Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Mengenal tradisi kontas gabungan di Flores Timur

Spirit NTT, 3-9 Maret 2008

SEBAGAI daerah Katolik, dengan devosi Katolik sangat kuat, orang Flores mengisi bulan Oktober ini dengan KONTAS GABUNGAN keliling. KONTAS itu sebutan khas Flores untuk ROSARIO, butir-butir tasbih yang dipakai untuk menghitung doa Bapa Kami dan Salam Maria, dalam doa rosario.
Bagi orang Flores Timur, Oktober dan Mei adalah BULAN MARIA yang tidak boleh dibiarkan lewat begitu saja. Kontas alias rosario ini bahkan sering dijadikan kalung di leher. Padahal, belum tentu pemakai kalung rosario itu berdoa rosario tiap hari.
Selain berkunjung dan berdoa di tempat-tempat ziarah, doa rosario berkeliling dari rumah ke rumah tak boleh tak ada. Tradisi ini sudah berjalan puluhan, bahkan ratusan tahun, sehingga orang Flores umumnya merasa 'kering' jika tiap bulan Mei dan Oktober tidak ada acara KONTAS GABUNGAN atau doa rosario keliling.
Di Jawa, sembahyangan rosario juga digelar di lingkungan-lingkungan, tapi tidak seintensif di Flores. Karena umat Katolik di Jawa sangat sedikit, tinggal di antara umat Islam, sibuk kerja siang malam, doa rosario tiap hari selama Oktober dan Mei sulit ditradisikan. Tapi pastor selalu mengimbau agar umat setidaknya berdoa rosario sendiri-sendiri di rumahnya.
Saat menjadi pengurus lingkungan di Paroki Santo Paulus Jember, saya mencoba mentradisikan doa rosario tiap hari selama Mei/Oktober. Bisa jalan, tapi yang datang tidak sampai 10 persen. Hanya pasangan suami/istri saja yang nongol. Anak-anak, remaja, pemuda, orang tua, tidak kelihatan. Saya akhirnya sadar bahwa tradisi devosi di Flores sangat sulit diterapkan di Jawa atau tempat lain di Indonesia di mana Katolik sangat minoritas.
Doa rosario bersama atau kontas gabungan di kampung saya, pelosok Flores Timur, menjadi momentum yang tak dilalui begitu saja. Tiap GABUNGAN (umat Katolik di Jawa Timur menyebutnya 'lingkungan' atau 'kring') berlomba-lomba mengemas sembahyangan rosario sebagus mungkin. Tiap GABUNGAN punya PANJI dengan slogan yang khas.
PANJI itu lukisan Bunda Maria di kayu yang diusung dari rumah ke rumah. Kalau doa rosario digelar di rumah A, maka PANJI diantar ramai-ramai ke rumah A malam sebelumnya. Keluarga A berkewajiban menyiapkan bunga, salib, lilin, serta peralatan liturgi. Setelah KONTAS GABUNGAN di rumah A, umat ramai-ramai membawa PANJI Bunda Maria ke rumah B yang akan ketempatan besok malam. Dan seterusnya... sampai 30 hari.
Rumah orang kampung yang sederhana, kecil, atapnya alang-alang, bukan masalah untuk KONTAS GABUNGAN. Toh, umat bisa duduk lesehan di tikar, bahkan di atas batu, di halaman. Suasana remang-remang karena listrik tidak ada. Penerangan pakai lampu minyak tanah (oncor) atau lilin yang dibawa masing-masing. Pada 1980-an hingga 1990-an, ketika masyarakat masih sangat tradisional, tiap malam hampir semua umat ikut KONTAS GABUNGAN. Cuek bebek atau acuh tak acuh di rumah bisa jadi gunjingan warga lain.
Doa rosario sendiri sama saja dengan di Jawa dan tempat-tempat lain di Indonesia. Diawali Credo (Aku Percaya), tiga kali Salam Maria, kemudian merenungkan peristiwa-peristiwa yang dialami Yesus Kristus: peristiwa gembira, sedih, mulia. Mendiang Paus Yohanes Paulus II menambahkan satu peristiwa lagi: peristiwa cahaya.
Kemudian, mendaraskan 50 kali doa Salam Maria sesuai dengan jumlah KONTAS alias tasbih katolik. Doa Salam Maria diucapkan secara bergantian. Bagian awal diucapkan satu orang (Salam Maria penuh rahmat, Tuhan sertamu, terpujilah engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus). Lalu, semua umat menjawab: "Santa Maria Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati. Amin."
Salam Maria atau bahasa Latinnya AVE MARIA merupakan doa yang sangat sederhana, diulang-ulang, bisa dibawakan kapan saja sesuai kebutuhan. Tak harus bulan Mei/Oktober, umat Katolik di kampung saya sejatinya tiap hari mendaraskannya. Doa ini bahkan sering dipakai untuk mengusir setan atau hantu di kampung. Hehehe....
Jika orang kampung saya melintas di tempat-tempat angker, pohon besar, dia akan bikin tanda salib, kemudian berdoa rosario sambil jalan. Orang pun beroleh keberanian karena merasa sedang dilindungi oleh Tuhan. "Tuhan terang dan selamatku, aku tak gentar...," begitu lagu rohani yang sangat populer di kampung.
Apa yang menonjol dari KONTAS GABUNGAN di Flores Timur. Pertama, doa didaraskan secara melodius. Doa-doa hafalan utama (Bapa Kami, Salam Maria, Aku Percaya, Kemuliaan, Yesus yang Baik, Doa Malam, dan sebagainya) diucapkan dengan nada yang khas. Ada semacam 'kesepakatan' harus memenggal di bagian mana, tidak cepat-cepat, kompak, serempak. Suara tidak terlalu keras, tidak terlalu lemah. Jangan berbisik atau doa dalam hati karena ini KONTAS GABUNGAN.
Di Jawa, saya lihat banyak yang hanya komat-kamit alias doa dalam hati. Juga belum ada pakem macam di Flores sehingga ada umat yang doanya cepat sekali, ada yang lambat sekali. Maklumlah, umat Katolik di Jawa yang minoritas belum bisa menciptakan tradisi katolik.
Kedua, diselingi banyak lagu. Umat Katolik di kampung senang menyanyi dan menciptakan harmoni sendiri. Secara spontan umat bikin suara satu, dua, tiga, sehingga tercipta paduan suara alamiah. Padahal, tidak ada dirigen, tidak ada latihan.
Biasanya, lagu-lagu devosi Maria diambil dari buku JUBILATE, SYUKUR KEPADA BAPA, EXULTATE, atau lagu-lagu rohani populer yang jumlahnya banyak sekali. Umat paling senang menyanyikan lagu-lagu berbahasa daerah Lamaholot, misalnya INA MARIA (Bunda Maria).
Ketiga, langsung ditutup dengan SEMBAHYANG MALAM atau completorium.
Tradisi Katolik ini jarang saya temui di Pulau Jawa. Umat di kampung hafal sembahyang malam di luar kepala, periksa batin, refleksi, kemudian menyanyikan Salve Regina atau Alma Redemptoris Mater sebelum tidur. Nah, doa-doa pribadi ini disatukan di KONTAS GABUNGAN.
Keempat, tidak pakai konsumsi. Di Jawa Timur, umat yang ketempatan doa diam-diam keberatan karena harus menyediakan konsumsi (makan, minum) untuk peserta doa. Ini juga yang saya kira membuat tradisi doa bersama kurang berkembang di Jawa. Umat yang kaya menyediakan makanan enak, lezat, mahal, umat miskin hanya bisa kacang goreng atau air putih. Perbedaan kelas sosial ini menimbulkan rasa rendah diri di kalangan si miskin.
Di Flores mustahil menyediakan konsumsi. Kenapa? Selain umatnya miskin, peserta KONTAS GABUNGAN itu separo rukun tetangga (RT), bahkan penduduk seluruh RT. Bagaimana kita menyediakan makanan dan minuman sebanyak itu. Biasanya, anak-anak membawa bekal sendiri.
Kelima, perarakan PANJI gabungan. PANJI atau simbol GABUNGAN (lingkungan/kring) bergambar Bunda Maria dengan tulisan salah satu gelar Maria, misalnya Ratu Para Rasul, Bunda Penolong, Pelindung Orang Miskin... diarak setelah doa rosario dan doa malam (completorium) kelar.
Umat ramai-ramai mengantar PANJI itu sambil menyanyikan 'Ave, Ave, Ave Maria...'. Lalu, tuan rumah menerima PANJI itu sebagai tanda bahwa besok malam KONTAS GABUNGAN diadakan di rumahnya. Lalu, umat kembali ke rumahnya masing-masing.
Karena KONTAS GABUNGAN hanya diadakan 30 hari, sementara jumlah keluarga di satu GABUNGAN lebih dari itu, ketua gabungan/stasi sudah mengatur sedemikian rupa agar semuanya kebagian. Mereka yang belum ketempatan akan dapar giliran bulan Mei atau Oktober mendatang. Jangan khawatir, semua keluarga akan didatangi PANJI Bunda Maria.
Umat akan sangat sedih jika rumahnya tidak dijadikan tempat KONTAS GABUNGAN atau doa bersama bulan Mei/Oktober. Karena itu, pengurus gabungan harus benar-benar teliti agar tidak ada yang kelewatan.
Keenam, penutupan Bulan Maria bersama-sama.
Tanggal 31 Oktober (atau 31 Mei) adalah penutupan Bulan Maria. KONTAS GABUNGAN ditiadakan. Sebagai gantinya, digelar kebaktian bersama di gereja. Semua GABUNGAN bersekutu di gereja untuk melepaskan bulan rosario bersama-sama. Karena pastor sangat sedikit, sementara umat sangat banyak (rasio pastor sangat rendah), penutupan bulan rosario dilakukan dengan ibadat sabda tanpa imam. Meriah sekali! Apalagi, stasi yang kebetulan saat itu ada pastornya.
Devosi Katolik yang sangat kental di Flores Timur terus membekas dalam diri kami, orang-orang kampung. Ketika tiba di Jawa, di lingkungan baru yang orang Katoliknya nyaris tidak ada, kami sering kehilangan orientasi. Ada teman yang mengalami gegar budaya, cultural shock, karena tidak cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. Ada yang ikut arus, dan sebagainya.
Para perantau Flores di Pulau Jawa, yang kebetulan banyak menjadi pengurus paroki atau lingkungan, membawa tradisi KONTAS GABUNGAN di gerejanya. Contohnya di Surabaya bagian Selatan. Kebetulan paroki-parokinya dipimpin pastor-pastor SVD (Societas Verbi Divini) yang sebagian besar orang Flores dengan tradisi devosi sangat kuat. (lambert hurek)

Tidak ada komentar: