Spirit NTT, 8-15 Oktober 2007
KETIKA warga suatu desa terus bergerak, berpindah-pindah untuk mencari penghidupan mereka, itu adalah tantangan terbesar para bidan desa. Tidak mudah bagi bidan desa mengikuti ritme hidup para peladang berpindah di wilayah Kabupaten Sikka, khususnya di Kecamatan Talibura.
Dari 290.000 penduduk Kabupaten Sikka, sebanyak 20.000 jiwa adalah warga Desa Talibura, Kecamatan Talibura. Sebesar 80 persen penduduknya bermata pencaharian ladang berpindah, sedangkan 20 persen sisanya adalah nelayan yang tinggal di tepi pantai.
Para peladang berpindah ini hidup di wilayah perbukitan, dengan medan yang terbilang parah, naik turun, jalan yang berliku-liku, bertebing, dan banyak jurang. Mereka umumnya memiliki lahan yang luas dan memiliki kebiasaan "tebas bakar" di lahan tersebut agar mereka bisa berkebun atau berladang. Mereka berladang apa saja, misalnya menanam jagung, padi, ubi-ubian, dan kacang tanah.
Sebenarnya mereka memiliki rumah di desa atau di kampung. Namun, saat sedang menggarap suatu ladang, mereka lebih memilih untuk membangun rumah tak permanen di tengah ladang. Kondisi ini tentu tidak bagus untuk kesehatan anggota keluarga, seperti anak-anak yang harus tidur di pondok kayu seadanya, merasakan dinginnya malam. Anak-anak bahkan cenderung putus sekolah karena jarak ke sekolah menjadi semakin jauh.
"Bagaimana bisa bersekolah dengan segar kalau sampai sekolah saja badan sudah capai. Bisa-bisa di tengah jalan anak- anak lebih memilih nyebur ke sungai daripada sekolah," kata Bupati Sikka, Alex Longginus. Situasi seperti ini berpotensi meningkatkan kasus keluarnya anak dari sekolah alias drop out.
Tak heran jika pencatatan akta kelahiran di Kecamatan Talibura rendah dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Bidan Desa Talibura, Christina Lensi (34), memaparkan betapa sulitnya ia menjalankan tugas sebagai bidan.
Jika seorang bayi telah dibantu kelahirannya, seperti umumnya bidan yang lain, ia akan mengingatkan agar bayi yang baru lahir segera diberi nama untuk dicatatkan kelahirannya dan disarankan agar tidak terlambat mendapatkan imunisasi sesuai dengan usianya.
"Seperti itu saja susah sekali. Kalau suatu hari saya mau lihat lagi bayi yang baru lahir, orangtuanya ternyata sudah pindah membuka ladang di tempat lain," kata Christina.
Jarak antara pondok yang lama dan pondok yang baru berkisar dua-lima kilometer dan tidak mudah mencapainya dengan kondisi geografi seperti di Talibura. "Kalau sudah begini, risikonya imunisasi si bayi tidak lengkap dan itu berbahaya," kata Christina.
Begitu pula saat ia harus menyerahkan akta kelahiran yang sudah jadi kepada orangtua si bayi, ternyata mereka sudah pindah ladang. Christina pun harus mencari tahu keberadaan orangtua si bayi agar dapat menyerahkan akta kelahiran anak mereka.
Upaya bidan seperti ini adalah bentuk kompromi Pemerintah Kabupaten Sikka atas realitas hidup masyarakatnya di Kecamatan Talibura yang terus berpindah.
Kalau tidak menerapkan prosedur sederhana pencatatan kelahiran, anak-anak di Talibura bisa-bisa tidak memiliki akta kelahiran karena mengurus ke Maumere itu memberatkan orangtua.
Tantangan lainnya
Tidak hanya tantangan ladang berpindah yang menyebabkan rendahnya pencatatan kelahiran di Kabupaten Sikka. Sebelum keluarnya Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2004 yang membebaskan biaya akta kelahiran dan Keputusan Bupati Sikka Nomor 93 Tahun 2004 tentang prosedur sederhana pencatatan akta kelahiran, persyaratan pengurusan akta kelahiran sangat sulit dipenuhi oleh kebanyakan warga Sikka.
Selain karena terbentur biaya dan harus memfotokopi banyak perlengkapan administrasi, seperti kartu tanda penduduk dan kartu keluarga, yang menjadi tantangan lainnya adalah soal surat nikah.
Masih banyak warga di Kabupaten Sikka yang hanya menikah secara adat. Warga yang 99 persen beragama Katolik ini masih banyak yang belum menikah di gereja.
Dengan demikian, karena belum menikah di gereja, mereka akan kesulitan mencatatkan pernikahan mereka di Kantor Catatan Sipil karena yang bisa mencatatkan pernikahannya di catatan sipil adalah mereka yang telah resmi menikah di gereja.
Bagi mereka yang tinggal di luar Pulau Flores mungkin tidak terlalu mengerti mengapa mereka hanya menikah secara adat. Fortunata Reo, Kepala Desa Nelle Wutung, Kecamatan Maumere, Kabupaten Sikka, menjelaskan, banyak warganya yang belum menikah di gereja Katolik karena terbentur soal mahalnya belis (mahar/mas kawin).
Banyak laki-laki Flores yang akan melamar seorang gadis terbentur pada belis. Karena itu, sebelum belis dibayar pihak laki-laki, pasangan tersebut hanya bisa menikah secara adat.
Untuk mendapatkan gambaran mahalnya belis, Emil Hendi, warga Maumere, menyatakan, pada 22 Juli 2007 keluarganya akan menerima belis untuk anak perempuannya, Herni Kusyati.
Belis yang akan diterima berupa 10 kuda (seekor kuda berharga Rp 2 juta), uang sebanyak Rp 25 juta, emas 10 gram, dan gading gajah sepanjang 80 cm seharga Rp 30 juta. Total yang harus dikeluarkan pihak laki-laki Rp 76 juta, belum termasuk saat lamaran awal Juni lalu pihak laki-laki sudah membawa satu kuda dan uang sebesar Rp 1 juta.
"Memberi belis ini adalah budaya kami. Pihak laki-laki akan merasa bangga jika mampu memberi belis. Untuk pesta pernikahan, masing-masing pihak, baik laki-laki dan perempuan, akan menyumbang Rp 20 juta," kata Emil Hendi.
Sementara itu, saat keluarga Emil Hendi menerima belis dari pihak laki-laki, pihaknya pun akan membalas pemberian belis itu dengan memberikan kepada pihak laki-laki lima babi (seekor babi harganya di atas Rp 2 juta), moke (tuak) 20 literan sebanyak tiga jeriken, 10 literan (dua jeriken), dan sarung satu lembar yang harganya Rp 150.000 akan diberikan kepada semua pembawa belis. "Kalau ada 10 orang yang membantu membawa belis, ya 10 orang kami beri sarung. Ditambah baju di dalam sarung serta kue adat," kata Emil.
Jika urusan belis sudah beres, pernikahan resmi di gereja sudah bisa dilangsungkan. Karena itu, jika belis begini mahal, tidak sedikit keluarga laki-laki yang berutang belis. Mereka bisa menikah secara adat, tetapi bisa terus berutang belis secara turun-temurun. "Bahkan, ada yang anaknya sudah empat, mereka belum bisa melunasi belis. Kalau sudah begini, mereka tidak akan bisa menikah di gereja dan mendapatkan surat pernikahan di Kantor Catatan Sipil," kata Fortunata.
Inilah yang menjadi penyebab rendahnya pencatatan akta kelahiran karena adanya persyaratan surat nikah dari orangtua. Karena itu, agar semua anak mendapatkan akta kelahiran, Pemerintah Kabupaten Sikka berkompromi dengan mengeluarkan formulir surat keterangan mengenai status pernikahan para orangtua sehingga anak-anak mendapatkan akta kelahiran.
Jika memang situasi dan kondisi warga tidak memungkinkan, kekakuan persyaratan administrasi kependudukan untuk pengurusan akta kelahiran di berbagai daerah perlu dikaji ulang. (kcm/elok d messwati)
Dari 290.000 penduduk Kabupaten Sikka, sebanyak 20.000 jiwa adalah warga Desa Talibura, Kecamatan Talibura. Sebesar 80 persen penduduknya bermata pencaharian ladang berpindah, sedangkan 20 persen sisanya adalah nelayan yang tinggal di tepi pantai.
Para peladang berpindah ini hidup di wilayah perbukitan, dengan medan yang terbilang parah, naik turun, jalan yang berliku-liku, bertebing, dan banyak jurang. Mereka umumnya memiliki lahan yang luas dan memiliki kebiasaan "tebas bakar" di lahan tersebut agar mereka bisa berkebun atau berladang. Mereka berladang apa saja, misalnya menanam jagung, padi, ubi-ubian, dan kacang tanah.
Sebenarnya mereka memiliki rumah di desa atau di kampung. Namun, saat sedang menggarap suatu ladang, mereka lebih memilih untuk membangun rumah tak permanen di tengah ladang. Kondisi ini tentu tidak bagus untuk kesehatan anggota keluarga, seperti anak-anak yang harus tidur di pondok kayu seadanya, merasakan dinginnya malam. Anak-anak bahkan cenderung putus sekolah karena jarak ke sekolah menjadi semakin jauh.
"Bagaimana bisa bersekolah dengan segar kalau sampai sekolah saja badan sudah capai. Bisa-bisa di tengah jalan anak- anak lebih memilih nyebur ke sungai daripada sekolah," kata Bupati Sikka, Alex Longginus. Situasi seperti ini berpotensi meningkatkan kasus keluarnya anak dari sekolah alias drop out.
Tak heran jika pencatatan akta kelahiran di Kecamatan Talibura rendah dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Bidan Desa Talibura, Christina Lensi (34), memaparkan betapa sulitnya ia menjalankan tugas sebagai bidan.
Jika seorang bayi telah dibantu kelahirannya, seperti umumnya bidan yang lain, ia akan mengingatkan agar bayi yang baru lahir segera diberi nama untuk dicatatkan kelahirannya dan disarankan agar tidak terlambat mendapatkan imunisasi sesuai dengan usianya.
"Seperti itu saja susah sekali. Kalau suatu hari saya mau lihat lagi bayi yang baru lahir, orangtuanya ternyata sudah pindah membuka ladang di tempat lain," kata Christina.
Jarak antara pondok yang lama dan pondok yang baru berkisar dua-lima kilometer dan tidak mudah mencapainya dengan kondisi geografi seperti di Talibura. "Kalau sudah begini, risikonya imunisasi si bayi tidak lengkap dan itu berbahaya," kata Christina.
Begitu pula saat ia harus menyerahkan akta kelahiran yang sudah jadi kepada orangtua si bayi, ternyata mereka sudah pindah ladang. Christina pun harus mencari tahu keberadaan orangtua si bayi agar dapat menyerahkan akta kelahiran anak mereka.
Upaya bidan seperti ini adalah bentuk kompromi Pemerintah Kabupaten Sikka atas realitas hidup masyarakatnya di Kecamatan Talibura yang terus berpindah.
Kalau tidak menerapkan prosedur sederhana pencatatan kelahiran, anak-anak di Talibura bisa-bisa tidak memiliki akta kelahiran karena mengurus ke Maumere itu memberatkan orangtua.
Tantangan lainnya
Tidak hanya tantangan ladang berpindah yang menyebabkan rendahnya pencatatan kelahiran di Kabupaten Sikka. Sebelum keluarnya Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2004 yang membebaskan biaya akta kelahiran dan Keputusan Bupati Sikka Nomor 93 Tahun 2004 tentang prosedur sederhana pencatatan akta kelahiran, persyaratan pengurusan akta kelahiran sangat sulit dipenuhi oleh kebanyakan warga Sikka.
Selain karena terbentur biaya dan harus memfotokopi banyak perlengkapan administrasi, seperti kartu tanda penduduk dan kartu keluarga, yang menjadi tantangan lainnya adalah soal surat nikah.
Masih banyak warga di Kabupaten Sikka yang hanya menikah secara adat. Warga yang 99 persen beragama Katolik ini masih banyak yang belum menikah di gereja.
Dengan demikian, karena belum menikah di gereja, mereka akan kesulitan mencatatkan pernikahan mereka di Kantor Catatan Sipil karena yang bisa mencatatkan pernikahannya di catatan sipil adalah mereka yang telah resmi menikah di gereja.
Bagi mereka yang tinggal di luar Pulau Flores mungkin tidak terlalu mengerti mengapa mereka hanya menikah secara adat. Fortunata Reo, Kepala Desa Nelle Wutung, Kecamatan Maumere, Kabupaten Sikka, menjelaskan, banyak warganya yang belum menikah di gereja Katolik karena terbentur soal mahalnya belis (mahar/mas kawin).
Banyak laki-laki Flores yang akan melamar seorang gadis terbentur pada belis. Karena itu, sebelum belis dibayar pihak laki-laki, pasangan tersebut hanya bisa menikah secara adat.
Untuk mendapatkan gambaran mahalnya belis, Emil Hendi, warga Maumere, menyatakan, pada 22 Juli 2007 keluarganya akan menerima belis untuk anak perempuannya, Herni Kusyati.
Belis yang akan diterima berupa 10 kuda (seekor kuda berharga Rp 2 juta), uang sebanyak Rp 25 juta, emas 10 gram, dan gading gajah sepanjang 80 cm seharga Rp 30 juta. Total yang harus dikeluarkan pihak laki-laki Rp 76 juta, belum termasuk saat lamaran awal Juni lalu pihak laki-laki sudah membawa satu kuda dan uang sebesar Rp 1 juta.
"Memberi belis ini adalah budaya kami. Pihak laki-laki akan merasa bangga jika mampu memberi belis. Untuk pesta pernikahan, masing-masing pihak, baik laki-laki dan perempuan, akan menyumbang Rp 20 juta," kata Emil Hendi.
Sementara itu, saat keluarga Emil Hendi menerima belis dari pihak laki-laki, pihaknya pun akan membalas pemberian belis itu dengan memberikan kepada pihak laki-laki lima babi (seekor babi harganya di atas Rp 2 juta), moke (tuak) 20 literan sebanyak tiga jeriken, 10 literan (dua jeriken), dan sarung satu lembar yang harganya Rp 150.000 akan diberikan kepada semua pembawa belis. "Kalau ada 10 orang yang membantu membawa belis, ya 10 orang kami beri sarung. Ditambah baju di dalam sarung serta kue adat," kata Emil.
Jika urusan belis sudah beres, pernikahan resmi di gereja sudah bisa dilangsungkan. Karena itu, jika belis begini mahal, tidak sedikit keluarga laki-laki yang berutang belis. Mereka bisa menikah secara adat, tetapi bisa terus berutang belis secara turun-temurun. "Bahkan, ada yang anaknya sudah empat, mereka belum bisa melunasi belis. Kalau sudah begini, mereka tidak akan bisa menikah di gereja dan mendapatkan surat pernikahan di Kantor Catatan Sipil," kata Fortunata.
Inilah yang menjadi penyebab rendahnya pencatatan akta kelahiran karena adanya persyaratan surat nikah dari orangtua. Karena itu, agar semua anak mendapatkan akta kelahiran, Pemerintah Kabupaten Sikka berkompromi dengan mengeluarkan formulir surat keterangan mengenai status pernikahan para orangtua sehingga anak-anak mendapatkan akta kelahiran.
Jika memang situasi dan kondisi warga tidak memungkinkan, kekakuan persyaratan administrasi kependudukan untuk pengurusan akta kelahiran di berbagai daerah perlu dikaji ulang. (kcm/elok d messwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar