Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Ujian Nasional dan Reformasi Sekolah

Spirit NTT, 31 Maret - 6 April 2008

UJIAN nasional merupakan salah satu kegiatan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan standar nasional pendidikan. Pelaksanaannya pun telah diatur melalui Keputusan Mendiknas No 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004. Ujian itu diikuti pada setiap jenis satuan pendidikan untuk menentukan kompetensi peserta didik dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan.
Mengapa untuk standar nasional? Standar nasional pendidikan diperlukan untuk mengetahui kualitas sekolah dan lulusannya dengan harapan dapat memperbaiki mutu pendidikan. Karena itu, ujian nasional yang dimulai tahun 2004 ditetapkan batas kelulusan 4,01. Selain itu, tidak ada ujian ulangan lagi sebagaimana pada tahun 2003.
Hakikat
Perubahan pola pelaksanaan itu merupakan salah satu upaya mendukung kebijakan pemerintah dalam peningkatan mutu pendidikan nasional.
Ujian nasional merupakan penilaian hasil belajar siswa yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan pada jalur sekolah secara nasional. Itu sejalan dengan tujuannya, yakni mengukur pencapaian hasil belajar siswa, mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan sekolah/madrasah, serta mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Karena itu, ujian nasional digunakan sebagai alat pengendali mutu pendidikan secara nasional, pendorong peningkatan mutu pendidikan, dan bahan dalam menentukan kelulusan peserta didik. Selain itu, sebagai dasar pertimbangan dalam seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya dan salah satu instrumen untuk pemetaan mutu satuan pendidikan.
Kompetensi akhir peserta didik dinyatakan secara legal dalam bentuk surat tanda tamat belajar (STTB), ijazah, dan/atau sertifikat kompetensi. Yang dinyatakan tamat akan memperoleh STTB. Surat itu memuat daftar nilai akhir semua mata pelajaran yang diperoleh peserta didik. Sedangkan ijazah diberikan kepada peserta didik yang telah tamat dan lulus ujian nasional.
Sebagaimana yang telah berjalan, ujian nasional diselenggarakan sekali dalam satu tahun pada akhir semester genap (Juli) tanpa ujian ulangan. Karena itu, sungguh tidak tepat dan akan terjebak pada pemborosan bilamana ujian tersebut dilakukan dua kali, yaitu pada akhir semester genap dan akhir semester gasal pada setiap tahunnya.
Ketidaktepatan itu karena penerimaan siswa dan mahasiswa baru pada pendidikan berikutnya dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus. Dengan begitu, jika ujian nasional dilakukan bulan Oktober (semester gasal), peserta didik setelah tamat akan menganggur menunggu sampai Juli tahun berikutnya. Pemborosan akan terjadi karena jika dilakukan dua kali dalam setahun, akan banyak biaya bagi penyelenggaraannya.
Di sisi lain, agar hasil ujian dapat dipertanggungjawabkan secara akademis maupun kepada masyarakat, penilaiannya harus objektif, berkeadilan, dan akuntabel tanpa pengatrolan nilai.
Langkah maju
Diakui atau tidak, penetapan batas minimal kelulusan untuk tahun ini 4,25 merupakan langkah maju demi peningkatan mutu pendidikan. Memang itu belum sepenuhnya sesuai dengan harapan. Sebab, 4,25 masih merupakan nilai di bawah standar penilaian berdasarkan ketuntasan pencapaian kompetensi atau tujuan pembelajaran. Idealnya batas kelulusan 6,01. Tapi sekali lagi, itu jika semua pihak bersepakat untuk meningkatkan mutu, meski baru sebatas minimal kelulusan ideal.
Malahan jika ingin benar-benar bersaing dan bersanding dengan negara-negara maju, batas nilai kelulusan yang harus dicapai peserta didik negeri ini semestinya 7,01! Percayalah, suatu saat kita akan berani melakukan itu jika memang ingin meningkatkan mutu dan lulusannya mempunyai nilai jual dan daya saing.
Karena itu, kesadaran bahwa pendidikan merupakan bagian esensial dari struktur masyarakat demi membantu mereproduksi masyarakat tersebut harus ditumbuhkan. Sejalan dengan itulah, proses pendidikan menuntut pembaharuan secara terus-menerus, baik dalam hal tujuan, standar kompetensi (kurikulum), pembelajaran, maupun penilaiannya.
Standar-based education merupakan integrasi secara konsisten mengenai tujuan pendidikan, standar kompetensi (kurikulum), proses pembelajaran, dan penilaian.
Ujian nasional sendiri semestinya mengacu pada standar kompetensi yang telah ditetapkan secara nasional. Namun permasalahannya, apakah pendidikan di negeri ini sudah benar-benar memiliki standar-based education? Jika pun sudah punya, ujian nasional harus mengacu kepada ujian acuan standar. Di dalamnya tentu harus ada standar kompetensi yang jelas dan disepakati, ada performance standard yang menggambarkan pengetahuan, dan keterampilan serta sikap dan nilai yang harus dicapai. Selain itu, ada nilai batas lulus yang menunjukkan tercapainya performance standar, nilai mempunyai makna substantif dikaitkan dengan standar kompetensi, dan keputusan hasil ujian memilah peserta didik ke dalam lulus/tidak lulus atau layak/tidak layak.
Karena itu, desain ujian acuan standar menuntut bahan ujian terfokus pada kompetensi (hasil belajar), bentuk soal/tugas sesuai dengan kompetensi yang akan diukur, dan soal/tugas merefleksikan bobot, cakupan, dan kedalaman yang dinyatakan dalam standar kompetensi (kurikulum).
Apabila kita mendambakan anaklulusan sekolah memiliki kompetensi tinggi dalam hal pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap, tentu diperlukan kesadaran tinggi semua pihak untuk meningkatkan standar kelulusan. Itu sebagai wujud upaya meningkatkan mutu.
Harapan
Selanjutnya sekolah harus mampu mereformasi diri dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan dengan mengelola pendidikan secara baik. Konkretnya antara lain menetapkan standar-based-education, melakukan pembelajaran berbasis kompetensi, dan meningkatkan kualitas keilmuan dan pembelajaran bagi guru-guru sesuai dengan bidang keahlian masing-masing.
Tentu saja di situ ada dukungan sarana dan prasarana yang memadai dan membuat peserta didik sibuk melakukan pembelajaran yang mengarah kepada pencapaian standar kompetensi pendidikan yang ditetapkan.
Sekolah semestinya mampu meningkatkan mutu lulusan pada keseluruhan aktivitas sekolah, baik intra maupun ekstrakurikuler. Di samping itu, keberadaan kultur sekolah yang mendukung kemajuan, kemampuan melaksanakan reformasi sekolah, dan para pelaksana pendidikan harus mampu berinovasi dan berkreasi dalam mengelola sekolah untuk mencapai tujuan terbaik sesuai dengan kondisi masing-masing.
Di luar itu, para pengelola pendidikan harus senantiasa mendorong terciptanya hubungan kerjasama yang harmonis antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Para pelaksana pendidikan pun harus senantiasa berusaha mengembangkan "kepercayaan" di kalangan warga sekolah.
Orang tua harus memiliki sistem tanggung jawab yang baik terhadap pendidikan anak-anaknya. Caranya, dengan memberikan dukungan kepada anak-anaknya untuk belajar secara baik di sekolah maupun di rumah, memberikan perhatian, dan mendisiplinkan anak-anaknya untuk belajar secara baik di rumah. Selain itu, jangan lepas tanggung jawab dalam pendidikan anaknya karena sudah diserahkan ke sekolah. Seolah-olah pendidikan anak tanggung jawab sekolah, sudah bayar uang sekolah berarti sudah beres semuanya.
Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama, jangan hanya menuntut tetapi tidak memberikan andil besar kepada anak-anaknya dalam belajar.
Masyarakat harus ikut mendukung upaya peningkatan pendidikan demi kemajuan bangsa kita yang sudah terpuruk ini dalam berkaitan dengan SDM. Jangan malah memperburuk suasana yang mengacaukan upaya-upaya peningkatan kualitas lulusan siswa di sekolah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Berpikirlah yang jernih, renungkanlah bahwa bangsa kita sudah ketinggalan jauh dari negara-negara lain, maka upaya yang paling tepat untuk mengatasinya adalah melalui pendidikan.
Pendidikan harus ditata secara terus-menerus dan diupayakan peningkatan mutunya melalui salah satunya penetapan standar kelulusan. Hal itu janganlah menjadikan sesuatu yang merisaukan, tetapi merupakan keharusan dan tuntutan serta tantangan yang harus kita hadapi bersama.
Lulusan yang berkompeten akan sangat tergantung pada aktivitas belajar di sekolah, kultur (budaya sekolah), school reform, partisipasi masyarakat, kemandirian, dan tanggung jawab siswa serta peningkatan profesionalitas sumber daya manusia (guru, konselor, pengelola pendidikan, dan tenaga penunjang pendidikan) di sekolah. Saya percaya, ini dapat diwujudkan asal ada sikap positif semua pihak dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di negara kita ini.
Dengan begitu, tidak perlu mempermasalahkan secara negatif upaya peningkatan standar kelulusan siswa dalam nilai ujian nasional. Tidak setuju berarti tidak ingin maju, sekolah tidak siap karena kualitasnya rendah, dan masyarakat hanya ingin lulus, tetapi tidak berpikir setelah lulus apa memiliki nilai jual atau tidak, dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi atau tidak, dapat bersaing untuk bekerja atau tidak, atau sekadar yang penting lulus meski tidak bermutu. Lantas, kapan negara dan bangsa kita maju? (mungin eddy wibowo)

Tidak ada komentar: