Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Nyanyian bebatuan dari dapur-dapur itu meredup...

Spirit NTT 4-10 Februari 2008
SAYA beruntung punya adik, Linda, di Jakarta. Gadis manis campuran Flores Timur-Betawi ini, menariknya, punya apresiasi tinggi pada adat dan budaya Flores.
Ayahnya, Kanis Kia Hurek, masih tergolong sepupu dengan ayah saya, Nikolaus Nuho Hurek. Ama Kia ini tergolong orang Flores yang 'berani' merantau, keluar kandang, dan akhirnya melahirkan keturunan dengan mixed blood, darah campuran, yang unik. Anak-anak muda generasi kedua (campuran Flores non-Flores) ini akan semakin banyak ditemukan di Tanah Air.
Dari Linda, saya sering mendapat kiriman paket khusus, kilat, nan spesial, jagung titit. Saya selalu menikmati emping jagung khas Flores Timur ini dengan penuh syukur. Jagung titi tak sekadar makanan kecil (snack), tapi juga simbol lewotanah (Tanah Air) bagi warga Flores Timur (Lembata, Adonara, Solor, Flotim Daratan).
Di Surabaya dan Sidoarjo, saya juga kerap menikmati jagung titi di rumah sahabat atau kenalan. Makanan ini punya nilai tinggi karena sangat langka di Jawa. Sebagai barang langka, dia mahal, selalu dicari, ingin terus dinikmati dan dinikmati. Mau tahu cerita tentang jagung titi atau dalam bahasa daerah (Lamaholot): Wata Nengen? Baiklah.
***
Di kampung halaman, Lembata, semua rumah pasti punya alat pembuat jagung titi. Sederhana saja: batu kali (pantai) yang kokoh dan lempeng, sebagai landasan, kemudian sebuah batu sebesar genggaman tangan orang dewasa untuk 'meniti.' Titi dalam bahasa melayu lokal (Larantuka) berarti memukul sampai lempeng. Dari sinilah asal mula nama JAGUNG TITI itu tadi.
Di samping bebatuan sederhana tadi, ada tungku tiga batu, yang juga dipakai untuk keperluan memasak makanan sehari-hari di rumah, di pondok, di kebun, atau di mana saja ada orang kami bermalam.
Berbeda dengan emping melinjo atau produk-produk snack di Jawa, yang digarap oleh sejumlah pengusaha kecil (home industry), emping jagung alias jagung titi di Flores Timur ini dibuat di semua rumah. Bukan orang Lembata (Flores Timur) kalau perempuannya tak bisa buat jagung titi.
Makanan pokok di sana, khususnya sebelum 1980-an, memang jagung, sehingga jagung adalah hidup dan kehidupan warga itu sendiri.
Saya masih ingat benar suara batu-batu saling bersahutan dari rumah ke rumah setiap subuh. Mirip suara azan di Jawa yang bersahutan setiap subuh, membangunkan warga untuk salat. Suara batu itu tak lain dari dapur-dapur rumah penduduk. Ya, proses meniti jagung sedang terjadi. Paling afdol memang dilakukan pukul 04.00-06.00 wita. Hasilnya nanti untuk sarapan atau disimpan, kapan saja bisa dimakan.
Cara membuat jagung titi sangat sederhana, tapi cukup 'menyiksa' bagi mereka yang belum biasa. Jagung dipipil dari tongkolnya, disangrai 5-7 menit hingga setengah matang. (Terlalu lama disangrai, jadilah jagung bunga) Penyangraian harus di periuk/belanga tanah liat. Agar proses transfer panas lebih lambat, tapi merata ke seluruh bagian jagung pipilan. Jangan sekali-kali menggunakan periuk/wajan dari logam karena dijamin akan rusak berat. Letak batu penumbuk (peniti) berada di kanan tungku, karena jarang ada orang Flores yang kidal.
Nah, usai penyangraian (roasting), irama 'musik batu' itu pun mulai terdengar. Kaum wanita (ibu-ibu) secara otomatis menambil 5-7 butir jagung panas, ditaruh di atas batu landasan, dan tangan kanan meniti. Butiran jagung panas pun langsung memipih. Jadilah jagung titi. Dua tiga butir berdempetan.
Di depan batu landasan ada wadah (anyaman dari daun siawalan) yang siap menampung hasil titian tadi. Jagung titi yang masih panas-panas, hhhmmmm, nikmat luar biasa!!!!
Apa tangan si ibu/wanita itu (sebab, seumur-umur saya belum pernah melihat laki-laki membuat jagung titi) tidak kepanasan? Tangan tidak rusak. Waktu belum masuk SD, saya pun bertanya begitu. Alah bisa karena biasa. Tentu saja panas, tapi karena sudah jadi kebiasaan, bahkan budaya, panas itu tak terasa. Justru sangat dinikmati.
Karena itu, sebelum tahun 1980-an, praktis tangan kaum perempuan Lembata/Flores Timur tebal-tebal dan cenderung 'mati' rasa panas. Tangan-tangan rajin ini pun banyak yang berwarna hitam pekat karena dipakai untuk mengolah tarum (bahasa daerah TAUM) sebagai bahan pewarna sarung. Benar-benar hitam!
Jagung titi berkualitas tinggi, menurut saya, harus gurih, tipis, tidak alot saat dikunyah, bahannya benar. Karena itu, memilih jagung untuk dititi butuh pengalaman dan naluri budaya yang luar biasa. Memang, semua wanita di Lembata pada dasarnya bisa membuat jagung titi, karena gampang, tapi hasilnya tidak dijamin bagus. Bisa jadi kekuatan pukulnya kurang, sehingga kurang pipih.
Jagung titi berwarna putih bersih rata-rata sangat dipuji. Saya ingat betul, di Mawa, Ileape, Lembata, jagung titi garapan Kak Wara Hurek dan Kak Paulina Hurek dikenal paling berkualitas, membuat orang ketagihan.
Jagung titi berasa khas, tapi musiman, adalah jagung titi muda. Bahannya diambil dari jagung yang baru saja dipanen. Kulitnya dibuka, dijemur sampai kering benar (kadar air harus rendah) baru dititi. Enak sekali! Kalau dijual, saya rasa harganya bisa dua kali lebih mahal ketimbang jagung titi biasa. Stoknya sangat terbatas karena hanya ada pada saat panen.
Karena kadar airnya rendah, si jagung titi sangat awet disimpan. Lebih awet ketimbang jajanan biasa karena dia tidak punya minyak dan gula. Akan lebih awet lagi manakala disimpan rapat-rapat di dalam kaleng kedap udara. Warga kampung saya, dulu, punya kebiasaan menyimpan jagung titi di dalam kaleng biskuit Khong Guan yang gambarnya khas itu.
Maka, jika Anda bertandang ke rumah-rumah di kampung dan menemukan beberapa kaleng Khong Guan, saya pastikan isinya jagung titi. Biskuit aslinya sih sudah lama habis. Jika disimpan rapat-rapat, tidak kemasukan air, saya jamin disimpan enam bulan pun si jagung titi ini tetap awet.
Agar lebih khas, plus tambah protein nabati, lazimnya jagung titi ini dicampur dengan kacang tanah sangrai. Hmm lebih enak. "Supaya lebih kenyang siram dengan air," begitu nasihat mama-mama di kampung.
Anak-anak sekolah di kampung biasanya mengandalkan jagung titi untuk sarapan. Akan lebih afdol lagi, makanan ini diperkaya gizinya dengan ikan bakar, apalagi gurita, sebagai sumber protein hewani. Makanan laut di kampung sebetulnya sangat berlimpah karena kampung saya di Lembata itu benar-benar di pinggir laut. Rumah saya, misalnya, berjarak sekitar 50 meter dari bibir pantai.
***
RODA zaman terus bergulir. Politik beras ala rezim Orde Baru membuat Nusa Tenggara Timur, yang nota bene tidak memproduksi beras, dikondisikan untuk makan nasi (rice) ala Jawa, Sumatera, Kalimantan. Guru-guru dan pegawai negeri sipil seperti bapak saya diberi jatah beras tiap bulan. Citra beras pun terangkat tinggi, imej jagung terus memudar.
Pada 1980-an, ketika Ben Mboi menjabat gubernur NTT selama dua periode, pernah ada usul agar guru-guru dan PNS diberi jatah jagung, bukan beras. "Masa, guru-guru dikasih beras? Kita kan nggak bisa menghasilkan beras untuk kebutuhan warga?" kata Ben Mboi, gubernur yang menurut saya paling hebat dalam sejarah NTT.
Protes besar pun terjadi. Dus, usulan Ben Mboi ini hanya sekadar wacana yang tak pernah terealisasi.
Di sisi lain, sekolah-sekolah berhasil melahirkan generasi baru yang wawasannya lebih baik. Gaya hidup berubah. Orientasi tidak lagi ke dalam, tapi merantau atau sekolah di luar Flores. Maka, gadis-gadis muda mulai enggan berpanas-panas di dapur, membawakan irama musik batu setiap subuh, bikin jagung titi. Takut, tangannya 'kapalan', tidak mulus lagi.
Yah zaman berubah. Gadis-gadis semakin memperhatikan penampilan, kosmetik, menganggap tradisi meniti jagung bisa merusak tangannya yang halus mulus. Doyan makan jagung titi, tapi tidak mau bikin sendiri. Mau konsumsi, tapi enggan memproduksi. Kayak orang Indonesia sekarang lah!
Sejak itulah irama batu pembuat jagung titi di pagi subuh makin redup kendati belum hilang sama sekali. Yang belum hilang ini, saya rasa, ibu-ibu yang telah berhasil melihat jagung titi sebagai peluang bisnis.
"Harganya mahal sekali. Saya baru pulang dari Riangkemie (dekat Larantuka), satu gelas saja Rp 1.000," cerita Mbak Wahyuni, warga Kampung Dinoyo, Surabaya, yang kebetulan suaminya orang Flores Timur.
Jagung titi sejak 1990-an memang jadi komoditas di pasar, termasuk di kampung. Kalau dulu, waktu saya kecil, jagung titi ibarat 'barang bebas' yang tanpa harga, sekarang berubah menjadi 'barang ekonomis.' Ada uang ada barang!
Saya sering menjemput orang Lembata, termasuk adik saya Is dan Ernie, di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Di perjalanan ke pelabuhan saya hanya jagung titi, jagung titi, jagung titi. Nah, setelah berbasa-basi, tanya kabar, kesehatan saya pun melontarkan pertanyaan krusial itu.
"Mete wata nengen aya le take?" (Bawa jagung titi banyak atau sedikit?)
"Kame mete hala. Pi wata negen teti lewo pe welin-welin." (Sekarang jagung titi di kampung sangat mahal.)
Saya langsung kecut. Selera untuk bertanya lebih jauh pun hilang sama sekali. "Sekarang jagung titi sangat mahal," ulang saya di dalam hati.
Kesimpulannya jelas. Orang Flores Timur yang lahir pada awal 1980-an tidak pernah lagi menikmati the song of stones, nyanyian bebatuan, dari dapur-dapur setiap subuh. Jagung titi bukan lagi makanan siap saji di rumah-rumah, melainkan komoditas cendera mata yang hanya bisa DIBELI di tempat-tempat tertentu.
Sejak bertemu pengalaman 'buruk' di Pelabuhan Tanjung Perak. Banyak orang Lembata ternyata tidak membawa oleh-oleh jagung titi, karena mahal. Saya pun kehilangan selera untuk memesan jagung titi dari kampung. Saya tak ingin mereka harus membeli ke mana-mana, karena di rumah tak ada lagi produksi jagung titi.
Bukan tak mungkin, 20 hingga 50 tahun lagi jagung titi tinggal sejarah di Flores Timur. Sekarang saja, tahun 2006, saya justru mendapat kiriman jagung titi dari Jakarta, bukan dari kampung pelosok Flores Timur. Alamak! (lambertus h hurek)

Tidak ada komentar: