Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Hari Keterpurukan Nasional

Oleh Robert Nio *

Spirit NTT, 26 Mei-1 Juni 2008

TANGGAL 20 Mei 2008 lalu adalah Hari Kebangkitan Nasional, tetapi rasanya lebih cocok kalau disebut sebagai "Hari Keterpurukan Nasional" (HARKITNAS = Hari Sakit Nasional).

Masalahnya, prestasi apa yang bisa kita banggakan sebagai kebangkitan nasional, terkecuali harga BBM maupun harga bahan pangan yang benar-benar bangkit; melejit bangkit terus-menerus tiada hentinya?

Prestasi yang kita miliki di Hari Kebangkitan Nasional ini adalah 60 persen pengangguran, dan menurut Education Watch Indonesia (EWI) 36,73 persen anak putus sekolah dan puluhan juta anak tak tertampung entah di bangku SD maupun di perguruan tinggi. Lebih dari 5,1 juta balita bergizi buruk, bahkan 50 persen atau 2,6 juta terancam mati kelaparan.

Dalam bidang olahraga pun tidak beda jauh, ternyata impian yang sudah lebih dari 12 tahun lamanya untuk dapat merebut kembali Piala Uber telah pupus, karena keok sama China. Tapi beruntung bangsa kita ini termasuk manusia sabaran, sehingga masih bisa menunggu untuk 12 tahun mendatang.

Bahkan tanpa perlu diragukan lagi, kita sekarang sudah bisa menyanyikan lagu: "Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia Mati Kelaparan", karena mahalnya harga bahan pangan. Lihat, di Aceh saja sudah 23 anak mati karena busung lapar. Dan ini terjadi bukan sekadar di Aceh saja, melainkan hampir di seluruh Tanah Air hingga Papua.

Apakah salah, apabila kita memberikan laporan kepada yang berkuasa di negeri ini: "Lapor Pak, kami Lapar!" Hanya dengan entengnya dijawab oleh JK: "Itu kan hanya di koran. Kita memiliki beras cukup, apanya yang kurang, bahkan pemerintah sudah memberikan Raskin (Beras untuk orang miskin)!" (Sumber SCTV - 6 April 2008). Memang beras di toko sih banyak, hanya rupanya walaupun ia seorang saudagar, tapi tidak menyadari bahwa beras itu harus dibeli bukannya pakai batu, tapi pakai uang yang tidak dimiliki oleh rakyat.

Pernahkah Anda makan raskin? Selain tidak sehat, juga bikin orang sakit di tenggorokan. Raskin ini sebenarnya hanya layak untuk dijadikan umpan ayam. Maka dari itu Mang Ucup usulkan, bagaimana jika pada bulan puasa mendatang ini, para pejabat tinggi mulai dari presiden sampai bupati tidak perlu puasa lagi, melainkan sebagai gantinya makan raskin sebulan penuh.

Boro-boro harga beras biasa, harga raskin yang dihargai pemerintah Rp 2.000 sudah tidak terjangkau. Maka, tidaklah heran apabila ada orang yang mengatakan, "Lebih baik aku makan racun yang "mengenyangkan" daripada aku harus mati kelaparan!" Lihat saja Nyonya Base dan anaknya yang mati kelaparan.

Berdasarkan berita hari ini, di Jerman ada sekitar 13 persen penduduknya miskin. Hanya bedanya, di sana orang sudah dinilai miskin apabila penghasilannya di bawah Rp 11.700.000,- per bulan/orang. Sedangkan bagi pemerintah Indonesia, orang baru bisa/boleh dinilai miskin, apabila pendapatan per harinya di bawah Rp 5.500,- per hari.

Dengan uang Rp 5.500, boro-boro bisa makan sehari tiga kali, untuk makan/minum sehari DUA kali (2 x Rp 3.000) saja tidak cukup. Nasib manusia di sini lebih buruk daripada hewan yang tidak perlu rumah, pendidikan, maupun sabun.

Harga BBM dari Rp 4.500 akan naik menjadi Rp 6.000 per liter. Banyak pejabat menilai bahwa ini hanya berpengaruh bagi wong gede-an yang punya mobil saja. Tetapi rupanya mereka itu buta, bahwa wong cilik juga harus naik angkot/bus; begitu juga nelayan yang butuh BBM untuk melaut. Imbasnya bagi rakyat kecil: ini berlipat kali ganda jauh lebih buruk, sudah harga sembako naik, otomasis harga pangan pun akan dinaikan lagi, karena adanya kenaikan harga BBM.

Harga BBM naik dengan alasan harga minyak di pasaran dunia juga naik. Tapi, mereka rupanya lupa bahwa Indonesia adalah penghasil export minyak. Seharusnya kenaikan harga BBM ini menjadi berkah bagi rakyat, bukannya kebalikan menjadi kutukan. Sebagai perbandingan, harga BBM di Venezuela hanya Rp 460/liter, Nigeria Rp 920/liter, Iran Rp 828/liter, sedangkan di Indonesia akan menjadi enam kali lipat jauh lebih mahal daripada di negara-negara tersebut di atas.

Cobalah renungkan oleh Anda, misalnya Exxon Mobil saja; berdasarkan laporan resmi di tahun 2007, mereka telah bisa meraup keuntungan sebesar 40,6 miliar Dollar AS = Rp. 3.723,20 Triliun Rupiah atau hampir Rp 12 juta per detik. Keuntungan dari Exxon Mobil ini, bahkan melebihi daripada Produk Domestik Bruto (PDB) 120 negara di kolong langit ini.

Di sinilah letak keanehannya. Kok rakyat Indonesia sebagai pemilik ladang minyak, bukannya kecepretan keuntungan, bahkan dibebankan dengan lebih banyak lagi hutang maupun kenaikan harga BBM yang sudah tinggi menjadi lebih tinggi lagi. Maka benarlah ucapan dari Kwik Kian Gie, dimana ia mengucapkan dengan adanya kenaikan harga BBM di pasaran dunia, seharusnya penduduk Indonesia, bukan saja harga BBM harus bisa diturunkan, tetapi juga memiliki dana lebih yang bisa disalurkan untuk kesejahteraan rakyatnya.

Tetapi "Don't wori en bi hepi-lah". Sebab di mata dunia, Indonesia itu hebat, wong bisa nyumbang satu juta $ AS untuk para korban topan di Birma. Bukankah ini sama seperti juga "Monyet di hutan disusui; sedangkan anak dirumah mampus kelaparan"?

Maka dari itu sudah tiba saatnya dimana kita harus merubah perkataan "Who Care"- EGP (Emangnya Gw Pikirin) menjadi "I Care" atau "YA, Saya Pikirkan dan Saya Peduli!" (www.kabarindonesia.com)

Tidak ada komentar: