Spirit NTT, 8-15 Oktober 2007
PANTI Asuhan Sola Gracia terletak di Desa Dualaus, Kecamatan Lakaritirai, Kabupaten Belu, hingga kini telah menampung 52 anak yatim-piatu dan tak mampu.
Beratap daun gebang, berdinding bebak namun tidak rapat, berlantaikan tanah, tak berjendela, pintunya pun terbuat dari rangkaian bebak (pelepah gebang, Red), lebih mirip gubuk dibanding rumah layak huni terletak di tengah-tengah kamp Lakafehan.
Jika kita melintasi ruas jalan utama ke Atapupu tepatnya di wilayah Desa Dualaus, di sebelah kiri jalan sekitar 40 meter dari SDK Lakafehan terlihat sebuah papan hitam yang menunjukkan lokasi sebuah panti asuhan. Panti Asuhan itu bernama Sola Gracia. Mungkin dalam benak hampir semua orang yang mendengar kata panti asuhan, maka yang terlintas dalam alam pikirnya adalah sebuah kompleks dengan beberapa gedung di dalamnya, berpagar, mempunyai sarana-sarana bermain anak-anak dan sebagainya. Hal ini juga yang saya alami ketika memutuskan untuk meliput soal keberadaan panti asuhan Sola Gracia ini. Namun kenyataan yang ditemui justeru bertolak belakang dengan apa yang saya dan mungkin kebanyakan orang bayangkan.
Bangunan itu beratapkan daun gebang, dindingnya dari bebak. Di pintu pagarnya terpancang papan nama panti. Halamannya bersih dari rumput liar. Ternyata ada dua bangunan kecil satunya adalah kantor dan juga rumah tinggal pemilik dan pengelola panti, satunya lagi digunakan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat belajar anak-anak panti asuhan Sola Gracia.
Saat kami tiba, disambut Bapak Jose Soares, Ketua Pembina Yayasan Sola Gracia. Bapak berumur 49 tahun ini berasal dari Liquica-Timor Timur yang turut mengungsi ke Timor Barat bersama ratusan ribu warga Timor Timur pasca konflik jajak pendapat 1999 lalu. Panti Asuhan Sola Gracia bernaung di bawah yayasan ini.
Kamipun dipersilahkan duduk, setelah memperkenalkan diri dan mengisi buku tamu, Nato menceritakan maksud kedatangan kami siang itu, sedangkan saya asyik mengamati keadaan sekeliling panti itu, bangunan panti terdiri dari tiga bagian, pertama ruang tamu merangkap ruang belajar dan ruang makan penghuni panti, kedua kamar tidur anak-anak perempuan dan ketiga kamar tidur anak laki-laki. Di ruang tamu yang multi fungsi itu terpampang Peta Indonesia, di sebelahnya digantung sebuah papan tulis tepat dibawah papan tulis itu ada sebuah meja kayu yang cukup besar yang digunakan sebagai meja belajar diatas terdapat sebuah wadah plastik berisi air dengan seekor ikan di dalamnya, pada bagian dinding yang lain ada peta sederhana Desa Dualaus dan bagan struktur pengurus Yayasan Sola Gracia.
Cuaca panas menjadi tak terasa selain karena saya lebih berkonsentrasi pada keadaan sekliling ruang juga karena perlindungan dari atap daun gebang dan semilir angin yang masuk melalui celah dinding bebak panti. Dalam hati saya bertanya-tanya bagaimana tidur anak-anak ini saat musim hujan tiba? Namun pikiran itu tak bertahan lama, karena acungan tangan dari seorang gadis cilik mengajak bersalaman dan mencium tangan saya. Gadis cilik bernama Duarda da Costa, ia berumur delapan tahun, saat ini duduk di kelas satu SD I Fatu Atis.
Sejak 2004
Sesuai akte notaris Nomor 37 tertanggal 28 Juli 2004 yang disahkan di Pengadilan Negeri Klas IB Atambua pada tanggal 03 Agustus 2004, Panti Asuhan Sola Gracia berdiri pada tanggal 27 juni 2004. Menurut Jose Soares, pendirian panti ini awalnya merupakan ide dari putri sulungnya, Loumesa Hari Soares. Saat itu, ia masih kuliah di STT Pryago Jakarta. Sambil kuliah, Loumesa juga bekerja di Yayasan Mahanaem pada divisi anak jalanan.
"Waktu itu dia kasih tahu lewat telepon," tutur Jose. Iapun menyetujui ide itu karena menurutnya ide pendirian panti ini sesuai dengan dorongan hati nuraninya melihat kondisi pendidikan anak-anak eks pengungsi. "Mereka ini hidup susah ketika mengungsi, ada yang tidak membawa apa-apa, sebagian besar petani penggarap, tinggalpun menumpang di tanah orang. Nah, apalagi dengan pendidikan anak-anak mereka," lanjut Jose dengan nada tanya. Ia bersyukur karena sekalipun mengungsi, namun masih tetap menerima gaji sebagai seorang anggota polisi sehingga ia bisa membiayai anaknya hingga ke bangku perguruan tinggi.
Dengan keyakinan inilah, setelah Loumesa menyelesaikan kuliahnya pada tahun 2004 lalu, ia mulai mengurus proses pendirian panti ini. Sebagai modal awal ia meminjam uang dari bank sebesar 18,5 juta rupiah. Uang itu digunakan untuk biaya administrasi pengurusan akta pendirian Panti Asuhan Sola Gracia, pembelian tanah untuk bangunan panti dan modal awal pendirian panti (untuk pendirian panti ini dalam akta notaris, modal awalnya sebesar 10 juta rupiah). Hingga kini, ia masih terus mencicil pengembaliannya dengan memotong gaji setiap bulan.
Karena ingin lebih berkonsentrasi pada pengelolaan panti di samping tekanan darah tinggi yang dideritanya, ia memutuskan untuk mengajukan permohonan pensiun dini, namun hingga kini permohonannya belum dikabulkan. Awal berdirinya panti ini di Leosama karena sebelumnya mereka menetap di Desa Leosama, saat itu jumlah anak asuh sebanyak enam orang.
Berdiri di atas tanah sendiri
Dengan modal awal panti tersebut, Jose dan anaknya mencari sebidang tanah untuk lokasi baru Panti Asuhan Sola Gracia. Di Desa Dualaus mereka mendapatkan sebidang tanah dengan luas 30 x30 m seharga tiga juta rupiah. Di atas tanah ini dua bangunan sederhana, sekretariat merangkap rumah tinggal Jose sekeluarga dan asrama panti asuhan Sola Gracia.
Saat ini, untuk perbaikan bangunan panti telah dibangun pondasi, namun belum dilanjutkan karena kendala biaya. "Itu pak, pondasi sudah dibangun, ada empat ruangan rencananya, ruang tidur dua ruang, ruang makan dan ruang belajar," ujar Jose sambil menunjuk pondasi yang terletak di halaman depan seketariat panti.
Anak usia sekolah yang ditampung di panti asuhan Sola Gracia saat ini berjumlah 52 orang, 35 anak perempuan dan 17 anak laki-laki dari maslok maupun eks pengungsi.
Tingkat pendidikan merekapun bervariasi, dari kelas satu SD hingga kelas tiga SMP. "Hanya satu anak saja yang duduk di kelas tiga SMP, yang lainnya masih duduk di bangku SD. Sebenarnya kami belum bisa tampung yang tingkat SMP karena keterbatasan sumber daya, namun karena waktu kedua orang tuanya sudah meminta untuk diterima ya kami mau bilang apalagi, apalagi kedua orang tuanya ini sudah tergolong lansia," ungkap Loumesa Hari Soares (22) yang mendapatkan gelar sarjana theologinya tahun lalu ini sambil sesekali mengusap rambutnya. Selain itu, panti asuhan ini juga melakukan bimbingan mental dan kerohanian kepada 80 anak terlantar dua kali setiap bulan. (volkes fehanoan)
Beratap daun gebang, berdinding bebak namun tidak rapat, berlantaikan tanah, tak berjendela, pintunya pun terbuat dari rangkaian bebak (pelepah gebang, Red), lebih mirip gubuk dibanding rumah layak huni terletak di tengah-tengah kamp Lakafehan.
Jika kita melintasi ruas jalan utama ke Atapupu tepatnya di wilayah Desa Dualaus, di sebelah kiri jalan sekitar 40 meter dari SDK Lakafehan terlihat sebuah papan hitam yang menunjukkan lokasi sebuah panti asuhan. Panti Asuhan itu bernama Sola Gracia. Mungkin dalam benak hampir semua orang yang mendengar kata panti asuhan, maka yang terlintas dalam alam pikirnya adalah sebuah kompleks dengan beberapa gedung di dalamnya, berpagar, mempunyai sarana-sarana bermain anak-anak dan sebagainya. Hal ini juga yang saya alami ketika memutuskan untuk meliput soal keberadaan panti asuhan Sola Gracia ini. Namun kenyataan yang ditemui justeru bertolak belakang dengan apa yang saya dan mungkin kebanyakan orang bayangkan.
Bangunan itu beratapkan daun gebang, dindingnya dari bebak. Di pintu pagarnya terpancang papan nama panti. Halamannya bersih dari rumput liar. Ternyata ada dua bangunan kecil satunya adalah kantor dan juga rumah tinggal pemilik dan pengelola panti, satunya lagi digunakan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat belajar anak-anak panti asuhan Sola Gracia.
Saat kami tiba, disambut Bapak Jose Soares, Ketua Pembina Yayasan Sola Gracia. Bapak berumur 49 tahun ini berasal dari Liquica-Timor Timur yang turut mengungsi ke Timor Barat bersama ratusan ribu warga Timor Timur pasca konflik jajak pendapat 1999 lalu. Panti Asuhan Sola Gracia bernaung di bawah yayasan ini.
Kamipun dipersilahkan duduk, setelah memperkenalkan diri dan mengisi buku tamu, Nato menceritakan maksud kedatangan kami siang itu, sedangkan saya asyik mengamati keadaan sekeliling panti itu, bangunan panti terdiri dari tiga bagian, pertama ruang tamu merangkap ruang belajar dan ruang makan penghuni panti, kedua kamar tidur anak-anak perempuan dan ketiga kamar tidur anak laki-laki. Di ruang tamu yang multi fungsi itu terpampang Peta Indonesia, di sebelahnya digantung sebuah papan tulis tepat dibawah papan tulis itu ada sebuah meja kayu yang cukup besar yang digunakan sebagai meja belajar diatas terdapat sebuah wadah plastik berisi air dengan seekor ikan di dalamnya, pada bagian dinding yang lain ada peta sederhana Desa Dualaus dan bagan struktur pengurus Yayasan Sola Gracia.
Cuaca panas menjadi tak terasa selain karena saya lebih berkonsentrasi pada keadaan sekliling ruang juga karena perlindungan dari atap daun gebang dan semilir angin yang masuk melalui celah dinding bebak panti. Dalam hati saya bertanya-tanya bagaimana tidur anak-anak ini saat musim hujan tiba? Namun pikiran itu tak bertahan lama, karena acungan tangan dari seorang gadis cilik mengajak bersalaman dan mencium tangan saya. Gadis cilik bernama Duarda da Costa, ia berumur delapan tahun, saat ini duduk di kelas satu SD I Fatu Atis.
Sejak 2004
Sesuai akte notaris Nomor 37 tertanggal 28 Juli 2004 yang disahkan di Pengadilan Negeri Klas IB Atambua pada tanggal 03 Agustus 2004, Panti Asuhan Sola Gracia berdiri pada tanggal 27 juni 2004. Menurut Jose Soares, pendirian panti ini awalnya merupakan ide dari putri sulungnya, Loumesa Hari Soares. Saat itu, ia masih kuliah di STT Pryago Jakarta. Sambil kuliah, Loumesa juga bekerja di Yayasan Mahanaem pada divisi anak jalanan.
"Waktu itu dia kasih tahu lewat telepon," tutur Jose. Iapun menyetujui ide itu karena menurutnya ide pendirian panti ini sesuai dengan dorongan hati nuraninya melihat kondisi pendidikan anak-anak eks pengungsi. "Mereka ini hidup susah ketika mengungsi, ada yang tidak membawa apa-apa, sebagian besar petani penggarap, tinggalpun menumpang di tanah orang. Nah, apalagi dengan pendidikan anak-anak mereka," lanjut Jose dengan nada tanya. Ia bersyukur karena sekalipun mengungsi, namun masih tetap menerima gaji sebagai seorang anggota polisi sehingga ia bisa membiayai anaknya hingga ke bangku perguruan tinggi.
Dengan keyakinan inilah, setelah Loumesa menyelesaikan kuliahnya pada tahun 2004 lalu, ia mulai mengurus proses pendirian panti ini. Sebagai modal awal ia meminjam uang dari bank sebesar 18,5 juta rupiah. Uang itu digunakan untuk biaya administrasi pengurusan akta pendirian Panti Asuhan Sola Gracia, pembelian tanah untuk bangunan panti dan modal awal pendirian panti (untuk pendirian panti ini dalam akta notaris, modal awalnya sebesar 10 juta rupiah). Hingga kini, ia masih terus mencicil pengembaliannya dengan memotong gaji setiap bulan.
Karena ingin lebih berkonsentrasi pada pengelolaan panti di samping tekanan darah tinggi yang dideritanya, ia memutuskan untuk mengajukan permohonan pensiun dini, namun hingga kini permohonannya belum dikabulkan. Awal berdirinya panti ini di Leosama karena sebelumnya mereka menetap di Desa Leosama, saat itu jumlah anak asuh sebanyak enam orang.
Berdiri di atas tanah sendiri
Dengan modal awal panti tersebut, Jose dan anaknya mencari sebidang tanah untuk lokasi baru Panti Asuhan Sola Gracia. Di Desa Dualaus mereka mendapatkan sebidang tanah dengan luas 30 x30 m seharga tiga juta rupiah. Di atas tanah ini dua bangunan sederhana, sekretariat merangkap rumah tinggal Jose sekeluarga dan asrama panti asuhan Sola Gracia.
Saat ini, untuk perbaikan bangunan panti telah dibangun pondasi, namun belum dilanjutkan karena kendala biaya. "Itu pak, pondasi sudah dibangun, ada empat ruangan rencananya, ruang tidur dua ruang, ruang makan dan ruang belajar," ujar Jose sambil menunjuk pondasi yang terletak di halaman depan seketariat panti.
Anak usia sekolah yang ditampung di panti asuhan Sola Gracia saat ini berjumlah 52 orang, 35 anak perempuan dan 17 anak laki-laki dari maslok maupun eks pengungsi.
Tingkat pendidikan merekapun bervariasi, dari kelas satu SD hingga kelas tiga SMP. "Hanya satu anak saja yang duduk di kelas tiga SMP, yang lainnya masih duduk di bangku SD. Sebenarnya kami belum bisa tampung yang tingkat SMP karena keterbatasan sumber daya, namun karena waktu kedua orang tuanya sudah meminta untuk diterima ya kami mau bilang apalagi, apalagi kedua orang tuanya ini sudah tergolong lansia," ungkap Loumesa Hari Soares (22) yang mendapatkan gelar sarjana theologinya tahun lalu ini sambil sesekali mengusap rambutnya. Selain itu, panti asuhan ini juga melakukan bimbingan mental dan kerohanian kepada 80 anak terlantar dua kali setiap bulan. (volkes fehanoan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar