Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Perempuan Insana, berkarya sebagai pelayan dan guru

Spirit NTT, 31 Desember 2007 - 6 Januari 2008

AWAN gelap membungkus angkasa wilayah itu. Di kejauhan terdengar petir yang menggemuruh, pertanda hujan lebat segera mengguyur dan membasahi bumi. Beberapa warga desa bergegas beriringan kembali ke pemukiman, yang lelaki menjepit parang dalam sarung dengan seikat kayu kering di pundaknya, sedangkan para wanita menjunjung bakul dengan sebatang kayu tugal (alat tanam) di pundak pula. Pemandangan itu adalah ciri khas dari petani Timor menyambut awal-awal musim hujan.
Menebang, membakar, membalik tanah serta menanam adalah warisan leluhur yang rutin dilaksanakan turun-temurun untuk mempertahankan hidup dari ancaman lapar dan musnah. Umumnya petani adalah sama, yakni mengolah tanah jadi hasil, perbedaaan cara pengolahan ladang tergantung pada sumber daya manusia masing-masing keluarga tani.
Hari itu, Selasa (18/12/2007), di dalam sebuah lopo (bangunan aula orang Timor) seorang wanita bersama dua anaknya duduk tenang seolah tidak terpengaruh dengan fenomena alam yang hampir menggelapkan wilayah mereka. Wanita separuh baya itu terus berkonsentrasi menyulam tenunan selendang buna yang menjadi primadona industri kerajinan wanita suku Insana.
Wanita itu bernama Helena Afoan, warga Desa Kiupasan, Kecamatan Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Ny. Helena adalah istri dari Lambertus Abel seorang petani tulen non aparat di desa tersebut.
Sekilas terlihat kehidupan keluarga itu sangat sederhana. Selain bertani, keluarga kecil itu juga memelihara beberapa jenis ternak besar. Hal ini terlihat dari sebuah kandang sapi tradisional berdiameter lima meter yang dibangun tidak jauh dari tiris lopo tempat Ny. Helena menenun.
"Tenunan ini untuk dipakai anak-anak, tetapi kalau tidak ada uang, maka saya jual di pasar dengan harga tergantung kesepakatan. Kain buna biasanya mahal tetapi bagi saya yang penting kainnya laku. Bahan bakunya tidak terlalu mahal, hanya waktu pengerjaannya saja yang lama. Selembar kain bisa saya selesaikan dalam waktu 4-5 bulan. Pekerjaan ini adalah tambahan saja ketika mengisi waktu luang. Yang utama bagi saya adalah membantu suamiku bekerja di kebun dan mengurus anak serta kegiatan dapur. Sebagai istri petani di sini, tiada lain yang kami kerjakan selain bantu suami dan mencari penghasilan tambahan seperti menenun dan menjual hasil kebun dan ternak seperti pisang, mangga, mentek dan ayam," jujur Ny. Helena malu-malu.
Kepolosan ibu dua anak ini menandakan keterbatasan kreatif wanita desa dalam menyiasati hidup. Kungkungan tradisi adalah hal yang mutlak dilaksanakan. Menjadi istri petani Timor adalah menjaga anak, bekerja di dapur dan melayani suami. Di luar itu adalah tabu, kalau ada inisiatif lain pasti menjadi bahan gunjingan lingkungan sekitar.
Kesetaraan atau yang lasim disebut gender, dalam bayangan Ny. Helena masih jauh dari jangkauan. Secara kodrati seorang istri orang Timor adalah sosok setia yang harus berada di belakang suami. Keterbatasan SDM dan kestabilan mental sebagian wanita pedesaan, belum siap untuk berdiri atau duduk sejajar di samping suami, seperti yang dipertontonkan disaat menyalami para undangan ketika pasangan suami istri menikah.
"Menjadi istri orang kecil, rutinitas kami seperti ini, tidak bisa pergi jauh meninggalkan suami dan anak-anak untuk sebuah pekerjaan. Pada umumnya partisipasi kami sebagai wanita di sini tidak lebih dari kesibukan di dapur dan duduk mendengar diskusi para suami kalau ada acara adat atau pertemuan lainnya," tambah Ny. Helena, ibu dari Maria Teur (9) dan Yohanes Sio (4).
Ny. Helena adalah salah satu potret wanita Insana di antara ribuan wanita lainnya di wilayah tersebut. Gender bagi wanita Insana adalah terbuka dan melayani dengan kasih, mengalah dan gesit mengasapi dapur. Prinsip mereka adalah laki-laki adalah sosok pekerja perintis atau pekerja kasar, sedangkan wanita adalah pekerja kedua yang berfungsi sebagai pengindah karya awal sang suami. Diskusi suami dan istri hanya bisa dilakukan ketika menjelang tidur, itupun disampaikan dalam suara yang perlahan mengumpan kantuk. Tempat tidur menjadi tempat aman untuk melakukan diskusi keluarga.
Waktu menunjukkan hampir pukul 13.00 wita, awan gelap yang masih menggantung di angkasa daerah Insana, belum juga menurunkan hujan. Ny. Helena nampak sudah gelisah dalam keterlibatan diskusi kecil dengan dua wartawan yang bertamu di kediamannya siang itu. Ny. Helena terus memandang ke dapur, rupanya ibu itu hendak memasak untuk menanti suaminya datang dari kebun. Sulaman kain buna yang melingkar di punggungnya telah dilepaskan, bersamaan itu pula muncul dari timur sosok suaminya yang tersenyum kepada wartawan. Kesetaraan bagi keluarga ini masih gelap dibungkus minusnya sumber daya wanita, segelap suasana daerah itu yang terus dibungkus awan gelap dari angkasa.
Istri adalah guru anak-anak
Dalam tatanan budaya suku Insana, wanita adalah pelayan suami yang setia dan penentu kesuksesan keluarga secara tersembunyi. Wanita hanya diberi peran dibelakang layar, pendorong suami dan pengayom anak-anak. Menjadi wanita adalah menjadi manusia kelas dua yang dimunculkan apabila manusia kelas satunya berhalangan atau meninggal.
Anak perempuan tidak perlu disekolahkan setinggi-tingginya apabila dalam sebuah keluarga ada anak laki-laki. Karena anak perempuan akan berpindah hidup bersama suaminya dan tentunya bukan menjadi penerus marga atau suku. Anak perempuan cukup dididik untuk mengetahui pekerjaan rumah tangga, dipersiapkan untuk menjadi istri orang dengan konsekwensi belis yang mengikat.
Kendati menjadi manusia kelas dua, wanita adalah mesin pekerja rumah tangga mulai dari matahari terbit hingga malam membungkus bumi. Sekilas semua pekerjaan wanita tidak terlalu berat namun rutinitasnya sambung-menyambung itu yang melelahkan. Gender bagi mereka adalah cukup dengan hidup terbuka suami istri. Sang suami yang menjadi simbol kekuatan rumah tangga tidak dibisa dikangkangi oleh sang istri yang menjadi simbol kasih sayang keluarga.
Bagi seorang tokoh adat Oelolok-Insana, Benyamin Djuki (73), seorang istri adalah guru besar bagi anak-anak yang dilahirkan. Istri menjadi guru bahasa, guru moral alias tatakrama, guru lingkungan hidup/kesehatan yang siap ajar tanpa gaji selama 24 jam hingga anak-anak dewasa.
"Istri saya adalah tambatan jiwaku, ke mana pun saya pergi saya pasti kembali karena hatiku dititipkan padanya. Istriku juga menjadi guru besar bagi anak-anak kami. Alhasil kini kami menjadi kakek dan nenek bagi 10 anak dan 30 cucu. Gender bagi kami cukup dengan hidup terbuka dan saling mengerti menerima kekurangan dan kelebihan. Dulu istriku adalah seorang guru sekolah dasar, namun karena tidak ada yang bisa ngurus anak-anak, maka secara sepakat istriku mundur dari profesi itu dan menjadi guru keluarga saja. Prinsip kami menjalani bahtera rumah tangga adalah harus siap berkorban. Kalau bukan suami maka istri. Anak yang dilahirkan karena cinta suami istri tidak boleh menjadi korban dan dibesarkan ditangan sanak famili atau pembantu. Kami jalani dengan cinta karena itu pengorbanan istriku adalah kemuliaan kami. Saya sangat bangga dengan istriku kendati kami kini sudah jompo," tutur kakek Djuki tersenyum.
Terus kibarkan bendera gender
Kecerahan gender masih dikungkungi kabut tatanan adat yang mentradisi dalam habitat tradisional masing-masing suku di daratan Timor. Tidak gampang menuntun dan mengarahkan pikiran fanatik lelaki Timor yang tersistem memberi belis untuk menguasai bukan untuk dikuasai. Seiring dengan itu para pendekar gender terus mengibarkan bendera perjuangan dan maju setapak demi setapak merebut tempat yang sepadan dengan lelaki.
Tercuat dalam sosialisasi dan diskusi berbagai stakeholders gender di Restoran Litani, Rabu (12/12/2007), yang diselenggarakan Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan RI dan Kantor Pemberdayaan Perempuan Kabupaten TTU. Tradisi yang menekan kebebasan perempuan terus dilitanikan dan mencari solusi yang bernuansa win-win solution (saling mendukung). Suara dari LSM, pemerintahan hingga Deputi Pemberdayaan Perempuan Jakarta, Ibu Erni Racmawati, Ibu Nuranah, Bapak Kartono dan Kepala Bagian Pemberdayaan Perempuan TTU, Ny. Marselina Sumu diikrarkan dengan satu tekad, laki-laki dan perempuan memang beda tetapi bukan untuk dibeda-bedakan dalam segala hal.
Kiprah gender telah lama dikumandangkan, sejagat nusantara telah mendengar dan mengetahui apa itu gender. Hasilnya tidak sedikit wanita telah memegang peranan penting dalam kursi legislatif, eksekutif, yudikatif, LSM dan organisasi swasta lainnya. Suara wanita telah mendapat tempat dan terkadang menjadi pamungkas sebuah kebuntuan diskusi dalam sidang.
Pemberontakan jiwa wanita telah menjadi warna dalam lingkungannya. Semuanya membutuhkan kesadaran dalam cinta, anak laki atau perempuan adalah buah cinta yang perlu diperlakukan sama. Biarkanlah wanita berkarir setinggi mungkin. Sebagai orang tua, suami atau rekan kerja perlu merasa bangga dan berbesar hati. Putriku atau istriku atau saudariku telah mengukir prestasi sama seperti saudaranya.
Hujan rintik-rintik telah turun, tak berselang hujan lebatpun mengguyur bumi meninggalkan kubangan air dan lumpur di mana-mana. Awan yang tadinya gelap kini telah sirna, seiring dengan berhentinya hujan. Matahari telah memancarkan sinarnya, daerah itupun telah berubah terang, secerah gemuruh gender yang perlahan pasti telah menarik banyak simpati dan perubahan.
Ny. Helena dan Bapak Benyamin Djuki adalah dua sosok polos orang Timor yang patut diperhatikan dan ditiru. Gender di pedesaan tidak bisa diterapkan absolut tetapi stap by stap, itulah bayangan dalam benak penulis ketika beranjak pulang kandang. (judith lorenzo taolin)

Tidak ada komentar: