Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sebuah 'Indonesia' yang Tertinggal

Spirit NTT, 31 Maret - 6 April 2008

KETIKA pemerintah meluncurkan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), angin segar berhembus di ruang-ruang guru dan dosen. Pasalnya, mereka akan mendapatkan penghasilan yang 'menggiurkan.'
Pemerintah akan memberikan tunjangan profesi yang setara dengan satu kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
Namun, untuk mendapatkan tunjungan profesi, seorang guru harus memiliki sertifikat pendidik yang tentu saja tidak mudah untuk mendapatkannya lantaran memang dibikin 'sulit' dan 'rumit.' Walhasil, bisa dihitung dengan jari guru di Indonesia yang berjumlah sekitar 2.700.000 yang bisa menikmati tunjangan tersebut. Misalnya saja, untuk bisa mengikuti uji sertifikasi, seorang guru harus bisa mengumpulkan dokumen portofolio sekitar 850 poin. Wah, bisa bertumpuk-tumpuk dokumen yang mesti dikumpulkan oleh seorang guru.
Dan, sudah pasti, hanya guru yang memiliki 'jam terbang' tinggi alias masa kerja yang cukup lama yang bisa menyodorkan bukti portofolio semacam itu. Itu pun kalau guru yang bersangkutan pandai-pandai mengarsipkan semua dokumen, seperti sertifikat, SK, ijazah, surat tugas, dan lain-lain. Kalau tidak, ya, mohon maaf, terpaksa harus lebih banyak berlatih menahan kesabaran.
Pada awalnya sih program sertifikasi guru didesain ideal dan ndakik-ndakik. Simak saja pernyataan 'Sekapur Sirih' Dr. Zamroni, Direktur Profesional Pendidik, dalam situs http://www.sertifikasiguru.org/ berikut ini.
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan telah merencanakan program kegiatan dengan menggunakan dana APBNP Tahun 2006 untuk mengimplementasikan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen (UUGD). Program tersebut antara lain pelaksanaan sertifikasi guru, peningkatan kualifikasi, peningkatan kompetensi guru, pendidikan di daerah terpencil, dan maslahat tambahan (penghargaan akhir masa bakti bagi guru dan beasiswa bagi putra-putri guru berprestasi/berdedikasi).
Tujuan sertifikasi adalah untuk meningkatkan kualitas guru yang pada akhirnya diharapkan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Guru dalam jabatan yang telah memenuhi syarat dapat mengikuti proses sertifikasi untuk mendapat sertifikat pendidik.
Dalam APBNP-P tahun 2006, Depdiknas menargetkan untuk dapat melakukan uji sertifikasi terhadap 20.000 guru. Prioritas uji sertifikasi tahap awal ini adalah guru-guru yang mengajar di jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) yang telah memenuhi persyaratan.
Peningkatan kualifikasi guru disamping untuk meningkatkan kompetensinya, sehingga layak untuk menjadi guru yang profesional, juga dimaksudkan agar guru yang bersangkutan dapat mengikuti uji sertifikasi setelah memperoleh ijazah S1/D4 serta mengikuti pendidikan profesi. Pemberian bantuan biaya pendidikan untuk meningkatkan kualifikasi bagi guru-guru SD dan SMP dengan menggunakan dana APBNP tahun 2006 merupakan salah satu wujud implementasi UUGD.
Berkaitan dengan maslahat tambahan, UU No. 14 Tahun 2005 mengamanatkan bahwa, ômaslahat tambahan merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lainö. Salah satu bentuk maslahat tambahan yang diprogramkan adalah pemberian penghargaan akhir masa bakti bagi guru dan pemberian beasiswa pendidikan bagi putra-putri guru berprestasi/ berdedikasi.
Namun, ketika UUGD sudah diluncurkan, sedangkan PP-nya dibikin ngadad, desain ideal dan ndakik-ndakik semacam itu banyak menimbulkan tanda tanya.
Secara jujur harus diakui, implementasi program sertifikasi para Oemar Bakrie ini sangat rentan terhadap ulah manipulasi, kecurangan, nepotisme, dan berbagai ulah tak terpuji lainnya. Rekruitmen guru yang berhak mengikuti uji sertifikasi hanya mereka yang memiliki hubungan kedekatan dengan 'lingkaran' birokrat pendidikan di tingkat lokal. Apalagi, pertimbangan utama yang dikedepankan adalah senioritas alias masa kerja. Para guru 'yunior' yang sarat prestasi pun bisa jadi akan tersingkir.
Jika praktik-praktik tak terpuji semacam itu dibiarkan terus terjadi dalam dinamika dunia pendidikan kita, maka peningkatan mutu pendidikan yang menjadi rencana strategis (Renstra) Depdiknas dan gencar digembar-gemborkan secara masif di berbagai media itu hanya akan menjadi slogan tanpa makna. Apalagi kalau guru-guru muda potensial ûyang seharusnya layak untuk menerima penghargaan dan kesejahteraan memadai dan bisa 'diambil hati'-nya untuk ikut memperbaiki carut-marutnya dunia pendidikan sengaja 'disingkirkan', jangan harapkan pamor pendidikan di tanah air kita tercinta ini mampu bersinar terang di tengah-tengah masyarakat global dan mondial.
Belum lagi dampak kecemburuan sosial antarguru di tingkat sekolah. Mereka yang telah mengantongi sertifikat pendidik bisa jadi akan tertimpa beban sosial yang lebih berat. Semangat pengabdian dan loyalitas guru yang belum memiliki sertifikat akan mengendur dan ini dampak yang lebih buruk menyerahkan semua tugas kependidikan di sekolah kepada guru yang telah duduk di atas ôsinggasanaö sertifikat pendidik dengan segenap fasilitas kesejahteraannya. Bukankah ini sebuah implikasi sosial yang perlu dipikirkan secara serius oleh para pengambil kebijakan pendidikan kita?
Sertifikasi guru di negeri kita, agaknya akan menjadi sebuah 'Indonesia' yang tertinggal ketika program 'prestisius' itu hanya akan menciptakan kegelisahan dan kerumitan baru. Apalagi jika tidak diimbangi dengan kalkulasi anggaran yang cermat dan memadai.
Atau, jangan-jangan lambatnya uji sertifikasi guru dan 'penyingkiran' guru-guru 'yunior' itu lantaran tidak tersedianya anggaran untuk mengangkat harkat, martabat, dan citra guru? Kalau itu asbabunnuzul-nya, betapa sosok guru selama ini memang hanya diposisikan untuk menjadi 'kelinci percobaan' seperti dalam praktik pelaksanaan kurikulum yang sering kali berubah-ubah itu?
Kalau memang para pengambil kebijakan pendidikan memiliki 'kemauan politik' untuk meningkatkan kesejahteraan guru, idealnya program sertifikasi guru dilaksanakan secara terbuka. Berikan kesempatan kepada semua guru, baik negeri maupun swasta, untuk mengikutinya. Biarkan mereka berkompetisi secara fair dan terbuka melalui proses ujian. Kalau memang mereka gagal meraih sertifikat pendidik, mereka pasti bisa menerima dengan sikap lapang dada. Jika untuk mengikuti ujian saja mesti dibikin rumit karena harus mengumpulkan dokumen portofolio yang bejibun jumlahnya itu, jangan salahkan guru kalau mereka jadi 'alergi' terhadap program sertifikasi guru.
Yang lebih mencemaskan, kalau sampai guru kehilangan komitmen dan kepedulian untuk ikut 'mendongkrak' mutu pendidikan kita. Kalau kekhawatiran ini benar, maka ômusibahö besar yang akan melanda dunia pendidikan kita hanya menunggu waktu. (sawali tuhusetya)

Tidak ada komentar: