Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sumba Timur, sabana sapi ongole

Spirit NTT, 24-30 Maret 2008

KALAU seekor sapi ongole betina rata-rata melahirkan setelah berumur empat tahun, maka sapi-sapi yang kini merumput di hamparan sabana daratan Pulau Sumba, terutama Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), adalah generasi sapi ongole yang ke-25.
Perbandingan ini, mungkin tidak sepenuhnya persis didasari catatan sejarah. Sapi- sapi ongole asal India dimasukkan kali pertama oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Pulau Sumba, pada awal abad ke-20, sekitar tahun 1906-1907. Dari empat jenis sapi, yang dimasukkan ke Sumba saat itu, yaitu sapi bali, sapi madura, sapi jawa, dan sapi ongole. Ternyata hanya sapi ongole yang mampu beradaptasi dengan baik dan berkembang dengan cepat, di pulau yang panjang musim kemaraunya ini.
Sekitar tujuh atau delapan tahun kemudian, pada tahun 1914, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Pulau Sumba sebagai pusat pembibitan sapi ongole murni. Upaya ini disertai dengan memasukkan 42 ekor sapi ongole pejantan, berikut 496 ekor sapi ongole betina serta 70 ekor anakan ongole.
Dalam laporan tahunan Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur (1989) tercatat, pada tahun 1915, Pulau Sumba sudah mengekspor enam ekor bibit sapi ongole pejantan. Empat tahun kemudian, pada 1919, ekspor sapi ongole dari Pulau Sumba tercatat sebanyak 254 ekor, dan pada tahun 1929, meningkat mencapai 828 ekor. Sapi-sapi asal Sumba ini pun memiliki merek dagang, sapi Sumba Ongole (SO).
Perkembangan selanjutnya, Sumba kembali ditetapkan sebagai pusat pembibitan sapi ongole murni di masa pemerintahan Presiden Soeharto, melalui Undang-Undang Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 6 Tahun 1967.
Sabana sapi ongole memang menjadi ciri khas Pulau Sumba, terutama Sumba Timur. Selain sapi, kekhasan lain Sumba Timur adalah padang rerumputan (sabana).
Di bagian timur Pulau Sumba ini, bentangan sabana kering terhampar bak lautan menguning. Kemarau panjang mencapai puncaknya di bulan Oktober. Kondisi alam nan menantang ini menjadi rutinitas bagi sebagian penduduk di Pulau Sumba, yang mengandalkan penghidupan mereka sebagai penggembala.
Memasuki wilayah kecamatan Pandawai, Sumba Timur, misalnya, terlihat kawanan sapi berkeliaran di hamparan rerumputan kering. Sumba Timur memang berpotensi mengembangkan peternakan secara ekstensif. Tidak hanya sapi, tetapi juga kuda dan kerbau, atau ternak-ternak kecil lainnya. Statistik Pertanian Sumba Timur (2003) menunjukkan, jumlah ternak sapi potong, kerbau, dan kuda di kabupaten ini mencapai 100.600 ekor. Jumlah ternak di satu kabupaten ini jauh lebih banyak dibanding jumlah ternak di Propinsi Kalimantan Timur (73.200 ekor) atau Papua (74.000 ekor).
Kabupaten seluas 7.000,50 kilometer persegi ini terbagi menjadi 15 kecamatan, dan rata-rata di setiap kecamatan terdapat lebih dari 2.000 ekor ternak besar, baik sapi, kerbau, ataupun kuda. Hingga tahun 2003, di Kecamatan Pandawai tercatat terdapat lebih dari 6.000 ekor sapi, sedangkan Kecamatan Panguda Lodu menjadi kecamatan yang memiliki ternak kuda dan kerbau terbanyak, masing-masing 6.095 ekor kuda dan 5.126 ekor kerbau.
Ternak kuda, misalnya, konon sudah setua kepercayaan asli Sumba, Marapu. Seperti halnya sapi ongole, kuda sandel di Sumba Timur ini diduga berasal dari India. Kuda sandel, yang juga menjadi ciri khas Sumba Timur, diyakini sebagai tunggangan para leluhur penduduk Sumba dan menjadi bagian dari ritual Marapu.
Tantangan ternak sapi dan ternak-ternak besar lainnya, menurut pejabat di Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur, tidak hanya menyangkut potensi ekonomi, tetapi juga berkaitan erat dengan kehidupan sosial dan budaya masyarakat Sumba.
Jumlah ternak yang dimiliki menjadi penentu strata sosial seseorang di lingkungannya. "Apabila digunakan untuk kepentingan adat, ternak bernilai ekonomi lebih tinggi dan harganya bisa lebih mahal satu setengah kali lipat, dibanding harga pasaran," kata pejabat itu.
Di pentas perdagangan ternak, Sumba Timur masih dikenal sebagai daerah pengekspor sapi terbesar di Nusantara dengan rata-rata pengiriman mencapai 1.000 ekor setiap bulannya. Andalannya, sapi potong dan sapi ongole.
Bupati Sumba Timur, Ir. Umbu Mehang Kunda mengatakan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumba Timur masih mengandalkan peternakan sebagai sektor unggulan kabupaten ini. Diakui pula, demi mempertahankan potensi itu, Pemkab Sumba Timur berupaya meningkatkan mutu dan kualitas ternak sapi mereka.
"Sapi ongole, yang sedemikian lama diternakkan, mengalami penurunan mutu dan degradasi kualitas, antara lain akibat terjadinya inbreeding. Karena itu, demi mempertahankan mutu sapi, sapi-sapi ongole di Sumba Timur perlu di crossbreeding (kawin silang) dengan jenis sapi lainnya. Untuk itu, kami memasukkan sapi Brahman, khususnya sapi betina," kata Umbu Mehang.
Selain faktor alam, yakni kekeringan nan panjang mengakibatkan peternak kesulitan mendapatkan sapi dengan berat yang layak jual, bahkan menyebabkan kematian ternak-ternak mereka, pencurian ternak secara besar-besaran pernah menjadi momok bagi para peternak di Sumba Timur.
Tantangan lainnya adalah masih berlangsungnya pengiriman sapi-sapi betina, produktif dalam jumlah besar ke luar Pulau Sumba. Menurut Umbu Mehang, pengiriman sapi betina produktif ke luar pulau merupakan keputusan Pemprop NTT. Jumlahnya pun, menurut Umbu Mehang, dibatasi agar tidak mengganggu pembibitan di Sumba Timur. "Kami awasi betul," kata Umbu Mehang.
Berkaca dari kondisi alam nan potensial dan tradisi menggembala bagi penduduknya, Sumba Timur memang tidak dapat dilepaskan dari peternakan, terutama sapi. Pengawasan secara serius terhadap niaga ternak dan kesungguhan tekad pemerintah setempat dalam mengolah potensi alamnya, sudah menjadi sebuah keharusan. Tanpa komitmen tersebut, bukan tidak mungkin, Sumba Timur akan kehilangan gelarnya sebagai 'gudang ternak' dan tidak mustahil, lenguhan sapi ongole atau ringkikan kuda sandel menjadi sebait irama kenangan masa silam di Sumba Timur. (cokorda yudistira)

Tidak ada komentar: