Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sahara Megawati, Sabana Istana

Oleh Indra J Piliang *
Spirit NTT 7-13 Januari 2008

KEHADIRAN Megawati Soekarnoputri di tengah-tengah masyarakat mengundang kontroversi. Padahal, tidak ada yang salah dan keliru dari kehadiran itu. Sama tidak ada yang patut ditafsirkan lainnya ketika Wakil Presiden dan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla melakukan silaturahmi selama masa lebaran. Atau ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumpulkan jajaran pengurus Partai Demokrat. Megawati, Kala, dan Yudhoyono adalah entitas politik, sehingga ketika ketiganya memberikan pernyataan-pernyataan politik adalah bagian dari proses demokratisasi.
Hal yang kurang tepat adalah bagaimana Juru Bicara Presiden Andi Alifian Mallarangeng memberikan pertanyaan retoris kepada wartawan tentang apa yang dilakukan oleh Megawati. 'Nah,sekarang saya tanya, siapa yang melakukan tebar pesona?. Sebagai seorang yang juga sibuk dengan pencitraan sosok Yudhoyono supaya tampil baik di mata publik, pola menyerang yang dilakukan itu tidaklah tepat. Kritik yang dilakukan Megawati selama ini lebih dilihat sebagai political control, serta tentu tidak bisa ditempatkan dalam ranah eksekutif.
Kalau ada pihak yang mengimbau agar Megawati berbuat sesuatu mengatasi masalah-masalah yang dilihatnya, juga sama anehnya dengan meminta para kritikus sastra untuk menulis sebuah novel atau kritikus politik untuk menjadi politikus. Megawati tidak menempati posisi sebagai seorang eksekutif atau pemerintah. Dia hanya seorang ketua umum partai politik yang memiliki anggota, konstituen, dan simpatisan di eksekutif (daerah) dan legislatif. Dia tentu punya kebijakan tersendiri atas perjalanan dan kinerja partainya. Tentu dia juga boleh dan sah menggalang kekuatan-kekuatan protes di masyarakat untuk meningkatkan popularitas partainya.
Asal tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang melanggar hukum positif, apa pun yang dilakukan oleh Megawati adalah sah.
***
Barangkali, kontroversi yang mencuat lebih disebabkan oleh tidak adanya saluran komunikasi yang efektif antara pemerintah di satu pihak, dengan kelompok oposisi di pihak lain. Pola komunikasi yang dilakukan Megawati selama berkunjungan ke sejumlah daerah jelas mempertanyakan kinerja Yudhoyono kepada publik. Dia mengingatkan publik atas pilihan yang 'keliru' di tahun 2004, pilihan atas Yudhoyono, sehingga keadaan tidak bertambah baik. Dia mengonfirmasi sejumlah rekomendasi resmi PDI Perjuangan dalam Rakernas Bali dan Jakarta. Dengan cara itu pula, Megawati menawarkan pilihan, yakni dirinya, dalam Pemilu 2009 nanti.
Sebagai seseorang yang sudah menyatakan secara terbuka kesanggupannya untuk menjadi calon Presiden Republik Indonesia 2009-2014, Megawati tentu menggerakkan seluruh energi partai politiknya guna mewujudkan tujuan-tujuan politik itu. Kerumunan massa dalam jumlah banyak pada setiap kehadiran Megawati juga menunjukkan bahwa suara-suara yang kecewa kepada Yudhoyono bisa diwadahi (kembali) oleh Megawati. Karena masyarakat tidak lagi mempunyai banyak pilihan dalam pemilihan presiden nanti, pola komunikasi head to head antara Megawati dengan Yudhoyono ini tentu efektif. Persoalannya,Yudhoyono tidak dalam posisi bisa menjawab langsung serangan-serangan Megawati ini, terutama karena penilaian subyektif bahwa justru itu akan mengundang polemik.
Polemik yang berlebihan hanya akan mengganggu konsentrasi pemerintahan. Yudhoyono memang tidak memiliki pesona dalam hal komunikasi, terutama dengan mimik muka yang khas didikan perwira militer di Magelang.
Ia tidak bisa memperlakukan kritik secara humoris. Maka, ketegangan politik sebetulnya lebih banyak dipicu oleh reaksi balik pihak Istana, termasuk dan terutama sekali oleh tanggapan-tanggapan yang dilakukan oleh unsur Partai Demokrat. Para petinggi Partai Demokrat yang mencoba membandingkan prestasi Yudhoyono dengan masa pemerintahan Megawati justru sedang menampar angin. Bagaimana tidak, ökehancuranö pemerintahan Megawati yang digambarkan oleh Partai Demokrat bukankah juga mengikutkan Yudhoyono dan Kalla dalam Kabinet Gotong Royong?
***
Megawati mungkin sedang mengejar padang sahara-panas, kering, dan kerontang untuk menemukan sabana, padang rumput yang hijau dan berair.
Dalam perjalanan itu, dia menemukan banyak keluhan, pendapat dan harapan dari masyarakat bawah. Dalam titik ini, Megawati mestinya tidak lantas dianggap mencari popularitas murahan. Sebagai incumbent, Yudhoyono malahan mempunyai lebih banyak keistimewaan. Dia bisa menggerakkan birokrasi untuk mencari padang tertandus sekalipun dan sabana tersubur sekaligus. Yudhoyono juga terlihat di tendatenda pengungsi, pasar, terminal, juga rumah-rumah penduduk. Hanya, ketika Yudhoyono datang,dia seperti langsung terlihat tidak berdaya, justru karena otoritas kekuasaan yang dikendalikannya terlalu besar.Yang muncul adalah gugatan dan tudingan atas kelambanan kinerja pemerintahan akibat penggunaan otoritas yang tidak maksimal itu.
Lain halnya dengan Megawati yang dianggap tidak memiliki kekuasaan apa-apa, partainya menjadi oposisi, serta tidak menempatkan menteri di Kabinet Indonesia Bersatu. Laporan kinerja anggota legislatifnya juga disampaikan lewat iklan di media, walau menyentuh lapisan-lapisan masyarakat tertentu saja. Dengan cara itu, Megawati malah meraih simpati. Pihak Istana mestinya tidak menanggapi langkah-langkah Megawati dengan gusar. Kebebasan pers bisa dijadikan sebagai alat perekam tentang apa yang disampaikan oleh masyarakat kepada Megawati.
Dengan komunikasi terbuka yang dilakukan Megawati,seluruh informasi dari perjalanan Megawati juga menjadi informasi yang diketahui oleh pihak Istana. Pengaduan masyarakat ke Megawati bisa langsung mendapatkan respons dari pihak Istana atau aparatur pemerintahan lainnya. Jadi,sahara Megawati juga bisa menjadi sabana Istana, kalau kedua pihak bisa saling secara positif menilai dan memaknai langkah masing-masing.Tidak boleh ada lagi pihak yang terlalu sensitif pada kritik, apalagi kalau itu hanya menyangkut soal-soal sepele: kekuasaan. Yang harus dikhawatirkan adalah nasib manusia-manusia Indonesia yang kian terpuruk, berkubang kebodohan dan kemiskinan. *
*Penulis, Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta, dikutip dari Koran Sindo. (Bentara Online.com)

Tidak ada komentar: