Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Memaknai manfaat dana BOS

Spirit NTT, 23 - 30 Juni 2008

DAMPAK nyata kebijakan pemerintah mengurangi subsidi BBM semakin berat beban hidup masyarakat. Apa pun argumen dan dalih pemerintah, keputusan yang tidak populer tersebut dapat menjadi pemicu bertambahnya jumlah penduduk miskin.
Semakin beratnya beban hidup masyarakat bukan saja karena momen pengurangan subsidi yang tidak tepat, melainkan juga karena besarnya pengurangan subsidi yang di luar perkiraan dan kemampuan masyarakat.

Kenaikan harga BBM berakibat merambat naiknya berbagai komoditas pokok masyarakat, termasuk di dalamnya biaya pendidikan. Masyarakat miskin semakin menjerit dan terjepit, sedangkan masyarakat menengah dan pas-pasan semakin miskin.

Pernyataan berulang-ulang para pejabat, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa pemerintah tidak antirakyat dan tidak mungkin menyengsarakan rakyat tidak serta-merta menjadikan rakyat percaya. Faktanya (kecuali para pejabat yang terhormat) masyarakat tidak bertambah penghasilan, tapi pengeluaran bertambah hingga dua-tiga kali lipat.

Kebijakan yang konon berat tetapi harus diambil tersebut memang disertai pemberian kompensasi kepada masyarakat miskin. Dari pengurangan subsidi BBM masyarakat miskin mendapat kompensasi dalam bentuk dana pembangunan infrastruktur desa sebesar 250 juta per desa, kartu berobat gratis, bantuan operasional sekolah (BOS). Pertanyaan adalah seberapa besar dana kompensasi tersebut dapat mengurangi beban masyarakat terhadap laju kenaikan berbagai kebutuhan pokok yang nyaris tak terkendali?

Salah satu dana kompensasi, yakni bantuan operasional sekolah, sekilas tampaknya dapat menjadi obat bagi penyakit melambungnya biaya pendidikan akhir-akhir ini. Masyarakat dengan berbagai ragam menyikapi pemberian bantuan dalam bentuk BOS itu. Di satu sisi masyarakat optimis BOS dapat mengurangi atau memperingan beban biaya pendidikan, di sisi lain masyarakat pesimis dan skeptis akan pemanfaatan dana kompensasi BBM tersebut, bahkan dapat menjadi ladang baru tindak korupsi.

Masyarakat memberikan perhatian demikian besar terhadap dana BOS. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba mengupas manfaat dan implikasi bantuan tersebut bagi dunia pendidikan dan masyarakat pada umumnya.

Buah simalakama
Bantuan operasional sekolah merupakan bantuan pemerintah pusat kepada seluruh siswa SD/MI dan SMP/MTs se-Indonesia baik negeri maupun swasta atas pengurangan subsidi BBM. Bantuan ini diberikan kepada siswa melalui sekolah yang langsung ditransfer ke rekening sekolah masing-masing.
Bantuan dana BOS diharapkan dapat mengurangi atau bahkan menghapus biaya pendidikan yang selama ini dibebankan kepada masyarakat.

Harapan dan keinginan pemerintah meringankan atau bahkan menghilangkan beban masyarakat atas biaya pendidikan sangatlah mulia dan ideal. Namun, realistiskah dengan Rp 27.000-an per siswa per bulan lantas biaya pendidikan tertutupi, sementara masyarakat menuntut adanya peningkatan mutu pendidikan? Jumlah tersebut tentu jauh dari memadai untuk menutup unit cost per siswa yang rata-rata mencapai Rp 80.000-Rp 90.000-an.

Pemerintah pun dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa bantuan operasional sekolah hanya meng-cover 30 persen dari unit cost siswa.

Keadaan demikian bagi sekolah bagaikan buah simalakama. Sekolah ingin mengajak masyarakat berpartisipasi membiayai pendidikan, tetapi masyarakat menyandarkan pada BOS secara berlebihan. Sementara jika sekolah membebaskan seluruh biaya pendidikan kepada masyarakat, Bos ternyata jauh dari dapat untuk menutup kebutuhan sekolah. Realita ini diperparah dengan kakunya juknis dari pemerintah yang mengatur pemanfaatan dana BOS. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dinyatakan secara jelas bahwa pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Petunjuk teknis BOS secara eksplisit memang mengungkapkan jika sumbangan rutin bulanan masyarakat lebih kecil daripada BOS, sekolah tidak diperbolehkan memungut dari masyarakat. Sebaliknya, jika sumbangan rutin lebih besar daripada BOS, sekolah dapat meminta sumbangan kepada masyarakat dengan ketentuan besaran sumbangan masyarakat dikurangi besaran BOS. Ini artinya sekolah yang tetap melakukan pungutan tidak melanggar hukum sepanjang akuntabilitas dana sumbangan dapat dipertanggungjawabkan.

Persoalannya adalah media massa demikian mem-blow up dana BOS sehingga secara psikologis menyulitkan gerak dan langkah sekolah mendorong partisipasi masyarakat mampu turut membiayai pendidikan. Kenyataannya, melihat tuntutan kurikulum dan intensitas kegiatan siswa, sumbangan masyarakat guna kelangsungan dan kemajuan pendidikan menjadi mutlak dan penting. Dengan demikian pendidikan (baca: sekolah) gratis yang selama ini diidam-idamkan masyarakat masih sebatas wacana.

Agar terjadi kesepahaman dan kesamaan persepsi antara masyarakat, sekolah, dan pemerintah, komunikasi dan sosialisasi secara intens dan kontinu perlu dilakukan. Selain itu, secara sungguh-sungguh semua pihak perlu berupaya menciptakan atmosfer agar disharmoni dapat dihindarkan.
Berikut ini beberapa hal yang layak menjadi perhatian oleh pengambil maupun pelaksana kebijakan pendidikan.

Pertama, sebagai wujud nyata keberpihakan kepada rakyat, pemerintah secara sungguh-sungguh mengupayakan agar anggaran pendidikan segera mencapai 20 persen dari total APBN/ APBD seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945. Dengan demikian pemerintah sekaligus telah menempatkan bidang pendidikan sebagai pilar penting bukan sebatas retorika dan sekadar lips service. Di samping itu, upaya ini menjadi bagian nyata pemerintah menekan siswa putus sekolah akibat ketiadaan biaya.

Kedua, perlunya komitmen kuat pemerintah daerah (baca: dinas pendidikan) terhadap sektor pendidikan. Persepsi bahwa pendidikan sebagai sebuah proyek sudah saatnya ditanggalkan dan dibuang jauh-jauh. Sikap oportunis seperti mengharapkan setoran, upeti, dan memangkas bantuan baik dari pemerintah pusat maupun pihak lain segera disingkirkan. Pemda hendaknya berperan sebagai pemantau, pengontrol, dan fasilitator sekaligus memberikan kelulusan sekolah mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sekolah masing-masing. Sikap pemda ini perlu dibarengi dengan sikap tegas terhadap oknum kepala sekolah yang sengaja atau tidak sengaja menyeleweng.

Ketiga, perlunya transparansi dan keterbukaan kepala sekolah. Meskipun secara prinsip kepala sekolah adalah seorang guru, seorang kepala sekolah memiliki peran sentral di sekolah yang dipimpinnya.

Kepala sekolah hendaknya secara ikhlas menempatkan dirinya bukan sebagai birokrat, melainkan lebih sebagai seorang guru. Sikap demikian menjadikan setiap pengambilan keputusan penting sekolah senantiasa melibatkan seluruh komponen sekolah atau stakeholders.

Inilah bentuk akuntabilitas dan pertanggungjawaban terhadap publik yang lambat laun dapat menumbuhkan tingkat kepercayaan masyarakat.* (budiyana.kcm)


Tidak ada komentar: