Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Soal anggaran pendidikan 20 persen

Spirit NTT 18-24 Februari 2008

SETELAH kita memperingati tahun kelahiran yang ke-62, cita-cita para pendiri republik ini yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 masih jauh dari terwujud.
Meski 'memprihatinkan bahkan jika dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Korea Selatan' tidak ada yang mempermasalahkan akar masalah yang menyebabkan tidak kunjung terwujudnya cita-cita para pendiri republik tersebut. Belajar dari perjalanan sejarah peradaban dunia, kita akan menemukan bahwa bangsa-bangsa yang sekarang termasuk dalam gugusan negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan sekarang disusul China,India, Malaysia,Korea Selatan,Singapura,dan Taiwan, adalah negara-negara yang sejak memulai pembangunannya mendudukkan pendidikan sebagai prioritas pertama.
Ini ditempuh Amerika Serikat sejak Thomas Jefferson (permulaan abad ke-19), Jerman sejak Otto von Bismark, Jepang sejak Meizi, China sejak Deng Xiaoping, Malaysia sejak Mahatir Muhammad. Masyarakat Jerman, yang setelah Perang Dunia II kehidupannya tergantung dari bantuan Amerika Serikat melalui Marshall Plan, dapat mengikuti pendidikan dari SD sampai universitas tanpa dipungut biaya. Di Amerika Serikat, di samping wajib belajar sampai tingkat SMA yang sepenuhnya dibiayai pemerintah (negara bagian dan federal), universitas negeri pun terbuka bagi lulusan terbaik high school tanpa dipungut biaya.
Setelah kemakmuran rakyat meningkat, yaitu sejak dekade keenam abad ke-20 di Amerika Serikat, baru ditempuh kebijakan wajib membayar uang kuliah bagi lulusan yang memasuki universitas negeri. Di Inggris, baru setelah memasuki abad ke-21 (dalam pemerintahan PM Tony Blair), memasuki universitas negeri dipungut biaya yang diatur dengan UU.Negara-negara ini menganut paradigma to build nation build school. Paradigma itu hakikatnya dipegang penuh oleh para pendiri republik ini.
Karena itu, pada saat para pendiri republik masih terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara sejak 1950, at all cost sudah dirancang program wajib belajar sekolah dasar dengan didukung penyelenggaraan pendidikan guru berasrama dan berikatan dinas. Universitas negeri dibangun dan dilengkapi dengan asrama mahasiswa putra dan putri lengkap dengan perumahan dosen.
Dalam periode itu, sampai dengan jatuhnya Presiden Soekarno, mengikuti pendidikan tidak dipungut biaya. Sejak Orde Baru, walaupun Pasal 31 ayat (1) menetapkan 'Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional,' yang maksud tersiratnya adalah kewajiban pemerintah membiayai penyelenggaraan pendidikan nasional, pemerintah mulai menetapkan sistem sumbangan pembangunan pendidikan (SPP).
Kebijakan ini hakikatnya melanggar ketentuan Pasal 31 yang sudah dikutip di atas. Di negara kesejahteraan di dunia, paling tidak pendidikan wajib belajar memang sepenuhnya dibiayai pemerintah. Karena itu, MPR yang para anggotanya telah melakukan studi perbandingan ke berbagai negara, sepakat untuk memperjelas semangat yang terkandung dalam Pasal 31. Hal itu tidak lain karena terselenggaranya pendidikan nasional yang merata, tetapi tidak bermutu.
Akibatnya, sistem pengajaran (persekolahan) yang oleh para pendiri RI dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, ternyata tidak dapat menjalankan fungsi konstitusionalnya. Karena itu, Pasal 31 dari dua ayat menjadi lima ayat dengan tambahan tiga ayat.
Pada ayat (2) tertulis: setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ayat (5), Pemerintah memajukan Iptek, dan ayat (4) tertulis: ôNegara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Disayangkan, dalam kondisi kesempatan memperoleh pendidikan, termasuk pendidikan wajib belajar, pemerintah belum terpanggil untuk berusaha keras memenuhi tuntutan ketentuan Pasal 31 ayat (2) tentang kewajiban pemerintah membiayai wajib belajar, dan ayat (4) tentang perlu disediakannya anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD, serta ayat (5) UUD 1945 tentang kewajiban pemerintah memajukan Iptek. Dalam kondisi seperti ini, masih ada yang mempertanyakan untuk apa anggaran sebanyak itu?
Dan dari mana dana sebanyak itu diperoleh? Jawaban atas pertanyaan untuk apa dana sebesar itu (sekurang-kurangnya 20 persen, bukan 20 persen karena Thailand sampai 36 persen, Belanda tahun 1996 sampai 37 persen), pertama, agar semua anak usia wajib belajar 'anak siapa pun dan di mana pun' dapat mengikuti pendidikan tanpa dipungut biaya oleh siapa pun dan agar setiap peserta didik SD dan SMP dapat memperoleh buku pelajaran, buku bacaan, dan buku rujukan.
Kedua, agar semua sekolah memiliki fasilitas, sarana dan prasarana seperti yang dituntut PP No 19/2005, termasuk lapangan olahraga, perpustakaan, laboratorium, dan kebun botani. Ketiga, agar lulusan SMP, dan SMA yang berprestasi sesuai, ketentuan Pasal 12 ayat 1 c UU No 20/2003, dapat memperoleh beasiswa untuk meneruskan ke SMA dan universitas. Keempat, agar para dosen dan guru besar memiliki fasilitas untuk melakukan riset dan memperoleh jaminan hidup yang memungkinkannya berkonsentrasi melakukan darma baktinya sebagai akademisi dan ilmuwan.
Kelima, agar guru dapat memperoleh jaminan hidup yang memungkinkan mereka dapat berperan sebagai pendidik yang mampu menerapkan ajaran Ki Hajar Dewantara 'Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani.' Terhadap pertanyaan kedua, dari mana dana itu diperoleh? Kita dapat meminjam kata-kata Bappenas (2004) yang menyatakan 'The amount is substantial, but affordable' (The Economics of Democracy, 2004) atau kata-kata Deng Xiaoping: 'We should by every means to promote education, even if it means slowing down in other areas, and however poor we are, we should give priority to funding for education' (Education For 1.3 Billion: Ten Years of Educational Reform, 2004).
Hal yang sangat menyakitkan dan memrihatinkan, adalah dalam APBN 2008 persentase anggaran pendidikan terhadap APBN menurun dibandingkan APBN 2007 dari 11 menjadi kurang dari 11 persen. Padahal, Mahkamah Konstitusi sudah dua kali memutuskan pada 2006 dan 2007, anggaran pendidikan di bawah 20 persen bertentangan dengan UUD 1945. Tampaknya melanggar UUD 1945 bukan hal yang patut dipersoalkan dalam kehidupan negara ini.
Tampaknya berbeda dengan sikap penyelenggara negara terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi tentang calon independen untuk pemilihan kepala daerah yang langsung ditindaklanjuti secara cepat. Seperti yang telah direkomendasikan oleh Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia kepada Presiden RI, 9 Mei 2007 lalu, tanpa diupayakan dengan sungguh-sungguh, penyelenggaraan pendidikan nasional sesuai dengan ketentuan UUD 1945, pendidikan nasional bukan hanya tidak akan mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi sebaliknya dapat menghasilkan masalah bangsa. (Prof. Dr. H Soedijarto MA, Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia, Guru Besar UNJ/Dikutip dari Sindo)

Tidak ada komentar: