Spirit NTT 18-24 Februari 2008
JUDI agaknya bukan tradisi khas Las Vegas atau Macau. Ia pun telah menjadi pseudo-kultur orang Kabupaten Sikka. Sabung ayam, dadu-regan, dadu-pisung, kiu-kiu, fung, frans, foker, remi, empat-puluh-satu, kabu, bola guling, dan kupon putih serta bingo adalah contoh jenis judi yang dikaribi masyarakat. Bahkan di Bumi Nyiur Melambai ini, judi dianggap sebagai 'doa' bagi arwah dalam 'mete' orang mati (lazim diadakan selama empat malam setelah mayat dikuburkan). Argumennya: 'Tanpa main, sulit mete; sulit mete, mana bisa doa?'
Argumen apapun, judi tak pernah menguntungkan, tetapi selalu bikin rugi. Uang melayang, waktu hilang, tenaga habis. Jika begitu, bagaimana kondisi sejahtera moret epan dapat diraih? "Moret epan akan makin jauh, jika kita terus main judi," tandas Bupati Sikka Drs. Alexander Longginus.
Itulah sebabnya, sepanjang hampir lima tahun abdinya Bupati Drs. Alexander Longginus, dan Wabup, Drs. Yoseph Ansar Rera, tak pernah bosan menyadarkan warganya ihwal destruktivitas judi. Proses penyadaran itu terus-menerus digalakkan hingga hari-hari kini, dalam sambutan pelantikan kepala desa/camat, dalam dialog dan dalam berbagai kesempatan, di berbagai desa, dalam aneka forum.
"Saya mendengar kabar, bahwa masyarakat di sini tidak lagi bermain judi; betul demikian?" begitu biasanya Bupati Alex membuka dialog tentang jenis penyakit sosial yang satu ini. Dan, jawaban masyarakat kurang-lebih sama di semua desa: senyum malu-malu. Tetapi tidak sedikit desa yang berani mengaku masih berjudi. Misalnya Desa Ipir (Bola) dan Desa Ghera (Mego). "Kami di sini masih judi Pak Bupati," kata Epensius Moat dari Ipir. Sementara Ketua BPD Desa Darat Pantai (Talibura), Awaluddin, mengaku, "Kami di Darat Pantai ini judinya samar-samar."
Tapi ada juga yang coba mengakali sang bupati. Misalnya, dalam dialog usai pelantikan Kades Watuliwun (Kangae) belum lama ini. Terhadap pertanyaan pembuka dari Bupati Alex tersebut di atas, para bapak menjawab, "Betuuuul, kami tidak judi lagi." Dan langsung saja menyulut protes spontan para mama: "Uuuuuuuu.... masih, Pak. Masih judi!" Maka segenap hadirin tertawa menyambut tranparansi para mama.
Ancam keharmonisan keluarga
Dalam suasana dialog yang akrab beginilah, pemimpin kabupaten berpenduduk 288.623 jiwa ini menuturkan dampak buruk judi. "Selain uang habis, judi pun mengancam keharmonisan keluarga," tegas Bupati Alex. Kaum mama akan marah karena uang yang disembunyikan di manapun, termasuk di 'oha lugen,' akan diambil bapak untuk berjudi. Mama yang marah sekurang-kurangnya mogok bicara, dan beberapa kasus terjadi mama-mama mengeluarkan umpatan terhadap bapak. Bapak yang pulang kalah judi biasanya gampang naik darah, emosional. Pertengkaran biasanya muncul dari sini. "Dan, jika pertengkaran terjadi setiap hari, bisakah keluarga ini dikatakan harmonis?" tanya bupati retoris.
Efek lanjutannya, para orang tua kehilangan waktu untuk memperhatikan anak-anaknya. Kurang memperhatikan makan-minumnya, kurang memperhatikan pendidikannya. Akibat ikutan berikut, gizi buruk dan busung lapar mudah menyerang. Dan, bagi anak yang telah sekolah, ia akan enggan bangun pagi, enggan siap ke sekolah, dan akhirnya drop out dari sekolah. "Dengan kondisi ini, apa yang bisa diharapkan dari anak-anak kita di kemudian hari?" lagi, tanya retorik bupati.
Selanjutnya beliau memaparkan, "Kita semua ingin moret epan, muri pawe, muri mbola, hidup sejahtera. Kita mau agar makan-minum kita terjamin, semua anggota keluarga kita sehat-segar, anak-anak kita sekolah dengan lancar dan bersinambungan, kita ingin masa depan pun terjamin. Dan untuk semua itu kita perlu uang, uang dan uang. Maka kita seharusnya bekerja rajin dan kreatif mencari uang, bijak mengelolanya, termasuk menyisihkan sedikit sebagai tabungan."
"Betapa sulitnya kita moret epan, jika waktu kerja sudah habis untuk bermain, dan uang yang sedikit pun habis di tikar judi. Yang kita miliki bukanlah tabungan, melainkan hutang, hutang dan hutang.... Kita tidak punya simpanan di bank atau koperasi. Punya kita adalah Balai Pegadaian. Karena di sanalah bahar-balik kita titipkan."
"Inilah lingkaran kemiskinan akibat judi," tegas Bupati menyimpulkan.
Tidak gampang
Perjuangan memerangi penyakit sosial judi bukan baru digalakkan. Hampir lima tahun, Pemerintah tak bosan mengampanyekan penghapusan judi. Tetapi sukses belum juga diraih. Upaya membenahi mental masyarakat dari pola pikir 'punya uang banyak dalam sekejap lewat judi' ke pola 'kerja keras dan hemat agar 'moret epan' memang tidak gampang, segampang membalikkan telapak tangan. Selain karena judi telah 'membudaya', ia pun bahkan telah menjadi 'mentalitet' warga. Karenanya, memerangi judi seyogyanya dengan membudayakannya: budaya anti-judi. (even edomeko/humas Sikka)
Argumen apapun, judi tak pernah menguntungkan, tetapi selalu bikin rugi. Uang melayang, waktu hilang, tenaga habis. Jika begitu, bagaimana kondisi sejahtera moret epan dapat diraih? "Moret epan akan makin jauh, jika kita terus main judi," tandas Bupati Sikka Drs. Alexander Longginus.
Itulah sebabnya, sepanjang hampir lima tahun abdinya Bupati Drs. Alexander Longginus, dan Wabup, Drs. Yoseph Ansar Rera, tak pernah bosan menyadarkan warganya ihwal destruktivitas judi. Proses penyadaran itu terus-menerus digalakkan hingga hari-hari kini, dalam sambutan pelantikan kepala desa/camat, dalam dialog dan dalam berbagai kesempatan, di berbagai desa, dalam aneka forum.
"Saya mendengar kabar, bahwa masyarakat di sini tidak lagi bermain judi; betul demikian?" begitu biasanya Bupati Alex membuka dialog tentang jenis penyakit sosial yang satu ini. Dan, jawaban masyarakat kurang-lebih sama di semua desa: senyum malu-malu. Tetapi tidak sedikit desa yang berani mengaku masih berjudi. Misalnya Desa Ipir (Bola) dan Desa Ghera (Mego). "Kami di sini masih judi Pak Bupati," kata Epensius Moat dari Ipir. Sementara Ketua BPD Desa Darat Pantai (Talibura), Awaluddin, mengaku, "Kami di Darat Pantai ini judinya samar-samar."
Tapi ada juga yang coba mengakali sang bupati. Misalnya, dalam dialog usai pelantikan Kades Watuliwun (Kangae) belum lama ini. Terhadap pertanyaan pembuka dari Bupati Alex tersebut di atas, para bapak menjawab, "Betuuuul, kami tidak judi lagi." Dan langsung saja menyulut protes spontan para mama: "Uuuuuuuu.... masih, Pak. Masih judi!" Maka segenap hadirin tertawa menyambut tranparansi para mama.
Ancam keharmonisan keluarga
Dalam suasana dialog yang akrab beginilah, pemimpin kabupaten berpenduduk 288.623 jiwa ini menuturkan dampak buruk judi. "Selain uang habis, judi pun mengancam keharmonisan keluarga," tegas Bupati Alex. Kaum mama akan marah karena uang yang disembunyikan di manapun, termasuk di 'oha lugen,' akan diambil bapak untuk berjudi. Mama yang marah sekurang-kurangnya mogok bicara, dan beberapa kasus terjadi mama-mama mengeluarkan umpatan terhadap bapak. Bapak yang pulang kalah judi biasanya gampang naik darah, emosional. Pertengkaran biasanya muncul dari sini. "Dan, jika pertengkaran terjadi setiap hari, bisakah keluarga ini dikatakan harmonis?" tanya bupati retoris.
Efek lanjutannya, para orang tua kehilangan waktu untuk memperhatikan anak-anaknya. Kurang memperhatikan makan-minumnya, kurang memperhatikan pendidikannya. Akibat ikutan berikut, gizi buruk dan busung lapar mudah menyerang. Dan, bagi anak yang telah sekolah, ia akan enggan bangun pagi, enggan siap ke sekolah, dan akhirnya drop out dari sekolah. "Dengan kondisi ini, apa yang bisa diharapkan dari anak-anak kita di kemudian hari?" lagi, tanya retorik bupati.
Selanjutnya beliau memaparkan, "Kita semua ingin moret epan, muri pawe, muri mbola, hidup sejahtera. Kita mau agar makan-minum kita terjamin, semua anggota keluarga kita sehat-segar, anak-anak kita sekolah dengan lancar dan bersinambungan, kita ingin masa depan pun terjamin. Dan untuk semua itu kita perlu uang, uang dan uang. Maka kita seharusnya bekerja rajin dan kreatif mencari uang, bijak mengelolanya, termasuk menyisihkan sedikit sebagai tabungan."
"Betapa sulitnya kita moret epan, jika waktu kerja sudah habis untuk bermain, dan uang yang sedikit pun habis di tikar judi. Yang kita miliki bukanlah tabungan, melainkan hutang, hutang dan hutang.... Kita tidak punya simpanan di bank atau koperasi. Punya kita adalah Balai Pegadaian. Karena di sanalah bahar-balik kita titipkan."
"Inilah lingkaran kemiskinan akibat judi," tegas Bupati menyimpulkan.
Tidak gampang
Perjuangan memerangi penyakit sosial judi bukan baru digalakkan. Hampir lima tahun, Pemerintah tak bosan mengampanyekan penghapusan judi. Tetapi sukses belum juga diraih. Upaya membenahi mental masyarakat dari pola pikir 'punya uang banyak dalam sekejap lewat judi' ke pola 'kerja keras dan hemat agar 'moret epan' memang tidak gampang, segampang membalikkan telapak tangan. Selain karena judi telah 'membudaya', ia pun bahkan telah menjadi 'mentalitet' warga. Karenanya, memerangi judi seyogyanya dengan membudayakannya: budaya anti-judi. (even edomeko/humas Sikka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar