Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Menyelamatkan tarian Sumba dengan tari kreasi baru (2)

Spirit NTT 7-13 Januari 2008

TARIAN lain yang diciptakan Hendrik adalah kayarak yang berarti mendesir.
Tarian ini diilhami oleh naskah drama seorang budayawan lokal Yosef Pati Wenge (alm) yang berjudul Kembalikan Daku Sumba. Dalam naskah itu ada
syair berbunyi kapupu la ambangu, kayaraku la roti . . . (menggaung sampai ke Ambon, mendesir sampai ke Rote).
Tarian-tarian tersebut bersifat lebih dinamis dan modern dengan kostum yang sudah mendapat sentuhan-sentuhan baru. Hendrik mengakui, ada kesan bahwa
gerakan-gerakan asli tarian Sumba kurang bervariasi. "Saya berpikir ke depan harus ada tarian bersama atau tarian pergaulan. Tapi dasarnya harus tetap dipertahankan. Boleh ada macam-macam pengembangan tapi dasarnya harus tetap dipertahankan," ungkap Hendrik.
Saat ini Hendrik mengakui merancang tarian yang bisa melibatkan banyak orangseperti halnya poco-poco dari Manado atau ja'i dari Ngada-Flores yang saat
ini cukup banyak diminati anak-anak muda Sumba di samping dansa dan walsa.
Adat Sumba, menurut pria berumur 60 tahun ini, jika diamati secara seksama mengandung banyak makna yang sangat dalam. Banyak hal yang bisa membuat
orang guyub dalam hubungan, sigap dalam membantu, terampil kerja, dan mengandung pesan kalau menjadi pemimpin harus merangkul rakyat.
Dalam hubungan dengan kepemimpinan ada kata-kata magis dalam beberapa nyanyian seperti kita yang pilih pemimpin maka kita pun harus taat padanya (nyutta mapindi ya na kapala lupang makabidi ta manundu lai nyunna).
Tarian dan syair-syair lagu juga mengembuskan keutamaan-keutamaan hidup seperti kesabaran, tahan godaan dan takut akan Tuhan. "Di Sumba ini kan banyak upacara mulai dari kebun sampai ke kampung besar. Ada tarian-nyanyian di kampung dan di kebun. Semua itu memiliki makna sendiri-sendiri. Saat panen padi misalnya, orang menyanyikan lagu-lagu dengan syair penuh makna dan itu menjiwai hidup orang Sumba," jelas Hendrik lagi.
Saat ini banyak budaya itu yang telah menguap ditelan modernisasi. Hendrik menunjuk kehadiran alat perontok padi dan traktor telah menggusur kebiasaan
menyanyi sambil memetik dan injak padi (parina uhu) dan gotong- royong di antara warga.
Beberapa kampung seperti Lambanapu, Mauliru, Kadumbul (ketiganya terletak di pinggiran Kota Waingapu, Red) yang dalam waktu sangat panjang dikenal sebagai pusat-pusat kebudayaan, kini sudah sepi dari nyanyian panen dan kebiasaan injak padi bersama. Tradisi semacam ini hanya bisa ditemukan di gunung-gunung atau pedalaman. Bahkan di Lewa yang menjadi lumbung beras dan karenanya di tempat ini budaya menyanyi sambil panen berlangsung dengan ramaiĆ¹sudah sepi juga dari tradisi-tradisi tersebut.
Perjuangan Hendrik untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya leluhurnya melalui Sanggar Ori Angu bukan hal mudah. "Awalnya orang-orang larang anak-anak mereka. Mereka bilang, kulit mati itu bikin orang buang waktu," ungkap Hendrik menirukan ucapan mereka. Kulit mati yang dimaksud adalah kulit kerbau atau sapi yang menjadi bahan dasar pembuatan tambur, salah satu
alat utama dalam musik Sumba Timur.
Alasan utama masyarakat setempat tidak mengizinkan anak-anak mereka untuk ikut di sanggar adalah agar bisa membantu orang tua di kebun dan mencari rumput untuk ternak. Bagi mereka ikut di sanggar hanya membuang-buang waktu.
Saat itu seni belum menghasilkan uang. Tapi sekarang ceritanya sudah sedikit berbeda. Tidak heran SD Katolik Praikundu tempat istri Hendrik mengajar
berubah menjadi semacam pusat kebudayaan khusus untuk anak-anak.
"Orang tua mencintai sekolah ini. Mereka sangat ingin anak-anak mereka sekolah di sini agar pandai menari," kata Istri Hendrik, Yuli Emu, yang juga pandai menari dan menenun.
Saat ini anggota Ori Angu mencapai 50 orang. Peserta di sanggar ini berlatih secara gratis. Bagi Hendrik, ketiadaan uang tidak boleh menjadi penghalang
bagi seorang anak untuk belajar. Hendrik pernah mencoba untuk mengenakan iuran Rp 100,00/bulan untuk setiap peserta, namun tidak jalan. Latihan di
Ori Angu berlangsung setiap hari Jumat, pukul 16.00-19.00 wita.
"Anak-anak saya yang kadang jadi korban saya marah-marahin kalau ada peserta yang tidak datang. Mereka saya suruh pergi jemput," ungkapnya. Menjemput bisa dengan motor atau malah jalan kaki naik turun bukit atau menyeberang kali. Beberapa rumah sulit dijangkau dengan motor.
Kini, berkat adanya secercah perhatian pemerintah, Hendrik merasa mendapat semangat baru. Betapa tidak? Dalam rentang waktu panjang dia merasa seperti
menempuh 'jalan sunyi' seorang diri. "Saya pernah merasa sangat lebih dan ingin berhenti dan membubarkan Ori Angu," ungkapnya sambil menarik nafas dalam-dalam. Namun karena rasa cinta pada budaya nenek moyangnya itu muncul
dari jiwanya, rasa letih itu tidak mampu menguasai dirinya.
Pengamat budaya Sumba, Sylvia Asih Angreni (54) mengakui, nilai-nilai adiluhung dalam budaya Sumba. Menurutnya, meski Sumba terkenal feodal namun juga sangat demokratis. Dia menunjuk contoh kebiasaan duduk bersama di
bangga (balai-balai di teras rumah adat Sumba, tempat bermusyawah para pria, Red) untuk membicarakan dan menyelesaikan bersama sebuah masalah
sebagai contoh konkret.
"Hal ini harus dipelihara dengan baik," saran wanita lulusan sastra Inggris Universitas Satya wacana, Salatiga, Jawa Tengah, yang juga adalah istri dari Bupati Sumba Timur, Ir. Umbu Mehang Kunda, ini.
Bahkan nilai adiluhung itu seperti diungkapkan Umbu Hamakonda, seorang peminat budaya yang juga adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Sumba Timur,
sangat sangat luhur. Dia menunjuk contoh orang Sumba yang sangat menghargai perempuan. "Dulu, apapun yang diputuskan para bapak atau laki-laki harus
dikonsultasikan pada ibu. Kalau sang ibu katakan tidak, maka rencana batal," ungkapnya.
Filosofinya, segala sesuatu yang ada di rumah berada dalam pengawasan seorang ibu. Misalnya, ternak atau tenunan-tenunan. Umbu menyayangkan nilai-nilai itu kian hari kian memudar sehingga timbul kesan dan fakta baru bahwa orang Sumba tidak menghargai perempuan. "Sebenarnya penghargaan jender sudah berlangsung sejak zaman dulu tapi kemudian memudar. Ini pekerjaan berat ke depan," ungkap pria hitam manis ini.
Untuk mempertahankan tradisi-tradisi tersebut, Pemda Kabupaten Sumba Timur melalui Dinas Pariwisata mencanangkan berbagai program yang mendekatkan
kembali kebudayaan Sumba pada generasi muda. Selain itu, akan diadakan pengembangan aneka situs budaya yang dapat menarik banyak wisatawan.
"Kalau hal-hal ini berkembang dengan baik, maka rakyat yang akan merasakan akibat langsungnya. Kain tenun yang mereka buat misalnya, bisa langsung bisa dijual kepada turis. Hasilnya langsung mereka rasakan. Saya optimis dengan perkembangan dunia periwisata ke depan," ungkap Kepala Pariwisata Sumba Timur, Domu Warandoy, S.H, sambil menyebut aneka obyek wisata eksotis yang tersebar di seantero Sumba Timur. (emanuel dapaloka/habis)

Tidak ada komentar: