Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Perbatasan dan nasionalisme

Oleh HM Lukman Edy *
Spirit NTT, 25 Februari - 2 Maret 2008

KOMITMEN pembangunan nasional menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Sejarah masa lalu tentang sentralisasi pembangunan, harus kita jadikan sebagai motivasi dan acuan untuk melakukan pembangunan di daerah-daerah yang selama ini belum maksimal. Hal ini tentu sejalan dengan semangat desentralisasi pembangunan.
Salah satu wilayah yang selama ini dibangun kurang optimal adalah wilayah-wilayah perbatasan. Padahal, wilayah perbatasan antar negara adalah beranda depan bangsa, serta daerah terjauh dari pusat yang dianggap banyak kalangan sebagai beranda belakang bangsa.
Untuk itu, perlu komitmen untuk membangun wilayah perbatasan negara dengan baik. Sesuai dengan strategis nasional Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal yang mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, ada 26 kabupaten di wilayah perbatasan yang mencakup 12 propinsi, baik itu perbatasan darat maupun perbatasan laut, yang kesemuanya masuk dalam kategori daerah tertinggal.
Pembangunan di perbatasan menjadi amat penting karena perbatasan memiliki beberapa nilai-nilai strategis.
Pertama, mempunyai potensi sumber daya yang besar pengaruhnya terhadap aspek ekonomi, demografi, politis, dan pertahanan dan keamanan, serta pengembangan ruang wilayah di sekitarnya.
Kedua, mempunyai dampak penting terhadap kegiatan yang sejenis maupun kegiatan lain.
Ketiga, pembangunan daerah perbatasan merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di wilayah yang bersangkutan maupun di wilayah sekitarnya.
Keempat, mempunyai keterkaitan yang saling memengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lain yang berbatasan dalam lingkup nasional maupun regional.
Kelima, mempunyai dampak terhadap kondisi politis dan pertahanan keamanan nasional dan regional. Tantangan percepatan ditujukan untuk melindungi segenap penduduk dan kedaulatan seluruh wilayah negara, mengamankan pembangunan wilayah, dan memelihara kerja sama dengan negara tetangga guna mewujudkan prinsip hidup berdampingan secara damai, aman, dan sejahtera.
Berdasarkan data yang dimiliki KPDT, per akhir 2006 silam total jumlah penduduk yang ada di kabupaten-kabupaten di daerah perbatasan adalah 4,4 juta jiwa atau rata-rata per kabupaten perbatasan sekitar 174.018 jiwa. Persebaran penduduk rata-rata adalah 51 jiwa per 1 kilometer persegi.
Hal ini menunjukkan jumlah penduduk di daerah perbatasan relatif kecil atau kurang sebanding dengan luas wilayahnya.
Kondisi masyarakat di sana juga miskin.
Aspek sosial ekonomi daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik daerah yang kurang berkembang (terbelakang) yang disebabkan antara lain karena lokasinya yang relatif terisolasi/terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang rendah, rendahnya tingkat pendidikan, dan kesehatan masyarakat, rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal), langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan yang diterima oleh masyarakat di daerah perbatasan (blank spots).
Aspek pertahanan dan keamanan daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik luasnya wilayah pembinaan dan pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan rentang kendali pemerintahan sulit dilaksanakan, serta pengawasan dan pembinaan teritorial sulit dilaksanakan dengan mantap dan efisien.
Aspek politis daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik kehidupan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan yang relatif lebih berorientasi pada kegiatan sosial ekonomi di negara tetangga. Kondisi inilah yang semestinya mendorong bergulirnya berbagai program pengentasan kemiskinan bagi daerah perbatasan. Ini dilakukan mengingat masyarakat perbatasan amat rentan terancam disintegrasi.
Kecemburuan masyarakat melihat kondisi negara lain yang persisi berdiri di depan mata berpotensi mendorong isu-isu disintegrasi di kalangan masyarakat sendiri.
Untuk itu, pemerintah berkomitmen tegas mengurangi angka kemiskinan di perbatasan, sebagai bagian integral dari upaya untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI, serta menjaga semangat dan roh nasionalisme di masyarakat itu sendiri.
Beberapa hal penting perlu lebih ditekankan dalam r a n g k a melakukan percepatan pembangunan daerah.
Pertama, membangun sebuah kawasan dalam kerangka pertumbuhan kerja sama regional, kawasan perbatasan yang berdimensi pertahanan dan keamanan, dan kawasan andalan regional, yang dikembangkan sesuai rencana tata ruang dan diserasikan dengan kondisi, potensi dan aspirasi daerah sekitarnya.
Ini penting mengingat daerah perbatasan sebenarnya memiliki ciri-ciri dan karakteristik yang hampir sama, baik dari topografi politik maupun topografi ekonominya. Pengembangan kawasan pertumbuhan regional diharapkan mampu mengurai serpihan-serpihan sejarah masa lalu dari masyarakat perbatasan itu sendiri.
Kedua, perlunya dibangun berbagai kesepakatan kerja sama antar-negara yang secara geografis berbatasan, baik dalam bidang pertahanan dan keamanan, ekonomi, serta pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan daerah perbatasan.
Berbagai kerja sama semacam ini sebenarnya pernah dilakukan pemerintah seperti kerja sama segitiga pertumbuhan IMSGT (Indonesia, Malaysia, Singapura Growth Triangle) atau yang juga dikenal dengan kerja sama segitiga pertumbuhan Sijori (Singapore-Johor-Riau), kerja sama segitiga pertumbuhan utara IMT-GT (Indonesia, Malaysia, Thailand Growth Triangle), kerja sama sosial ekonomi yang dijalin antara delapan propinsi di kawasan timur Indonesia dengan Propinsi Northern Territory di Australia yang selanjutnya telah disepakati untuk dikembangkan menjadi Australia-Indonesia Development Area (AIDA), serta berbagai bentuk kerja sama lain yang melibatkan negara-negara yang berbatasan.
Sayangnya, berbagai bentuk kerja sama tersebut belum mampu berjalan secara optimal, karena aspek politik dan batas negara yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan antar negara. Simak saja kasus Pulau Sipadan dan Ligitan serta kasus Pulau Ambalat.
Untuk menjembatani hal tersebut, dibutuhkan sebuah kebijakan kerja sama yang secara prinsip mendorong peningkatan keserasian pertumbuhan antardaerah dan keserasian antar masyarakatnya.
Hal ini penting untuk meminimalisasi kesenjangan ekonomi antardaerah perbatasan dan tentunya pengembangan ekonominya disesuaikan dengan kondisi daerah perbatasan masing-masing. Selain itu, penekanan keserasian juga perlu mempertimbangkan aspek keserasian antarkawasan, yaitu kawasan timur dan kawasan barat. Hal ini didasari karena fakta daerah perbatasan yang tertinggal dan terisolasi.
Percepatan pembangunan daerah perbatasan dengan pembangunan pusat pertumbuhan tentu dalam upaya menjadikan daerah perbatasan sebagai kawasan pertumbuhan lintas batas internasional, kawasan perbatasan antarnegara, kawasan yang mendukung kepentingan pertahanan keamanan nasional, kawasan yang cepat berkembang, kawasan yang dapat memacu perekonomian daerah, kawasan yang mempunyai masalah khusus, dan kawasan lainnya yang memiliki pendekatan pembangunan wilayah yang terpadu. *
* Penulis, Menteri Negara Pembangunan Daerah tertinggal RI.

Tidak ada komentar: