang akan menunjukkan kualitas kejujuran. Sudahkah kita jujur? (chakim musthofa/tim pemantau independen UN dan librarian LPMP propinsi kalbar)

Tidak ada komentar: