Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Kesejahteraan perawat belum mendapat perhatian

Spirit NTT, 19-25 Mei 2008

KUPANG, SPIRIT--Organisasi profesi para perawat yang tergabung dalam Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) atau Indonesian National Nurses Association NTT, beraudiensi dengan DPRD NTT, belum lama ini.Senin (12/5/2008). Audiens ini dalam rangka memeriahkan Hari Perawat, Senin (12/5/2008). Agenda yang dibahas dalam audensi itu, antara lain pemaparan profil singkat PPNI, pembahasan masalah-masalah perawat NTT saat ini, dan warna sari.

Sabina Gero, S.Kp, M. Sc., Ketua PPNI NTT, mengatakan PPNI organisasi yang berazaskan kaidah dan nilai-nilai profesi keperawatan. Organisasi ini didirikan di Indonesia pada 17 Maret 1974. Di NTT sendiri telah hadir 26 tahun lalu, tepatnya pada 20 Oktober 1982. Di dalam menjalankan program kerja, PPNI selalu berpedoman pada visi dan misi.

Sabina menyebut visi PPNI adalah menjadi suara masyarakat keperawatan dan memiliki komitmen dalam memberikan pelayanan keperawatan profesional untuk mencapai Indonesia sehat 2010 (NTT sehat 2010).

Misi PPNI, pertama, memantapkan manajemen dan kepemimpinan PPNI untuk mencapai good governance dan jejaring yang kuat antara tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota dan komisariat.

Kedua, mendukung perawat Indonesia agar mampu meberikan asuhan keperawatan yang aman, kompeten, dan profesional bagi masyarakat Indonesia. Ketiga, menjadi pintu gerbang standar keperawatan secara regional maupun Internasional.

"PPNI memiliki anggaran dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), hasil MUNAS VII PPNI di Manado, Tahun 2005," tambah Sabina.

Dia menjelaskan, di Indonesia dan khususnya NTT, perawat menjadi profesi dengan jumlah terbesar. Saat ini di NTT terdapat sekitar 2.900 orang perawat. "Sebagai wadah profesi perawat, PPNI selalu berusaha mengakomodir dan memperjuangkan hak-hak perawat. Khusus untuk periode 2006- 2010, PPNI terfokuskan pada beberapa bidang kegiatan keperawatan," ujar Sabina.

Kegiatan di bidang hukum dan pemberdayaan politik, kata Sabina, antara lain melaksanakan kegiatan sosialisasi draft UU Praktek Keperawatan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Propinsi NTT. Di Bidang Pendidikan dan Pelatihan, misalnya, mengadakan pelatihan pembuatan proses keperawatan dan pengakajian fisik bagi perawat RS Bhayangkara dan RS Wirasakti. Selain itu, mengikuti kegiatan pelatihan TOT pengembangan manajemen kinerja klinik di Jakarta.

Di Bidang Pengembangan Kerja sama dan Humas, kegiatan
yang dilakukan adalah membentuk forum komunikasi antar perawat yang bekerja di lingkungan pendidikan dan pelayanan kesehatan dalam wadah ikatan tenaga pendidik dan pelayanan keperawatan Kupang.


Bidang Pelayanan Keperawatan, misalnya, melaksanakan kegiatan pengobatan massal dan penyuluhan kesehatan di beberapa wilayah di Kota Kupang bekerja sama dengan yayasan kemanusiaan, Poltekkes Kupang, serta SVD Kupang.

Kesejahteraan
Di Bidang Kesejahteraan, kata Sabina, membentuk paguyuban ikatan tenaga pendidik dan pelayanan keperawatan (ITPPK).
Menyinggung soal permasalahan yang dihadapi dan sering menjadi keluhan perawat-perawat di NTT, khususnya yang melayani kabupaten/kota, Sabina mengatakan, kesejahteraan perawat belum sepenuhnya mendapat perhatian pemerintah. "Aturan dalam PERDA di kabupaten/kota kurang memihak perawat," katanya.

Masalah lainnya, kurangnya posisi penting dalam struktur birokrasi pemerintah. Padahal, menurutnya, kemampuan memimpin dan mengatur seorang perawat tidak kalah dengan dokter yang selama ini selalu diprioritaskan.

Sabina menjelaskan, dari 17 Rumah Sakit (RS) yang tersebar di NTT, hanya ada satu orang direktur yang berasal dari keperawatan, yakni RS di Kabupaten Alor. Untuk jabatan kepala dinas, baru satu orang dengan latar belakang pendidikan keperawatan dari 20 Dinas Kesehatan se-NTT, yakni di Kabupaten Ngada. "Kepmendagri 41 tentang adanya komite perawat dalam struktur organisasi RS belum tertuang di seluruh RS di NTT," tuturnya.

Masalah lainnya, pendidikan tinggi keperawatan di NTT. Berdirinya beberapa Sekolah Keperawatan dari luar NTT (kelas jauh) dengan tujuan bisnis semata, dapat menurunkan mutu pendidikan dan ouput yang dihasilkan.

Menurut Sabina, institusi-institusi ini didirikan hanya melalui izin Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti), tanpa rekomendasi dari PPNI NTT dan PEMDA NTT.

Hal ini, jelasnya, sangat bertentangan dengan UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992, pasal 59. "Semua penyelenggaraan sarana kesehatan termasuk pendidikan harus memiliki izin, MUNAS PPNI. STIKES dibuka setelah mendapat rekomendasi dari PPNI setempat," tegasnya. (pascal/humas dped ntt)

Insentif ditingkatkan

SEBAGAIMANA diamanatkan dalam UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992, pasal 23 Ayat 1, 2, dan 3 disebutkan, "Kesehatan kerja diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas kerja." Namun hal ini belum mendapat porsinya.

Menurut Sabina, perawat paling berisiko terhadap semakin meningkatnya penyakit infeksi menular karena melakukan kontak fisik langsung dengan pasien.

Untuk itu, katanya, diperlukan PERDA tentang general check up gratis bagi perawat secara reguler. "Juga perlu adanya peningkatan insentif perawat di semua tatanan pelayanan keperawatan," ujarnya.


Menyoal pajak penghasilan tenaga kerja perawat, diakui Sabina, terlampau tinggi atau sebesar 15 persen dibandingkan tenaga kesehatan lainnya yang hanya 7,5 persen. Hal ini menggambarkan kurangnya komitmen pemerintah terhadap kesejahteraan perawat. Juga kepada perawat masih diberlakukan tarif pajak yang lama.

Masalah lainnya, diakui Sabina, pemerintah masih membatasi praktek mandiri keperawatan. Belum adanya UU yang mengakomodir secara khusus praktek keperawatan sebagaimana bidan dan dokter.

Sabina, pada kesempatan itu meminta Dewan untuk secara simultan memperjuangkan dan meloloskan pembahasan rancangan UU Praktek Keperawatan di DPR saat ini.
Wakil Ketua DPRD NTT, Drs. Kristo Blasin, didampingi Ir. Emilia Nomleni, mengatakan, DPRD melalui Komisi D sudah pernah membicarakan hal ini. Namun kurangnya dukungan berupa data dan informasi dari institusi terkait menyebabkan pembicaraan itu belum bisa ditindaklanjuti.

Kristo meminta PPNI sebagai organisasi profesi perawat untuk terus memperkenalkan dan mensosialisasikan tugas dan kedudukan perawat dalam pelaksanaan tugasnya kepada masyarakat sehingga paradigma perawat sebagai pembantu dokter dapat dihilangkan.

Selain aktivitas internal, kata Blasin, PPNI sedapat mungkin memperbanyak aktivitas eksternal antar organisasi. Salah satunya melalui diskusi dan interaksi dengan fraksi-fraksi di DPRD NTT dan pemerintah.

Blasin mengimbau PPNI menjalin kerja sama dengan pakar-pakar hukum di bidang kesehatan untuk melakukan kajian terhadap hal-hal yang perlu di-PERDA-kan. Dan diharapkan kebijakan yang dihasilkan nantinya dapat diberlakukan juga di seluruh kabupaten/kota se-NTT.

Tertibkan
Menyinggung maraknya sekolah-sekolah kesehatan yang hanya didirikan dengan izin Kopertis tanpa persetujuan PEMDA atau organisasi profesi lokal, Kristo Blasin menyatakan sangat terkejut. Ia dengan tegas mengatakan hal ini perlu ditertibkan.
Emi Nomleni menyoroti tunjangan-tunjangan yang diperoleh perawat. Menurutnya, perlu dilakukan dialog untuk mendapatkan kesamaan pandangan dan mencari jalan keluarnya. "PPNI juga perlu mengkomunikasikannya dengan perawat-perawat yang ada di kabupten/kota. Dan, laporan yang diperoleh diteruskan ke Dinas Kesehatan dan Dinas P dan K Propinsi," katanya.

Kristo Blasin meminta PPNI bisa menjadi pendobrak, mencari dan menemukan jalan keluar untuk mengatasi persoalan-persoalan yang ada, dengan melibatkan perawat-perawat yang ada di kabupaten/kota.

Dia mengusulkan organisasi itu untuk bekerja sama dengan Forum Parlemen, membuat suatu seminar, sehingga Dewan bisa menjembatani dan meminta pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan dalam bentuk PERDA yang lebih memihak perawat.
Berkaitan dengan rancangan UU Praktek Keperawatan, Kristo mengatakan, DPRD NTT akan bantu memperjuangkannya sesuai dengan tugas dan kewenangan. (pascal/humas dprd ntt)

1 komentar:

ghen mengatakan...

tolong pikirkn nasib kmi...