Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Netralitas media dan tuntutan lapangan kerja

Oleh Frend Lutruntuhluy, S. Pd
Spirit NTT 18-24 Februari 2008

HADIRNYA UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Surat Keputusan (SK) Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang kode etik jurnalistik merupakan satu langkah maju dalam upaya menempatkan posisi pers/media yang sebenarnya dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia ke arah yang lebih baik.
Hadirnya keputusan Dewan Pers yang ditandatangani Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA, ini dan yang menjadi bahan pertimbangan adalah bahwa selama ini telah terjadi perkembangan yang sangat pesat dalam kehidupan pers nasional maupun lokal, yang terjadi selama enam tahun terakhir.
Selain itu, kode etik Wartawan Indonesia yang disepakati oleh 26 organisasi wartawan di Bandung pada tanggal 6 Agustus tahun 1999 dinilai perlu dilengkapi sehingga dapat menampung berbagai persoalan pers yang berkembang selama ini, terutama yang terjadi pada media pers elektronik.
Dengan kondisi ini bagi dewan pers merasa perlu untuk mengeluarkan dan menetapkan sebuah surat keputusan yang mengatur kode etik jurnalistik. Kalau dalam pasal 1 UU ini menyebutkan, posisi Pers sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengola, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Menindaklanjuti kesepakatan yang telah dilakukan oleh 26 organisasi wartawan ini paling tidak bagi kita bukan menjadi hal baru yang perlu dipelajari dan dilakukan, namun sebaliknya dipertanyakan sejauhmana profesionalitas wartawan dalam sebuah media. Profesional atau tidaknya sebuah media/wartawan itu kita bisa melihat dari orientasi pemberitaan yang berimbang/tidak.
Memang seringkali banyak kalangan menilai pers ôsebelah mataö. Karena, hadirnya sebuah institusi pers/media dikarenakan ada kepentingan yang perlu dipertahankan atau diluruskan. Dengan demikian eksistensi media seperti inilah yang akan melahirkan banyak sekali 'teman-teman' yang belum sepenuhnya mengerti tentang posisi seorang pewarta yang bagi masyarakat awam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam upaya pembangunan bangsa. Apalagi komunitas pers yang belum memahami sebuah produk/UU sebagai payung dalam sebuah pemberitaan.
Boleh dikatakan bahwa konsekwensi dari kehadiran media seperti ini mengakibatkan lumpuhnya/matinya demokratisasi yang selama ini dijunjung tinggi oleh institusi pers sebagai pilar keempat pembangunan. Tidak saja itu, kondisi ini seringkali menghasilkan 'gesekan-gesekan' baru sebagai akibat 'pertarungan' antara sesama insan pers/media dalam lingkup kerjanya masing-masing.
Ketidakseragaman konsep ini mengakibatkan moralitas dan mentalitas dari sosok seorang pewarta bisa menciptakan konflik ataupun merugikan pihak lain. Mungkinkan perkembangan media dan wartawan seperti ini bisa dimilinalisir waktu mendatang? Kira-kira begitu pertanyaan kepada sang kulit tinta.
Era ode lama dan baru telah kita lewati bersama. Pada dua rezim kepemimpinan ini tidak sedikit meninggalkan sejarah perkambangan pers ditanah air yang mampu menempatkan posisi pada pembangunan yang sebenarnya. Kendatipun sejumlah reference bisa menunjukan bahwa ruang kebebasan yang dialami pers waktu itu tidak sebanding dengan sekarang (masa reformasi).
Begitu banyaknya tulisan-tulisan yang bisa dihasilkan oleh jurnalis-jurnalis tua yang mampu merubah sistem pemerintahan pada masa itu. "Pada waktu dulu, yang namanya wartawan itu sangat ditakuti oleh berbagai lapisan masyarakat. Tetapi sekarang, tidak. Apalagi penghargaan terhadap karya-karya jurnalis." Demikian mengutip kata dari salah seorang wartawan senior di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Lebih kejam ada yang beranggapan bahwa pada waktu itu, khususnya masa orde baru penuh dengan 'dosa.' Tetapi pertanyaan bagi insan Pers sekarang adalah, saudara memilih yang mana. Apakah pers pada waktu dua rezim itu ataukah pers yang yang hadir pada zaman reformasi. Sementara untuk era reformasi sendiri, fungsi pers yang sebenarnya menjadi luntur sebagai akibat banyak media yang hadir untuk kepentingan kalangan tertentu. Ataupun media yang berorientasi bisnis yang selanjutnya meninggalkan fungsinya.
Dengan melihat kondisi pers di tanah air umumnya dan secara khusus pada skala local, berbagai upaya telah dilakukan oleh Dewan Pers. Salah satunya merubah UU pers dan menegakan kode etik jurnalistik serta prosedur pengajuan masyarakat kepada Dewan Pers atas pemberitaan yang dianggap merugikan pihak-pihak tertenu oleh salah satu media. Kendatipun demikian, hampir banyak media yang kurang mempedulikan hal itu, bahkan sama sekali tidak mengetahui adanya regulasi baru yang mengatur tentang kebebasan pers.
Mungkin di sinilah letak kepincangan media massa dalam menegakan demokratisasi di negeri ini. Selain itu masyarakatpun belum mengetahui bahwa ternyata ada cela/ruang yang bisa dilalui untuk melakukan protes kepada sebuah perusahaan pers. Kalau di kalangan pemerintah menggunakan pola yang lain. Salah satunya kepada media/wartawan diberi ruang yang cukup. Hal ini bisa dibuktikan dengan anggaran yang dialokasikan oleh pemda (daerah saya) kepada media dan organisasi wartawan tempat bertugas.
Kendati demikian sepertinya masih terjadi diskriminasi. Organisasi wartawan mengatasnamakan wartawan hanya menjadi simbol untuk mendapatkan 'sesuatu.' Lucunya pemerintahpun ikut mendinamikai proses perkembangan organisasi seperti itu.
Pertanyaannya dimana letak permasalahan itu sehingga ada aksi balik bisa terjadi. Apakah soal langganan media, harga iklan, ataukah pemerintah sengaja menutup ruang untuk kebebasan pers memperoleh informasi. Terlepas dari itu, namun yang paling penting disini adalah pemerintah harus melihat pers sebagai lembaga mitra, dan jangan ada diskriminasi kepada media-media tertentu. Dan kepada institusi pers/media, jangan ada perbedaan yang mengakibatkan kesenjangan pembangunan di daerah ini. Apalagi wartawan dengan wartawan saling sikut-menyikut
Kembali lagi kepada media yang hadir untuk kepentingan kalangan tertentu. Benar atau tidak, maaf! Media yang hadir seperti ini banyak melahirkan wartawan-wartawan yang belum memiliki lapangan pekerjaan. Sekali lagi Maaf! Alias sering ngobrol-ngobrol di sepangjang jalan. Kondisi ini yang mengakibatkan pincangnya pembangunan. Atau bisa juga terbalik pada teman-teman wartawan yang secara professional mampu menciptakan kesenjangan/masalah.
Kalau dulu, prosedur menjadi seorang kulit tinta memakan waktu pendidikan yang panjang. Hal ini dilakukan atas kesadaran untuk meningkatkan profesionalitas wartawan yang mampu memberi kontribusi terhadap pembangunan. Tanggungjawab pemerintah adalah menciptakan lapangan pekerjaan agar kondisi ini tidak menjamur dan berakibat fatal dalam menjunjung nilai-nilai demokrasi di daerah ini.
Banyak kejadian yang terjadi (Pilkada) di bangsa ini yang bisa menjadi bahan pelajaran oleh teman-teman kulit tinta, khususnya pemegang utama media yang hadir untuk kepentingan kandidat/calon pemimpin tertentu. Bahwa ternyata perjuangan media ini bisa mempengaruhi pikiran masyarakat dalam meloloskan kandidat bermasala. Pasca pemilihan menuai konflik yang tak kunjung selesai.
Apa mau dikata, semua telah terjadi secara prosedural. Dan kesalahan ada pada media, dikarenakan kepentingan bisnis mendahului idealisme murni sang jurnalis. Sekian!
* Penulis, Alumni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Kristen Artha Wacana Kupang,
e-mail:mediator_02@yahoo.com.

Tidak ada komentar: