Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tradisional belum tentu kolot

Oleh Abdurrahman Wahid *
Spirit NTT 7-13 Januari 2008

HAMPIR semua tulisan tentang Nahdlatul Ulama (NU) menyimpulkan bahwa perkumpulan itu sangat tradisional. Ini tentu saja dapat dimengerti karena dalam kenyataan para pemimpin perkumpulan itu memang tradisional dalam bentuk lahiriah. Umumnya mereka mengenakan sarung.
Kalaupun bercelana, mereka menggunakan sandal, bukannya sepatu. Pengecualian dalam hal ini adalah KH Abdul Wahab Chasbullah dan iparnya, KH M Bisri Syansuri, orang pertama dan kedua NU dari 1947 hingga 1972. Mereka selalu bersepatu, walaupun tetap tradisional, yaitu mengenakan sarung. Menurut SQ Fatimi dari Malaysia dalam Islam Comes to Malaysia (terbit 1960-an), sarung berasal dari Bengali Barat (West Bengal), yang di sana bernama Lunggi dan menjadi pakaian utama.
Inilah yang membuat mengapa Fatimi menganggap Islam datang dari kawasan itu diperkuat dengan kenyataan bahwa sejak berabad-abad yang lalu mazhab Syafii berkembang di kawasan itu. Sebaliknya, Islam di Indonesia datang dari kawasan Gujarat, sebelah barat India. Mereka ini umumnya bermazhab Hanafi. Hal ini tampaknya tidak dianggap penting oleh para kiai sendiri, yang melihat fikih tidak setajam kawasan- kawasan Islam yang lain.
Akibat dari sikap ini, toleransi kaum muslimin di Indonesia terhadap perbedaan pandangan dan sikap sangatlah besar. Menurut penuturan orang-orangtua penulis artikel ini, pada 1912 KH M Hasyim As'yari diberi tahu tentang lahirnya perkumpulan baru bernama Muhammadiyah di Yogyakarta. Dia hanya meminta pendiri perkumpulan itu yang 'dicari.' Tiga hari kemudian dilaporkan kepadanya, bahwa pendiri perkumpulan itu adalah H Ahmad Dahlan. Dia menyatakan bahwa orang itu adalah orang yang baik-baik saja, walaupun dalam peribadatan mungkin berbeda.
Dia menyatakan, H Ahmad Dahlan adalah teman sekamar di Pesantren KH Saleh Darat (Semarang). Itulah sebabnya, mengapa toleransi antara Muhammadiyah dan NU harus ditegakkan: keduaduanya berasal dari keputusan para ulama di Al-Azhar (Kairo, Mesir). Ketika itu para ulama Al- Azhar di abad ke-5 H (12-13 Masehi) memutuskan sebuah hal yang membedakan dua perkumpulan itu. Muhammadiyah berpegang pada keputusan bahwa kaum muslimin dilarang melakukan ziarah kubur, sedangkan orang NU melakukannya. Jadi kedua-duanya berasal dari akar kultur/budaya yang sama. Kalau terjadi di kalangan NU toleransi besar kepada aliran seperti syiah dan lain-lain, maka tidak heran sikap yang diperlihatkan KH M Hasyim As'yari itu.
Bahkan lebih jauh, antara HOS Tjokroaminoto dan KH M Hasyim As'yari tumbuh kesepakatan untuk menganggap Islam sebagai cara hidup dan nasionalisme/paham kebangsaan harus dipersatukan. Toleransi ini di kemudian hari akan berkembang lebih jauh. Jelas, dari penuturan di atas, Islam sebagai cara hidup memiliki toleransi yang sangat besar terhadap paham-paham lain.Ini sudah tentu sangat sesuai dengan adagium Mpu Tantular di masa permulaan Majapahit (sekitar abad 13-14 Masehi).
Dialah orang yang menyatakan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda namun tetap satu) di kemudian hari. Pandangan dan adagium Mpu Tantular itu dinamai Bung Karno pada 1 Juni 1945 sebagai Pancasila. Dari saat itulah Pancasila dikenal sebagai sesuatu yang mutlak dalam kehidupan bangsa dan negara kita.
Memang pernah Pancasila digunakan untuk kepentingan mengokohkan kekuasaan yang ada, tapi secara keseluruhan ia adalah semboyan yang penting bagi kita, karena menggambarkan keadaan kita yang sesungguhnya. Dari pandangan itulah muncul sikap menyamakan berbagai aliran, sikap dan pemikiran dari hal seperti itu. Muncullah anggapan bahwa kebenaran ada di tangan Tuhan dan kita sebagai bangsa harus mampu melupakannya guna kepentingan memahami ajaran-ajaran lain.
Salah satu contoh menarik dari toleransi seperti ini adalah sikap tradisional orang-orang NU yang mampu menggabungkan antara yang lama dan yang baru dalam tradisionalisme yang mereka anut.Yaitu ketika musyawarah nasional ulama di Medan pada 1957 berlangsung di bawah kepemimpinan KH Maskur, anggota PBNU dan termasuk salah seorang pendiri perkumpulan tersebut. Munas menyimpulkan, Presiden Republik Indonesia adalah waliyyul amri dharuri bi al-syaukah (pemegang pemerintahan untuk sementara dengan kekuasaan konkret/efektif).' Pemegang kekuasaan pemerintahan itu disebutkan sebagai dharuri/sementara, karena belum tentu memenuhi persyaratan yang ketat dalam pandangan Islam.
Tetapi bagaimanapun juga,dia memiliki kekuasaan efektif untuk melaksanakan pemerintahan. Rumusan ini sangat kontemporer, menunjukkan adanya kemampuan memahami perubahan-perubahan yang terjadi. Inilah yang membuat NU tradisional, tetapi tidak kolot. Masih banyak contoh-contoh lain dapat dikemukakan untuk menunjukkan hal ini. Bukan hanya dalam kesepakatan yang terjadi melalui forum-forum keagamaan, seperti musyawarah nasional tersebut di atas, tapi semuanya itu menunjukkan hal yang sama.Yaitu bahwa tradisionalisme pemikiran keagamaan tidak bisa dianggap sebagai kekolotan sikap dalam kehidupan.
Itulah cara yang digunakan NU untuk membuat responsi terhadap tuntutan- tuntutan perubahan yang diakibatkan oleh 'perkembangan keadaan.' Jika hal ini diterima sebagai sesuatu yang positif, maka ini berarti tradisionalisme keagamaan juga ada tempatnya sendiri dalam kehidupan kaum muslimin. Orang bisa saja menganut tradisionalisme tanpa menjadi kolot. Karenanya, antara tradisionalisme NU dan kekolotan sikap beragama Islam, yang tidak lain berarti formalisme 'mengganggu' keharmonisan hubungan antara berbagai pihak beragama, hampir- hampir tidak dapat dijumpai dalam sikap dan pandangan perkumpulan NU sejak berdiri pada 1926. Sikap seperti ini justru sangat diperlukan dewasa ini, bukan? (*)
* Penulis, Ketua Dewan Syura DPP PKB, dikutip dari Koran Sindo (Bentara online.com)

Tidak ada komentar: