Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tantangan Keluarga dalam Pilkada

Oleh Haryono Suyono *

Spirit NTT, 31 Maret - 6 April 2008

AKHIR-akhir ini keluarga di Indonesia mengalami berbagai musibah nasional seperti peristiwa Tsunami di Aceh, peristiwa bencana alam yang dahsyat di Nias, busung lapar di NTB dan NTT dan daerah-daerah lain, serta berbagai gangguan teror yang sadis dan tidak pandang bulu di berbagai wilayah.
Berbagai peristiwa mengerikan itu mengundang seluruh keluarga Indonesia, di manapun mereka berada, untuk bersatu dan hidup rukun sesamanya. Keluarga Indonesia, seperti nenek moyangnya, yang berasal dari berbagai suku, kepercayaan agama, maupun latar belakang budaya lainnya, harus mampu menciptakan suasana damai untuk secara gotong membangun masyarakat yang adil dan makmur.
Karena itu Peringatan Hari Keluarga Nasional setiap tahun merupakan momentum yang baik sekali untuk menempatkan keluarga dan penduduk sebagai titik sentral pembangunan. Keluarga sebagai wahana yang utama dan pertama untuk mengembangkan anak bangsa, pantas diperhitungkan untuk kembali memberikan peran yang berarti sebagai institusi pembangunan yang mampu dan berdiri di barisan paling utama.
Keluarga seyogyanya menjadi pusat kekuatan yang diberikan bimbingan dan pemberdayaan yang komprehensif agar mampu berperan memberdayakan anggotanya mulai saat yang sangat dini, pada saat anak-anak bangsa ini perlu dikembangkan menjadi manusia baru yang bermutu dan mempunyai kreatifitas yang sanggup menopang kehidupan bangsanya.
Penugasan kepada lembaga keluarga itu bisa dimulai dengan tekad yang bulat melalui pembangunan kultur dalam lingkungan keluarga agar dengan ikhlas dan tegas tidak lagi membedakan anggota laki-laki dengan perempuan, suatu budaya baru sesuai dengan moto 'laki-laki perempuan sama saja.' Budaya yang ikhlas menerima flatform kesetaraan gender akan mendorong dan memberi arti yang tinggi terhadap pandangan kedepan dalam proses antisipasi masa depan dalam kancah perjuangan dunia yang makin modern dan beradab.
Proses pengembangan budaya dengan kesetaraan gender tersebut menjadi pijakan yang kuat karena kecepatan proses pengembangan selanjutnya terletak pada bagian yang terlemah, yaitu perempuan. Dalam proses ini, setiap pimpinan keluarga, atau anggota yang menjadi panutan, harus siap lebih menonjolan anak perempuan sebagai titik sentral pembangunan. Anak-anak perempuan mendapat dukungan pemeliharaan kesehatan secara dini, dukungan pendidikan yang luas, dan kesempatan berperan yang berani. Artinya, ketika masa anak-anak, anak perempuan tidak boleh lagi 'dianggap' harus mengalah, tetapi juga 'boleh' dimenangkan.
Dengan cara seperti itu anak-anak perempuan mempersiapkan diri sejak dini agar di kemudian hari bisa bermain seimbang dengan remaja laki-laki, dan dengan bekal tekad yang tinggi mempergunakan kesempatan menempuh jalur pendidikan dan akhirnya bekerja dan berkarier sama baiknya dengan kaum lelaki.
Keluarga akan menghadapi arus perubahan global. Biarpun batas antara negara menjadi sangat tipis, tetapi proses pengembangan sosial budaya dalam ukuran mikro pasti akan tetap mendapat dukungan dari penerimaan atau penolakan keluarga akan arus tata nilai yang dikembangkan. Baik buruknya proses itu akan tergantung kepada kematangan dan kesiapan keluarga menerima atau menolak postulat-postulat baru yang berseliweran.
Kita sedikit beruntung. Perhatian pada perempuan dipertajam perkembangan tren kependudukan nasional, yaitu mencuatnya pertambahan penduduk dewasa dan keluarga lanjut usia. Secara teoritis, pertambahan penduduk remaja dan dewasa, berkat keberhasilan gerakan KB nasional, menunjukkan kelipatan yang sangat tinggi. Di beberapa daerah kelipatan itu bisa mencapai tiga sampai empat kali dibandingkan keadaannya pada tahun 1970. Di beberapa wilayah lainnya kelipatan itu terbatas pada jumlah sekitar 1,5 sampai 2,0 kali lipat dibandingkan dengan keadaan di tahun 1970. Apapun kelipatannya, tidak satu daerahpun di Indonesia, karena keberhasilan menyusutnya penduduk usia anak-anak, atau dibawah usia 15 tahun, yang jumlah penduduknya tidak bertambah secara signifikan.
Oleh karena itu, peringatan Hari Keluarga Nasional setiap tahun, lebih-lebih dalam menghadapi Pilkada, pemerintah dan masyarakat harus bijaksana, tidak saja merangsang pengembangan demokrasi secara luas, tetapi juga dalam lingkungan keluarga dan masyarakat sekelilingnya.
Proses sosialisasi dengan menempatkan perempuan dalam posisi yang makin siap untuk mandiri, profesional dan berbudaya akan menolong proses demokrasi dalam lingkungan yang lebih luas. Upaya ini mendukung perubahan atau penyesuaian budaya bangsa secara keseluruhan, yaitu menempatkan perempuan dalam posisi terhormat dalam lingkungan legislatif, eksekutif dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Dengan proporsi perempuan yang relatif kecil dalam pendidikan tingkat tinggi, dan keterlibatannya dalam berbagai organisasi masyarakat yang juga kecil, akibatnya calon-calon untuk bupati dan atau walikota dan wakilnya dalam pilkada, juga kecil. Karena jumlah wakil kecil, maka keterwakilan mereka dalam berbagai lembaga legislatif atau eksekutif yang di pilih secara langsung, juga akan kecil.
Oleh karena itu, disamping kita benahi berbagai lembaga yang dimasa lalu mempunyai peran penting seperti Posyandu dan pengembangan Bina Keluarga Balita, strategi pemberdayaan keluarga dengan menempatkan perempuan sebagai titik sentral pemberdayaan perlu segera disegarkan. Perjuangan keluarga harus menjadi tumpuan perjuangan semua kaum untuk menempatkan perempuan sebagai titik sentralnya. Artinya, semua kekuatan dan elemen pembangunan harus bertanggung jawab serta mempunyai komitmen politik mendukung upaya pemberdayaan masyarakat yang mengantar dan mendukung kaum perempuan menjadi insan yang bermutu, dinamis, dan akhirnya mampu berjuang secara mandiri, demokratis dan berbudaya.
Untuk mampu berjuang secara mandiri, disamping institusi sekolah dan lembaga lainnya, setiap keluarga harus bisa menjadi lembaga pemberdayaan yang mumpuni. Artinya harus siap mengantisipasi masa depan dan mampu memberi pembekalan yang komprehensif. Tuntutan perjuangan yang mandiri itu kiranya disertai proses pemberdayaan sumber daya manusia, khususnya perempuan, mulai usia sangat dini, anak-anak dan remaja. Pemberdayaan yang didukung pengembangan suasana dan lingkungan yang kondusif, demokratis, dan memihak masyarakat kurang mampu yang biasanya mandul karena perubahan sosial yang sangat dahsyat.
Paralel dengan usaha pemberdayaan masyarakat dan manusia itu, secara sadar perlu dikembangkan dengan sungguh-sungguh upaya menempatkan kehormatan pada harga diri manusia, khususnya kaum perempuan. Dengan demikian pemberdayaan menjadi sangat relevan dalam konteks hak-hak azasi manusia. Oleh karena itu perlu dikembangkan suasana penghargaan yang menjamin hal-hal sebagai berikut :
* Kebebasan dari diskriminasi, terutama dalam hubungan dengan jender, termasuk karena alasan ras, etnik, asal-usul kebangsaan atau agama;
* Kebebasan kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan untuk suatu kehidupan yang sejahtera;
* Kebebasan kaum perempuan untuk mengembangkan diri dengan potensi diri yang memadai;
* Kebebasan kaum perempuan dari rasa takut;
* Kebebasan kaum perempuan dari ketidakadilan;
* Kebebasan kaum perempuan untuk berpikir, berbicara serta berpartisipasi dalam mengambil keputusan dan berorganisasi;
* Kebebasan kaum perempuan untuk bekerja secara wajar tanpa eksploitasi.
Dengan demikian secara operasional, pemberdayaan dan pengembangan manusia, khususnya dengan prioritas kaum perempuan, anak-anak dan remaja, adalah suatu proses yang memungkinkan setiap individu mampu memenuhi pilihannya dengan bijaksana karena sebagai manusia yang bermutu bisa berfungsi dan mempunyai kemampuan lebih baik. Karena itu pemberdayaan dan pengembangan kaum perempuan harus diterjemahkan sebagai upaya memperbaiki fungsi dan kemampuan manusia. Pengembangan dan pemberdayaan kaum perempuan mengantar setiap individu untuk bisa hidup lebih lama, lebih sehat, lebih profesional, lebih sejahtera dan terhormat.
Pengembangan dan pemberdayaan perempuan Indonesia, khususnya, dalam konteks keluarga yang sejahtera, haruslah bertujuan untuk menciptakan kaum perempuan yang mandiri, demokratis dan berbudaya. Upaya ini pada intinya haruslah diantarkan melalui pemberdayaan dalam bidang kesehatan untuk hidup lebih sehat dan berumur panjang, pendidikan dan pembelajaran untuk memperluas kesempatan membangun manusia yang profesional dan mampu mengembangkan prakarsa dan kesempatan kerja yang menguntungkan, serta peningkatan pendapatan untuk menjadi manusia mandiri agar bisa melakukan pilihan demokratis yang berbudaya.
Keberhasilan upaya-upaya itu seyogyanya didukung komitmen pengembangan suasana kondusif yang memberikan kesempatan pilihan secara adil dan terhormat. Melalui kesempatan seperti itu, yaitu pendekatan komprehensif dalam pengembangan dan pemberdayaan kaum perempuan dalam lingkungan keluarga, memungkinkan berkembangnya sikap baru yang memungkinkan berkembangnya komitmen membuka kesempatan berpartisipasi dalam setiap kegiatan dalam lingkungan keluarga. Dalam lingkup yang lebih luas, yaitu dalam kehidupan bermasyarakat, kesempatan ini membuka wacana penerimaan yang lebih ikhlas, yang dengan sendirinya terjamin hak-hak azasi untuk bisa hidup dengan penuh prakarsa, produktif, bisa menikmati kehormatan pribadi serta diakui oleh masyarakatnya dalam kesejukan.
Dalam era otonomi daerah, dimana kepemimpinan dan perencanaan serta pengelolaan pembangunan menjadi sangat dekat dengan sasarannya, terbuka kesempatan mengembangkan kebijaksanaan pembangunan yang reformatif. Proses pembangunan desentralistik, yang menempatkan manusia dan keluarga sebagai titik sentral pembangunan, akan mempercepat peningkatan mutu manusia, khususnya kaum perempuan. Penempatan manusia, utamanya perempuan, anak-anak dan remaja, sebagai titik sentral pembangunan memungkinkan suatu proses untuk sekaligus menempatkan manusia dan keluarga sebagai obyek yang dikembangkan menjadi subyek pembangunan. Proses ini merupakan pendekatan manusiawi yang didasarkan atas pengertian dan paradigma pengembangan manusia dan hak-hak azasinya.
Dengan alasan-alasan di atas, untuk memicu peran keluarga yang luhur di masa depan, diperlukan komitmen pada visi, misi luhur dengan paradigma yang lebih jelas, dan segera diikuti dengan strategi mutakhir yang berorirentasi pada tingkah laku yang mudah diukur hasilnya dengan ukuran yang jelas. Strategi perubahan tingkah laku itu bisa dilaksanakan secara efektif dengan fokus pada sasaran tepat yang secara spontan mengembangkan dirinya sendiri. Proses itu sebaiknya diikuti dengan pengembangan lingkungan sosial politik, agama dan budaya yang kondusif, yang merangsang mekarnya komitmen mengalirnya dukungan sumber daya, dana dan kesempatan yang memadai.
Strategi baru itu harus menyatukan kekuatan kaum perempuan secara luas. Kekuatan yang ada dalam lingkungan legislatif harus dirangsang dengan dukungan politik dari massa perempuan yang berprestasi di lingkungan masyarakat luas. Masyarakat perempuan tidak saja diberi kesempatan untuk berprestasi, tetapi setiap perempuan yang mempunyai kesempatan berperan, segera mendapat dukungan dari rekan-rekan dan semua simpatisannya yang ada, di eksekutif, di legislatif, dan dimana saja, yaitu rekan perempuan maupun rekan lelaki lain yang menaruh simpati terhadap perjuangan kaum perempuan.
Oleh karena itu semua pejuang perempuan sebaiknya segera sepakat atas diperlukannya pemberdayaan perempuan sebagai suatu gerakan yang gegap gempita. Gerakan tersebut menempatkan sasaran utama dan pertama keluarga, dan kemudian remaja perempuan usia produktif, baik yang baru menikah maupun mereka yang siap akan menikah, dan berasal dari segala lapisan masyarakat yang sangat luas. Harapannya adalah bahwa keberhasilannya bisa menjadi model, sekaligus berkembang menjadi penggerak yang dinamis dan mandiri. Sasaran ini haruslah diperlakukan tidak saja sebagai obyek tetapi mendapatkan dukungan pemberdayaan sebagai calon aktor penggerak yang menjadikan dirinya sebagai teladan dari segala lapisan masyarakat yang melihatnya dalam kacamata homophilus yang mudah ditiru, mudah diikuti dan memberi rasa percaya diri pada pengikutnya.
* Penulis, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan tinggal di Jakarta

Tidak ada komentar: