Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Kemitraan bukan selingkuh

Spirit NTT, 14-20 April 2008

MELIHAT atmosfir sidang khusus DPRD TTU yang dilaksanakan selama 10 hari, 31 Maret-10 April 2008, tampak bahwa kita terus berusaha untuk membesarkan dan mendewasakan pengalaman berdemokrasi kita. Demikian Bupati TTU, Drs. Gabriel Manek, M. Si, dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Wakil Bupati, Raymundus Sau Fernandes, S.Pt pada Acara Penutupan Sidang Khusus DPRD TTU Tahun Sidang 2008, di Ruang Sidang DPRD TTU, Kamis (10/4/2008).


Di depan pimpinan DPRD dan segenap anggota DPRD TTU, Bupati Manek, mengatakan, bila dicermati dengan saksama, Sidang Khusus DPRD yang berlangsung dalam rentang waktu 10 hari kalender yang sudah kita pungkasi,
merupakan salah satu kegiatan yang ikut mewarnai dan melengkapi pengalaman kita dalam hidup berdemokrasi. Demokrasi, sebagaimana kita ketahui dan kita praktekkan, secara harafiah berarti pemerintahan berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Dewasa ini, keinginan untuk bergerak menuju kehidupan yang demokratis merupakan kecenderungan sejarah pada abad 21, sehingga the development countries, khususnya di Benua Afrika dan Asia, termasuk kita di Indonesia pun, mau tak mau harus bergegas menuju alam demokrasi tersebut, bila tidak mau dianggap sebagai "bangsa terkebelakang, bangsa primitif atau bahkan bangsa arkhais", dan akhirnya dipinggirkan dari pergaulan antar bangsa.
Bupati Manek mengatakan, mengenai tekad dan upaya membangun sebuah bangsa yang benar-benar demokratis, fakta menunjukkan bahwa membangun demokrasi bukanlah hal mudah, sebab demokrasi bukan sekadar forma suatu negara, tetapi lebih merupakan sikap hidup orang per orang dalam masyarakat.
Maka membangun demokrasi bukan pertama-tama berarti bagaimana membangun sistem demokrasi, melainkan bagaimana membentuk sikap hidup demokrasi. "Yang saya sebutkan terakhir ini ternyata sungguh memerlukan waktu yang lama dan kesabaran yang luar-luar biasa," ujarnya.
Lanjut Manek, bagi kita di Indonesia, sejak bergulirnya era reformasi, demokrasi justru datang bagaikan bintang kejora yang menyilaukan mata. Demokrasi bahkan oleh sebagian besar anak bangsa diartikan hanya sebagai kebebasan mengemukakan pendapat. Tentang hal ini, tentu masih segar dalam ingatan kita betapa masyarakat maupun pers, pada saat menjelang berhembusnya angin reformasi pada Mei 1998, menunjukkan perubahan yang sangat luar biasa --yang sampai sekarang masih kita rasakan pengaruhnya--yakni cenderung menyampaikan informasi yang "menyala-nyala", lugas dan sarat dengan analisa serta deskripsi yang seakan tidak saja "menelanjangi" tetapi lebih dari itu bahkan mampu "menguliti" obyek informasi. Kebebasan berpendapat seperti ini tak jarang menimbulkan tidak saja ketegangan dan kecemasan, tetapi juga konflik. Demokrasi lalu menjadi seakan-akan sebuah barang mewah, sehingga untuk memperolehnya perlu ditebus dengan harga yang mahal, dengan mengorbankan tidak saja materi tetapi juga hal-hal immaterial, seperti perasaan dan keharmonisan hubungan antar sesama anak bangsa, bahkan nyawa sebagai taruhannya.
Bercermin pada pengalaman tersebut, Bupati Manek lalu mengatakan tentu kita sependapat, bahwa demokrasi yang kita peroleh dengan "bayaran yang sangat mahal" itu, tidak boleh kita sia-siakan, apalagi kita gunakan bukan untuk membangun tatanan kehidupan yang lebih baik, tetapi untuk saling mencerca, saling mendiskreditkan, saling sikut, saling "mencari kaki" dan saling menyalahkan.
Melalui mekanisme sidang yang baru saja dilalui, kita telah berusaha untuk bermusyawarah dan akhirnya mencapai mufakat. Bahwa kita berhasil tiba pada suatu kesepahaman yang kita namakan mufakat, itu berarti kita setidak-tidaknya telah berusaha untuk mengakhiri dengan mulus dan sukses masa-masa silang pendapat selama hari-hari Sidang Khusus yang baru lalu, sembari mengusung tinggi-tinggi semangat kemitraan yang melandasi hubungan kedua lembaga ini. Hemat saya, dan tentu kita sependapat, bahwa kemitraan yang telah terwujud selama hari-hari Sidang Khusus ini benar-benar RIIL, bukan direkayasa, bukan karena "suka sama suka", bukan pula karena Legislatif dan Eksekutif seakan telah "main mata" atau melakukan "politik dagang sapi", atau bahkan "berbaring seranjang" alias "selingkuh".
Lebih lanjut Bupati Manek mengatakan, perjalanan daerah ini pasca Sidang Khusus ini tentu tidak selalu mulus dan mudah, namun kita semua harus yakin bahwa arah pembangunan yang kita tempuh sudahlah benar, karena kita bekerja di bawah payung hukum yang membingkainya. Dengan kekuatan dan sumber daya yang kita miliki, pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat akan terus kita laksanakan dan kita jaga dari berbagai gangguan, baik dari dalam maupun dari luar pemerintahan. Kita juga harus yakin bahwa keadaan daerah kita ini semakin hari akan semakin membaik, karena kita dan masyarakat kita adalah "orang baik-baik" yang senantiasa berusaha untuk melakukan yang terbaik bagi masyarakat di seluruh kawasan Kuluan-Maubes, Salu-Miomaof yang kita cintai ini. (jhon amsikan)

Tidak ada komentar: