Spirit NTT 31 Desember 2007 - 6 Januari 2008
DAERAH ini banyak mendapat sentuhan religius. Raja Don Loreno Usineno II, raja kesepuluh Larantuka, pada tanggal 8 September 1886, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka. Sejak itulah wilayah ini dikenal dengan sebutan Reinha Rosari.
Wilayah Flores Timur yang memiliki tiga gugusan pulau, yaitu Pulau Flores, Adonara dan Solor, kerap diterpa bencana. Tidak hanya banjir, gempa, dan letusan gunung, kekeringan juga kerap dialami warga di daerah ini. Karena itu, tanaman bahan pangan rentan terancam gagal panen. Kini, bencana angin kencang kembali melanda bumi Reinha ini.
Tanaman pangan hingga kini menjadi penyumbang utama gerak perekonomian. Ubi kayu yang mempunyai hasil panen terbesar menghasilkan 22.336 ton pada tahun 2002, meningkat 4.858 ton dari tahun sebelumnya. Diikuti jagung sebanyak 18.948 ton dan padi di urutan ketiga, 14.093 ton.
Hasil panen padi tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat setempat. Alam menjadi faktor utama. Musim kemarau berkepanjangan hingga berlangsung 7-8 bulan dan banjir kerap menjadi kendala gagal panen produksi pertanian.
Tidak hanya itu, badai angin di tahun 2000 menjadi penyebab turunnya sebagian besar hasil pertanian di tahun berikutnya. Kekurangan bahan pangan tersebut ditanggulangi dengan turun tangannya bantuan depot logistik dari Jawa, atau masyarakat sendiri melakukan substitusi ke makanan lain, seperti ubi kayu dan jagung.
Ubi kayu dikonsumsi seperti beras dengan cara ditumbuk. Jagung juga demikian, yang dikenal dengan jagung titi, makanan khas Flotim.
Dibandingkan tanaman pangan, tanaman perkebunan cenderung mampu lebih bertahan. Kelapa dan jambu mete adalah primadonanya. Hal ini tercermin dari stabilnya hasil panen. Pada tahun 2002 dihasilkan 8.748 ton kelapa dalam bentuk kopra yang berasal dari jenis kelapa dalam. Angka ini merupakan produksi tertinggi dalam empat tahun terakhir. Kopra dipasarkan ke Makassar dan Jawa melalui Surabaya.
Sayangnya, tidak demikian dengan jambu mete yang merupakan penghasil terbesar di Nusa Tenggara Timur. Hanya 176 ton jambu mete dipanen di tahun yang sama. Ini berarti melorot 97 persen dari tahun sebelumnya. Merosotnya atau 'melumpuhnya' hasil perkebunan ini disebabkan serangan hama helopeltis yang mematikan.
Kehadiran pohon mete mengubah wajah Flotim yang dikenal tandus, kering, dan gersang menjadi hijau.
Berawal dari pembudidayaan sekitar tahun 1973-1974 dengan satu ton benih yang didatangkan dari Yogyakarta. Kini perkebunan mete tersebar di tujuh kecamatan dengan sentra di Wulanggitang, Solor Barat, Larantuka, dan Solor Timur. Hasil panen dipasarkan dalam bentuk gelondongan ke Makassar dan Surabaya, serta diekspor ke India dan Jepang.
Meski Flotim mempunyai Pelabuhan Larantuka, ekspor mete ini dikirim melalui pelabuhan di Surabaya. Kebijakan ini tentunya berpengaruh pada harga jual. Jika harga mete dari tangan petani Rp 5.000 per kilogram, sampai di Surabaya harganya sudah mencapai Rp 12.000 per kilogram.
Panen mete yang berlimpah agaknya belum berpengaruh ke sektor industri. Hanya ada satu industri berbahan baku mete, yaitu industri pengupasan mete. Sementara kelapa baru diolah menjadi minyak kelapa lewat 332 industri pengolahan kelapa yang tersebar di enam kecamatan.
Industri terbesar ada di Kecamatan Larantuka, diikuti Adonara Barat dan Adonara Timur. Hasil pengolahan kelapa ini belum dapat menjadi komoditas perdagangan antarpulau karena hanya mampu memenuhi konsumsi lokal.
Industri skala menengah kecil merupakan industri yang marak berkembang. Terdapat 36 unit usaha formal yang menyerap 129 tenaga kerja dengan investasi Rp 692 juta.
Meski nilai investasi industri nonformal hanya sekitar 26 persen dari industri formal, industri ini mampu menyerap lebih dari sepuluh kali lipat tenaga kerja sektor formal yang terdiri dari 915 unit usaha.
Untuk skala yang cukup besar adalah perusahaan penangkap dan pengolahan ikan swasta seperti PT Mitramas dan PT Okishin Flores. Mereka memasarkan ikan tersebut ke Banyuwangi dan Makassar serta sebagian lainnya ke Jepang.
Perairan Flotim yang luasnya 4.170,53 kilometer persegi cukup potensial. Ditunjang dengan keberadaan tiga titik putaran arus yang menjadi tempat berkumpulnya ikan-ikan, yaitu di antara Larantuka dan Solor Barat, di Tanjung Bunga, serta di perairan di antara Ile Boleng, Solor Timur, dan Kabupaten Lembata.
Gerakan Masuk Laut (Gemala) pun kian gencar dicanangkan. Bahkan, pemerintah setempat mendatangkan pemancing dari Kendari yang dikenal profesional untuk melatih keterampilan menangkap ikan.
Hasilnya, 10.147 ton ikan ditangkap tahun 2002, atau naik 812 ton dari tahun sebelumnya. Ikan tongkol, tuna atau cakalang, selar, paperek, dan ekor kuning merupakan jenis-jenis ikan yang paling dominan. Ikan tersebut banyak terdapat di Adonara Timur dan Larantuka.
Data Dinas Perikanan menunjukkan, terdapat 3.883 rumah tangga nelayan dari 132.981 jiwa (atau 2,9 persen) di 119 desa pantai. Secara keseluruhan terdapat 6.630 nelayan dengan status 76,8 persen nelayan penuh, 14,8 persen nelayan sambilan tambahan, selebihnya nelayan sambilan utama. Konsentrasi nelayan ada di Kecamatan Solor Timur dan Larantuka. Hasil perikanan laut merupakan salah satu komoditas perdagangan antarpulau terbesar selain jambu mete dan kelapa.
Pelabuhan Larantuka menjadi akses utama. Lebih kurang dua kilometer dari tempat ini terdapat Pasar Larantuka yang merupakan basis perdagangan lokal. Tidak bersahabatnya alam daratan mendorong penduduk Flotim mencari potensi lain. Namun, tidak sedikit penduduk Flotim yang akhirnya memilih merantau ke negeri Sabah karena dianggap sebagai tambang emas. (sisilia srisuwastuti/kcm)
Wilayah Flores Timur yang memiliki tiga gugusan pulau, yaitu Pulau Flores, Adonara dan Solor, kerap diterpa bencana. Tidak hanya banjir, gempa, dan letusan gunung, kekeringan juga kerap dialami warga di daerah ini. Karena itu, tanaman bahan pangan rentan terancam gagal panen. Kini, bencana angin kencang kembali melanda bumi Reinha ini.
Tanaman pangan hingga kini menjadi penyumbang utama gerak perekonomian. Ubi kayu yang mempunyai hasil panen terbesar menghasilkan 22.336 ton pada tahun 2002, meningkat 4.858 ton dari tahun sebelumnya. Diikuti jagung sebanyak 18.948 ton dan padi di urutan ketiga, 14.093 ton.
Hasil panen padi tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat setempat. Alam menjadi faktor utama. Musim kemarau berkepanjangan hingga berlangsung 7-8 bulan dan banjir kerap menjadi kendala gagal panen produksi pertanian.
Tidak hanya itu, badai angin di tahun 2000 menjadi penyebab turunnya sebagian besar hasil pertanian di tahun berikutnya. Kekurangan bahan pangan tersebut ditanggulangi dengan turun tangannya bantuan depot logistik dari Jawa, atau masyarakat sendiri melakukan substitusi ke makanan lain, seperti ubi kayu dan jagung.
Ubi kayu dikonsumsi seperti beras dengan cara ditumbuk. Jagung juga demikian, yang dikenal dengan jagung titi, makanan khas Flotim.
Dibandingkan tanaman pangan, tanaman perkebunan cenderung mampu lebih bertahan. Kelapa dan jambu mete adalah primadonanya. Hal ini tercermin dari stabilnya hasil panen. Pada tahun 2002 dihasilkan 8.748 ton kelapa dalam bentuk kopra yang berasal dari jenis kelapa dalam. Angka ini merupakan produksi tertinggi dalam empat tahun terakhir. Kopra dipasarkan ke Makassar dan Jawa melalui Surabaya.
Sayangnya, tidak demikian dengan jambu mete yang merupakan penghasil terbesar di Nusa Tenggara Timur. Hanya 176 ton jambu mete dipanen di tahun yang sama. Ini berarti melorot 97 persen dari tahun sebelumnya. Merosotnya atau 'melumpuhnya' hasil perkebunan ini disebabkan serangan hama helopeltis yang mematikan.
Kehadiran pohon mete mengubah wajah Flotim yang dikenal tandus, kering, dan gersang menjadi hijau.
Berawal dari pembudidayaan sekitar tahun 1973-1974 dengan satu ton benih yang didatangkan dari Yogyakarta. Kini perkebunan mete tersebar di tujuh kecamatan dengan sentra di Wulanggitang, Solor Barat, Larantuka, dan Solor Timur. Hasil panen dipasarkan dalam bentuk gelondongan ke Makassar dan Surabaya, serta diekspor ke India dan Jepang.
Meski Flotim mempunyai Pelabuhan Larantuka, ekspor mete ini dikirim melalui pelabuhan di Surabaya. Kebijakan ini tentunya berpengaruh pada harga jual. Jika harga mete dari tangan petani Rp 5.000 per kilogram, sampai di Surabaya harganya sudah mencapai Rp 12.000 per kilogram.
Panen mete yang berlimpah agaknya belum berpengaruh ke sektor industri. Hanya ada satu industri berbahan baku mete, yaitu industri pengupasan mete. Sementara kelapa baru diolah menjadi minyak kelapa lewat 332 industri pengolahan kelapa yang tersebar di enam kecamatan.
Industri terbesar ada di Kecamatan Larantuka, diikuti Adonara Barat dan Adonara Timur. Hasil pengolahan kelapa ini belum dapat menjadi komoditas perdagangan antarpulau karena hanya mampu memenuhi konsumsi lokal.
Industri skala menengah kecil merupakan industri yang marak berkembang. Terdapat 36 unit usaha formal yang menyerap 129 tenaga kerja dengan investasi Rp 692 juta.
Meski nilai investasi industri nonformal hanya sekitar 26 persen dari industri formal, industri ini mampu menyerap lebih dari sepuluh kali lipat tenaga kerja sektor formal yang terdiri dari 915 unit usaha.
Untuk skala yang cukup besar adalah perusahaan penangkap dan pengolahan ikan swasta seperti PT Mitramas dan PT Okishin Flores. Mereka memasarkan ikan tersebut ke Banyuwangi dan Makassar serta sebagian lainnya ke Jepang.
Perairan Flotim yang luasnya 4.170,53 kilometer persegi cukup potensial. Ditunjang dengan keberadaan tiga titik putaran arus yang menjadi tempat berkumpulnya ikan-ikan, yaitu di antara Larantuka dan Solor Barat, di Tanjung Bunga, serta di perairan di antara Ile Boleng, Solor Timur, dan Kabupaten Lembata.
Gerakan Masuk Laut (Gemala) pun kian gencar dicanangkan. Bahkan, pemerintah setempat mendatangkan pemancing dari Kendari yang dikenal profesional untuk melatih keterampilan menangkap ikan.
Hasilnya, 10.147 ton ikan ditangkap tahun 2002, atau naik 812 ton dari tahun sebelumnya. Ikan tongkol, tuna atau cakalang, selar, paperek, dan ekor kuning merupakan jenis-jenis ikan yang paling dominan. Ikan tersebut banyak terdapat di Adonara Timur dan Larantuka.
Data Dinas Perikanan menunjukkan, terdapat 3.883 rumah tangga nelayan dari 132.981 jiwa (atau 2,9 persen) di 119 desa pantai. Secara keseluruhan terdapat 6.630 nelayan dengan status 76,8 persen nelayan penuh, 14,8 persen nelayan sambilan tambahan, selebihnya nelayan sambilan utama. Konsentrasi nelayan ada di Kecamatan Solor Timur dan Larantuka. Hasil perikanan laut merupakan salah satu komoditas perdagangan antarpulau terbesar selain jambu mete dan kelapa.
Pelabuhan Larantuka menjadi akses utama. Lebih kurang dua kilometer dari tempat ini terdapat Pasar Larantuka yang merupakan basis perdagangan lokal. Tidak bersahabatnya alam daratan mendorong penduduk Flotim mencari potensi lain. Namun, tidak sedikit penduduk Flotim yang akhirnya memilih merantau ke negeri Sabah karena dianggap sebagai tambang emas. (sisilia srisuwastuti/kcm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar