Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Rokok dan kemiskinan

Spirit NTT, 3-9 Maret 2008

"HAI-hai yang biasa musung bako, maju emai. Saya mau bagi-bagi rokok." Inilah pertanyaan yang cukup kerap dilontarkan Bupati Sikka, Drs. Alexander Longginus, kepada berbagai kelompok masyarakat di berbagai pelosok Kabupaten Sikka, dalam berbagai kesempatan kunjungan, bahkan nyaris sepanjang tahun-tahun pengabdiannya.
Pertanyaan dan undangan di atas terbukti efektif. Para bapak, para pemuda, dari berbagai profesi, serta-merta angkat tangan dan berebut maju. Mereka yang tadinya duduk jauh dan malu-malu, kini dengan penuh rasa percaya diri, lengkap dengan senyum terbaiknya, mendekat mengerubungi sang bupati, laksana semut mengincar gula-gula. Siapa tak mau dapat rokok gratis? Apalagi yang beri adalah seorang bupati!
"Sebelum bagi-bagi rokok, saya mau tanya: Siapakah di antara kamu yang merasa miskin?" tanya bupati kepada kelompok besar perokok itu. Dan semua mereka mengunjukkan jari.
"Apakah kamu juga mendapatkan uang Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan terdaftar sebagai penerima Bantuan Beras Miskin (Raskin)?" tanya bupati.
Jawabannya: "Ya, pak. Kami dapat."
Bupati bertanya lagi, "Rokok merek apa yang kamu suka? Berapa bungkus rokok yang dihabiskan dalam sehari?" Maka beraneka merek rokok disebutkan. Gudang Garam, Jarum, Sampoerna, Bentoel, Cakra, MR, Djitoe, dan Dollar atau bako sek. Ada yang sehari menghabiskan dua bungkus, ada yang satu bungkus, dan paling kurang sebungkus dalam dua hari.
"Berapa harga per bungkus rokok-rokok tersebut?" Tak ada lagi senyum di wajah bupati.
"Paling mahal dua belas ribu, yang termurah empat ribu lima ratus. "Senyum harapan masih saja ada di wajah para perokok itu.
"Dari biaya harian untuk rokok itu, saudara ini sebenarnya tidak miskin." Dengan kalimat ini, pemimpin kabupaten yang pernah jadi termiskin dari dua belas (dulu) kabupaten di NTT itu lantas mulai ber-agiornamento, menggedor kesadaran warganya.
Miskin tapi sejahtera
"Kita ini aneh. Mengaku-ngaku miskin, tetapi berperilaku sejahtera." Logika matematika sederhana pun dipaparkan. Jika dipukulrata belanja harian rokok para bapak lima ribu (Rp 5.000), maka dalam sebulan (30 hari), jumlah uang yang dibakar adalah Rp 150.000. Seharga dengan 30 kg beras, yang bisa menghidupkan sebuah keluarga kecil sederhana.
"Jika uang sejumlah itu dipakai untuk menghidupkan satu keluarga, dan bukan demi melayani kenikmatan para bapak, maka kita tidak perlu mendaftarkan diri sebagai KK penerima Raskin," tegas Bupati Alex menyimpulkan.
Tapi, apa lacur. Fakta menunjukkan, tidak satu pun dari 161 desa dan 13 kelurahan dalam wilayah Kabupaten Sikka yang tidak menerima raskin dan BLT. Bahkan, setiap 'musim' bagi-bagi raskin atau BLT tiba, setiap itu pula para aparat desa/kelurahan dibikin pusing, karena daftar penerima jadi memanjang. Karena kaget-kaget terdapat banyak sekali OMB, Orang Miskin Baru.
Di Kecamatan Magepanda, Bupati Alex pernah mengatakan, "Magepanda ini populer sebagai gudang berasnya Kabupaten Sikka. Jadi semua raskin akan saya hentikan." Lucunya, para perokok yang berdiri berkumpul di hadapan bupati yang protes duluan. "Kami tuka lowa. Kami pu beras kami jual untuk belanja lain-lain. Kami makan raskin."
Tumbuhnya OMB membuat validitas data base Kabupaten Sikka dipertanyakan. Kepala Desa Paubekor Kecamatan Koting, misalnya mengritik keabsahan data itu, sembari menolak program nasional PKH (Program Keluarga Sejahtera). Program yang dikelola Dinas Sosial Kabupaten Sikka ini dikhususkan bagi para keluarga sangat miskin dan para penerimanya ditentukan berdasarkan data base Kabupaten. Tapi itulah soalnya. "Yang miskin di sini banyak. Yang diberi sedikit. Timbul kecemburuan sosial. Maka, kami tolak PKH masuk di Desa Paubekor," kata Kades Paubekor Y. Levidon Lelang, S.Fil. Selain Paubekor, Desa Koting D pun menolak PKH.
Kenikmatan bapak, penderitaan keluarga
"Moret Epan yang kita cita-citakan akan sulit digapai, dan keluarga miskin baru akan terus bertambah, sekiranya kita tetap saja tidak bijaksana mengelola uang kita. Dan salah satu sumber ketidakbijakan itu adalah keserakahan para bapak," tandas bupati. "Bapak yang egois, yang mau menang sendiri, yang mau enak sendiri, yang tak rela jika tak isap rokok biarpun keluarga hanya makan ubi." Kenikmatan merokok bapak mendatangkan penderitaan bagi seluruh keluarga.
Jika anak melaporkan sepatu sekolahnya robek, atau minta dibelikan buku pelajaran, tidak dilayani karena bapak tidak punya uang. Tapi, jika bapak mau merokok, entah dari mana sumbernya, pasti ada uang. Tidak jarang terjadi, kalau Anak minta bolpoin baru, bapak bilang: "Saya roko saja setengah mati, mana beli kasi kau bolpoin."
"Tidaklah mengherankan, bahwa hingga di tahun 2008 ini, dari 266.000 lebih penduduk Kabupaten Sikka, 80 persen adalah drop out sekolah," papar Bupati di hadapan para mama dalam perayaan HUT ke-35 PKK di Maumere (Sabtu 9/2).
Jika keperluan sekolah sang anak 'yang demikian penting' itu pun dikalahkan oleh perlunya bapak merokok, maka kita sebaiknya jangan dulu omong tentang moret epang, melainkan tentang megu-moong atau cinta-kasih. Sejauh mana bapak menaruh cinta terhadap anak-anaknya, sehingga merelakan tidak merokok demi kesinambungan pendidikan sang anak?
"Dan bila pendidikan anak saja dikalahkan, apalagi keperluan para mama untuk beli bedak atau lipstik?" Pertanyaan bupati ini biasanya disahuti seru oleh para mama: Betuuuuul!
"Tentang bahaya rokok bagi kesehatan, dokter atau perawat akan menjelaskan dengan lebih meyakinkan. Saya hanya mengimbau kepada para bapak, berpikirlah lebih dahulu sebelum membeli rokok. Berpikirlah bahwa adakah kebutuhan keluarga yang lebih penting dan belum terpenuhi? Karena itulah tugas seorang bapak. Ia tidak saja wajib menghidupkan semua anggota keluarga hari ini, tetapi juga besok dan seterusnya. Tak terkecuali kehidupan anak-anak di kemudian hari. Mau moret epan atau moret susar? Tidak akan ada yang bisa membantu Anda, jika Anda tidak membantu diri Anda sendiri!"
Kini, empat tahun lebih masa abdi Bupati Drs. Alexander Longginus dan Wakil Bupati Drs. Yoseph Ansar Rera berlalu, sebelum berakhir pada 31 Mei 2008 kelak. Namun upaya membangun mental masyarakat untuk hidup lebih arif secara ekonomis tetap dijalankan. "Moret epan itu cita-cita kita. Jika kini belum kita raih, itu tidak berarti kita tak akan bisa moret epan. Susunlah prioritas kebutuhan keluarga Anda. Dan belanjalah uang Anda dengan bijak."* (even edomeko/humas Sikka)

Tidak ada komentar: