Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Jangan cederai martabat penjabat bupati

Oleh Alex Dungkal *, Spirit NTT, 23 - 30 Juni 2008

KURSI kekuasan itu memang selalu menggoda siapa pun. Tidak terkecuali para penjabat bupati (caretaker) di daerah-daerah pemekaran. Meski Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2007 secara jelas melarang seorang penjabat bupati di daerah pemekaran mencalonkan diri dalam pilkada, tetap saja ada yang berupaya menabrak peraturan tersebut.

Itulah yang membuat Mendagri Mardiyanto kembali harus mengingatkan dengan keras para penjabat bupati di daerah pemekaran untuk tidak bermain api dengan peraturan yang ada. Kalau mereka memaksakan diri maju sebagai calon dan ikut pilkada, berarti penjabat yang bersangkutan sudah melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam PP tersebut.

Penegasan Mardiyanto itu disampaikan menyusul munculnya fenomena di sejumlah kabupaten di mana para penjabat bupati yang ditunjuk melaksanakan berbagai persiapan untuk pilkada justru berkeinginan maju dalam pilkada lewat pintu partai politik. Empat penjabat bupati di empat kabupaten hasil pemekaran di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yaitu Kabupaten Nagekeo, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, dan Manggarai Timur, adalah contoh betapa aturan main bisa begitu mudah dikangkangi.

Aneh, tapi itulah yang terjadi. Disebut aneh, karena yang diangkat adalah pejabat daerah terpilih, tentunya dengan jenjang jabatan tertinggi. Tapi, mengapa dalam hal ini mereka menjadi 'buta huruf'? Jawabannya sederhana bahwa ini memang bukan lagi sekadar soal ketaatan pada aturan main melainkan soal mental. Tepatnya soal nafsu atau syahwat mengejar kekuasaan.

Sebagai penjabat yang diberi tanggung jawab untuk menata sebuah daerah baru, mereka mestinya fokus pada upaya merawat dengan sebaik-baiknya sang 'bayi' yang baru lahir ini. Tugas dan konsentrasi mereka haruslah diberikan kepada pembentukan struktur pemerintahan, menjalankan roda pemerintahan, membentuk DPRD, memfasilitasi dan menyiapkan terlaksanya pilkada.

Tugas terakhir inilah yang sangat penting dan strategis. Lalu bagaimana jadinya jika seorang penjabat bupati yang mestinya memfasilitasi dan menyiapkan panggung pilkada malah ikut bermain di panggung pilkada?

Selain mencederai tugas-tugas yang dipercayakan negara kepadanya, seorang penjabat bupati juga sangat berpotensi merusak tatanan pilkada yang demokratis, bebas, jujur, dan adil. Adalah sangat tidak adil jika seorang penjabat bupati ikut bermain di saat dia masih mengenakan tanda-tanda jabatannya. Penyalahgunaan jabatan, pemanfaatan jaringan birokrasi, serta godaan penggunaan uang negara/daerah, merupakan bentuk kriminalisasi jabatan.

Itulah yang harus dihindari. Karena itu, PP No. 25/2007 adalah benteng ampuh yang bisa mengeliminasi penjabat dari godaan setan yang memang masih bergentayangan di lingkungan birokrasi pemerintahan. PP tersebut dibuat untuk tujuan yang mulia dan luhur. Jangan merusak aturan yang berlaku.
Kita harapkan para penjabat bupati menyadari posisinya dengan mengikuti aturan-aturan atau ketentuan yang berlaku, tanpa tedeng aling-aling. Berkonsentrasilah pada tugas dan tanggung jawab sebagai penjabat kepala daerah.

Jauh lebih penting menyiapkan secara sungguh-sungguh jalan bagi terpilihnya bupati definitif daripada ikut bermain di panggung pilkada. Menyiapkan jalan bagi datangnya pimpinan daerah yang baru adalah pekerjaan mulia, meski tentu tidak ringan.

Para penjabat sama sekali tidak dibenarkan oleh peraturan untuk mempersiapkan diri sendiri menjadi bupati dan wakil bupati atau gubernur dan wakil gubernur. Mempersiapkan diri sendiri menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah adalah tindakan tidak sportif dan bertentangan dengan hukum positif dan etika. *

* Penulis, wartawan tinggal di Jakarta (ntt online)



Tidak ada komentar: