Laporan Adiana Ahmad, Spirit NTT, 10-16 Maret 2008
WAINGAPU, SPIRIT--Para petani di Sumba Timur mulai jenuh mengembangkan jarak pagar sejak setahun belakangan ini karena ketidakjelasan pasar dan tidak adanya teknologi pengolahan biji jarak yang diproduksi petani. Akibatnya, banyak petani yang mulai meninggalkan usaha budi daya jarak pagar.
Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Sumba Timur, Johanes Hiwa Wunu, ketika ditemui SPIRIT NTT di ruang kerjanya, Jumat (29/2/2008), mengatakan, sejak tahun 2006 petani di Sumba Timur sudah mulai panen jarak pagar. Pada saat itu, katanya, 79,6 ha dari 616,3 ha jarak pagar yang dikembangkan mulai produksi. Jumlah produksi sebanyak 98,65 ton.
Tahun pertama produksi, masyarakat masih antusias karena Dinas Perkebunan Kabupaten Sumba Timur yang membeli hasil produksi masyarakat untuk kepentingan benih.
Dikatakan John, karena untuk kepentingan benih, maka harga yang diberikan ke petani Rp 5.000,00/kg. Tahun 2007, lanjut John, produksi masih bagus yakni melebihi tahun 2006. Produksi tahun kedua ini yang mulai tidak tertampung. Bahkan masyarakat sampai datang ke Kantor Dinas Perkebunan Sumba Timur untuk menanyakan ke mana hasil produksi dijual dan siapa yang membeli.
Harga biji jarak komersil yang hanya Rp 500,00/kg juga menjadi salah satu faktor menurunnya minat masyarakat untuk mengembangkan jarak pagar di Sumba Timur. "Ketidakjelasan pasar ini membuat masyarakat jenuh. Mereka akhirnya berpaling ke tanaman lain," kata John.
Memang, kata John, sudah ada pengusaha lokal yang mulai mengolah jarak produksi masyarakat yakni Yayasan Alam Lestari di Kakaha, Kecamatan Karera. Namun daya serapnya rendah karena kemampuan produksi mesinnya sedikit. Dinas Perkebunan, katanya, memiliki mesin pengelola biji jarak pagar dengan kemampuan produksi 5.000 kg/hari. Namun tidak dapat dioperasikan karena daya listrik tidak mampu.
Yayasan Alam Lestari, katanya, pernah mengajukan permohonan kerja sama mengoperasikan mesin tersebut dengan memodifikasi lagi mesin yang ada sehingga tidak menggunakan bahan bakar solar atau bensin tetapi minyak jarak. Namun pemerintah daerah belum memenuhi permintaan itu, karena tim asistensi belum membahasnya. Menurut rencana program kerja sama ini baru akan dimasukan dalam perubahan anggaran 2008 nanti.
John mengatakan, produksi biji jatropha di Kabupaten Sumba Timur terutama di wilayah selatan masih terus meningkat mengingat masih banyak lahan pengembangan yang sedang dalam pertumbuhan. "Saat ini jumlah produksi mungkin sudah lebih banyak dari data yang ada pada kita, karena saat itu data lahan yang menghasilkan baru sebagian dari keseluruhan luas lahan tanaman jatropha yang kita kembangkan," kata John.
Pasar semakin tidak jelas, katanya, setelah PT RNI yang selama ini diharapkan bisa menampung produksi masyarakat sudah mengundurkan diri dan tidak lagi melanjutkan program investasi jatropha di Sumba Timur. "Sekarang ada satu
perusahaan lagi yang diminta Dirjen Perkebunan untuk melanjutkan program jatropa di Sumba Timur. Namanya PT Invision Indonesia. Perusahaan ini sudah bergerak di bidang jatropa di Yogyakarta dua tahun yang lalu. Harapan kita, kehadiran perusahaan ini bisa membawa angin, segar bagi petani di Sumba Timur, " kata John. *
Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Sumba Timur, Johanes Hiwa Wunu, ketika ditemui SPIRIT NTT di ruang kerjanya, Jumat (29/2/2008), mengatakan, sejak tahun 2006 petani di Sumba Timur sudah mulai panen jarak pagar. Pada saat itu, katanya, 79,6 ha dari 616,3 ha jarak pagar yang dikembangkan mulai produksi. Jumlah produksi sebanyak 98,65 ton.
Tahun pertama produksi, masyarakat masih antusias karena Dinas Perkebunan Kabupaten Sumba Timur yang membeli hasil produksi masyarakat untuk kepentingan benih.
Dikatakan John, karena untuk kepentingan benih, maka harga yang diberikan ke petani Rp 5.000,00/kg. Tahun 2007, lanjut John, produksi masih bagus yakni melebihi tahun 2006. Produksi tahun kedua ini yang mulai tidak tertampung. Bahkan masyarakat sampai datang ke Kantor Dinas Perkebunan Sumba Timur untuk menanyakan ke mana hasil produksi dijual dan siapa yang membeli.
Harga biji jarak komersil yang hanya Rp 500,00/kg juga menjadi salah satu faktor menurunnya minat masyarakat untuk mengembangkan jarak pagar di Sumba Timur. "Ketidakjelasan pasar ini membuat masyarakat jenuh. Mereka akhirnya berpaling ke tanaman lain," kata John.
Memang, kata John, sudah ada pengusaha lokal yang mulai mengolah jarak produksi masyarakat yakni Yayasan Alam Lestari di Kakaha, Kecamatan Karera. Namun daya serapnya rendah karena kemampuan produksi mesinnya sedikit. Dinas Perkebunan, katanya, memiliki mesin pengelola biji jarak pagar dengan kemampuan produksi 5.000 kg/hari. Namun tidak dapat dioperasikan karena daya listrik tidak mampu.
Yayasan Alam Lestari, katanya, pernah mengajukan permohonan kerja sama mengoperasikan mesin tersebut dengan memodifikasi lagi mesin yang ada sehingga tidak menggunakan bahan bakar solar atau bensin tetapi minyak jarak. Namun pemerintah daerah belum memenuhi permintaan itu, karena tim asistensi belum membahasnya. Menurut rencana program kerja sama ini baru akan dimasukan dalam perubahan anggaran 2008 nanti.
John mengatakan, produksi biji jatropha di Kabupaten Sumba Timur terutama di wilayah selatan masih terus meningkat mengingat masih banyak lahan pengembangan yang sedang dalam pertumbuhan. "Saat ini jumlah produksi mungkin sudah lebih banyak dari data yang ada pada kita, karena saat itu data lahan yang menghasilkan baru sebagian dari keseluruhan luas lahan tanaman jatropha yang kita kembangkan," kata John.
Pasar semakin tidak jelas, katanya, setelah PT RNI yang selama ini diharapkan bisa menampung produksi masyarakat sudah mengundurkan diri dan tidak lagi melanjutkan program investasi jatropha di Sumba Timur. "Sekarang ada satu
perusahaan lagi yang diminta Dirjen Perkebunan untuk melanjutkan program jatropa di Sumba Timur. Namanya PT Invision Indonesia. Perusahaan ini sudah bergerak di bidang jatropa di Yogyakarta dua tahun yang lalu. Harapan kita, kehadiran perusahaan ini bisa membawa angin, segar bagi petani di Sumba Timur, " kata John. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar