Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Cungkil matahari

Spirit NTT, 24-30 Maret 2008

"Mari kawan kita menari
menari sampai pagi
sampai cungkil matahari"


DEMIKIAN sekeping syair lagu JE Papache, musisi lokal Nian Tana Sikka, yang kadung kondang di kajang-kajang pesta. Meski berbentuk ajakan, syair di atas lebih merupakan potret atas realitas budaya manusia Kabupaten Sikka yang gemar benar berpesta. Tua-muda, pria-wanita, kaya-miskin, sama gemarnya. Masyarakat akrab akan istilah mupet/muka pesta (hadir tanpa diundang), soka dalang (ikut menari tanpa diundang), dan rompes / rombongan pesta (kelompok pelacak info pesta).
Acara yang dipestakan pun beraneka. Dalam tradisi setempat, jika seorang bayi dilahirkan ada syukuran lodong me; ketika ia remaja, pesta legen ala untuk remaja putri atau pesta gareng lamen bagi remaja pria; tatkala ia menikah pestanya bahkan menjadi serial (poto wua ta'a, tung benu, lantas kawin adat); dan bila meninggal diacarakan dalam pesta kematian, gewong ata maten.
Dalam tradisi agrarisnya, dikenal pula pesta syukur panen atau pesta inaugurasi suku (misalnya granmahe, patikarapau, ga'i, dan togo). Ketika Agama Katolik masuk, terkenallah pesta permandian, pesta sambut baru, pesta nikah, dan (jangan lupa) pesta pentahbisan. Ketika budaya popular merangsek masuk ke sukma manusia Sikka, makin aneh jenis pestanya: pesta ulang tahun, pesta wisuda sarjana, pesta penerimaan seseorang, pesta perpisahan, valentine day, dan bahkan pesta piala (untung bae selama ini Persami keok terus-terus).
Dan, namanya pesta, selain perlu beras dan sayur-mayur serta aneka bumbu, harus bunuh babi, atau sapi bila mungkin, sekurang-kurangnya ayam lima ekor; kurang dari itu bukan pesta. Tidak boleh tanpa moke (arak), minimal untuk piong-tewok, beri makan leluhur. Lalu undang opreter yang koleksi lagu dangdutnya komplet, dan dirikan tenda besar (bila perlu tutup jalan raya publik). Dan, sewalah para fotografer atau tukang shooting untuk mengabadikan momentum historicum itu.
Tapi mengapa harus pesta? Bagi sementara orang, pesta diyakini sebagai semacam forum solidaritas, arena silaturahmi, kesempatan bertemu dan berkumpul bersama kerabat dan sahabat. Atas argumen inilah pesta tidak saja diselenggarakan oleh ata manum-balik, kaum berduit, the have; tetapi diikuti secara latah oleh mereka yang tak punya cukup uang. Alasannya, 'Biar hutang, asal panggil keluarga ikut mengayubagiakan anak saya di hari istimewahnya.' Akibatnya segera tampak.
Nafsu berpesta masyarakat adalah tambang uang pedagang. Pedagang kaset bertambah aset, penjual baju makin maju, penyewa property pesta tambah makmur, salon kecantikan kian berbinar, fotografer kelimpahan order, pedagang sembako untung besar.
Di sisi lain, usai pesta, setelah semua kerabat dan sahabat pergi, tinggallah sampah beronggok-onggok dan beronggok-onggok utang.
Rekreasi yang tidak rekreatif
"Itulah salah satu sebab mengapa kita terus-menerus miskin dan miskin turun-menurun..." Begitulah kerap dan lazim dijelaskan Bupati Sikka, Drs. Alexander Longginus, dan Wabup Drs. Yoseph Ansar Rera di depan rakyatnya, dalam upaya membentuk mental masyarakat menuju kondisi moret epan. Selama hampir lima tahun usia jabatannya, dari desa ke desa, keduanya bagai tak bosan mendengungkan ihwal yang satu dan sama ini, dengan aneka ilustrasi.
"Moret susar atau moret epan, hidup miskin atau hidup sejahtera, keduanya berbuah dari mentalitas dan praktek hidup kita," demikian paparan Wabup Yos Ansar di hadapan warga Desa Maluriwu dan tujuh desa lain dalam kunjungan ke Kecamatan PaluE. "Jika kita berpikir moret epan, seyogyanya kita bertindak bijak untuk mencapainya. Dan, tindakan bijak itu antara lain adalah mengurangi atau menghentikan sama sekali kesukaan kita menyelenggarakan pesta."
"Dan pesta, sama seperti judi dan merokok, lebih banyak membawa dampak buruk daripada rasa senang," demikian penjelasan Bupati Alex di depan ratusan peserta RAT Kopdit Mitan Gita, Senin (12/3/2008). "Makanan kita habis, hewan kita habis, dan habis juga uang yang kita kumpulkan selama setahun.... Lalu untuk apa? Untuk kesenangan satu malam? Atau agar orang puji kita hebat?" tanya Pak Alex retoris.
Lebih jauh, sang bupati yang sarjana manajemen pemasaran itu menguraikan hakekat pesta. Pesta itu kegiatan rekreatif. Rekreasi artinya bersenang-senang untuk kembali segar sehingga dapat berkreasi, untuk kembali menciptakan sesuatu. Ketika pesta sampai pagi, sampai cungkil matahari, ia bukan rekreatif, melainkan destruktif, menghancurkan. "Hancur sekolah anak karena uang sudah dipakai berpesta; hancur ekonomi rumah tangga karena harta dilelang di pegadaian; hancur rencana-rencana produktif lain karena tak ada dana tersisa; dan... hancur harga diri bila didatangi terus oleh para penagih utang...," papar Pak Alex disambut gemuruh tertawa hadirin.
"Dalam kondisi hancur begitu, beranikah kita mengukur berapa jarak ke moret epan? Maka tidak bisa tidak, eksistensi pesta-pesta mesti kita tamatkan. Harus kita batasi."
Regulasi pesta
Membatasi pesta tidak saja ditempuh secara oral dalam kula-babong dan kula-kame. Di akhir tahun tahun 2007, Pemkab dan DPRD Sikka memberlakukan Perda Nomor 10 /2007 tentang Izin Keramaian.
Dalam Perda tersebut, ditentukan antara lain bahwa setiap keramaian (termasuk pesta) harus mendapat izin dari kepolisian setempat, dan harus selesai selambat-lambatnya jam dua dinihari.
Meski disambut protes, di beberapa tempat terutama dalam Kota Maumere, jarang dijumpai pesta hingga cungkil matahari. Sementara di desa-desa, masih banyak pesta diadakan hingga pagi, tentunya dibayangi rasa cemas tuan pesta. Tuan pesta kerap berdalih, "Aduuuuh, anak-anak sudah mabuk, saya suruh berhenti, mereka ngamuk..."
Agaknya, tantangan klasik terulang di sini, aparat keamanan perlu Vitamin T: TEGAS.
Namun, sesungguhnya kepedulian untuk mengeliminir pesta jauh lebih dahulu diterapkan Gereja. Saat Maumere masih berupa Kevikepan, belum jadi Keuskupan, Vikep Maumere Romo Fransiskus Fao, Pr membuat kebijakan dengan memerintahkan semua pastor paroki untuk menyelenggarakan penerimaan sakramen komunio pertama pada hari yang sama.
Telunjuk protes pun diarahkan ke hidung para pastor. "Bagaimana mungkin saya sebagai paman, pu lame, harus menghadiri pestanya putera sulung saudari kandung saya, sementara puteri bungsu saya juga terima komunio pertama di hari yang sama?"
Namun Romo bicara habis perkara. Meski umat menggerutu, jadilah begitu.
Akan tetapi, usai pesta tidak sedikit orang tua yang bersyukur bahwa dana yang dikeluarkan hanya sedikit, banyak stok pangan yang tersisa. Satu-satunya yang tidak senang hanya para penjual jasa, tukang shooting dan tukang rias, tak bisa menerima 100 order dalam satu hari.
Dari dua pengalaman itu, jelaslah bahwa sesungguhnya masyarakat diselamatkan oleh regulasi tentang pesta, baik yang ditetapkan pemerintah maupun yang dikhotbahkan oleh para pemimpin umat. Dan mereka senang setelah menyadarinya.
Namun jalan ke moret epan masih panjang, mendaki, berliku. Karena kendalanya tidak tunggal. Namun, setidaknya boleh disyukuri bahwa perlahan-lahan kita berjalan ke arah yang benar. Bila harus jujur, kita patut mengatakan bahwa pekerjaan merombak mental dan pola pikir masyarakat tidak gampang. Dan, itu yang antara lain dikerjakan Alexander Longginus & Yoseph Ansar Rera sepanjang lima tahun abdinya.
Moret epan tak segampang membalikkan telapak tangan. Moret epan tidak turun dari langit. Ia tidak serta-merta tercipta seusai bupati berpidato. Ia mesti diperjuangkan. Dengan tetap bekerja giat dan hemat mengelola pendapatan, bukan memboroskannya. Mari kita berhenti mencungkil matahari.* (even edomeko)

Tidak ada komentar: