Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Atasi krisis pangan dengan penganekaragaman pangan

Spirit NTT, 8-15 Oktober 2007

KASUS rawan pangan mulai menggejala di Nusa Tenggara Timur (NTT) menyusul musim kering yang berkepanjangan. Sebelumnya, pada bulan Mei 2006 13.000 kepala keluarga atau sekitar 65.000 jiwa di Kabupaten Sikka, dilanda kelaparan.
Ketika itu, Kepala Badan Bimas Ketahanan Pangan NTT, Petrus Langoday, juga menjelaskan bahwa sebanyak tujuh dari 16 kabupaten/kota di NTT memang sering mengalami rawan pangan. Ketujuh wilayah itu adalah Ngada, Ende, Sikka, Lembata, Belu, Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara. Dari beberapa wilayah tersebut, sebanyak 145 desa berisiko tinggi, 192 desa berisiko sedang, dan 238 desa lainnya berisiko ringan (Suara Pembaruan, 10 Juni 2006).
Apa yang terjadi di NTT ini hanyalah satu dari puluhan kasus rawan pangan dan kelaparan yang melanda masyarakat kita. Sebelumnya warga di Yokohimo, Papua juga mengalami kejadian serupa dan entah di mana lagi warga masyarakat di seluruh Indonesia yang mengalami kelaparan ini.
Akibat kelaparan ini banyak warga khususnya anak-anak dan lansia yang menjadi korban, entah itu meninggal maupun terjangkit berbagai penyakit. Bagi anak-anak, ini akan menjadi pengalaman yang sangat berharga di masa mendatang dimana mereka yang hidup dengan sumber daya alam yang melimpah tetapi kehidupannya justru selalu terancam.
Krisis pangan yang melanda bangsa Indonesia tidak dapat lepas dari kesalahan kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru (Orba). Pada masa tersebut, semua orang di seluruh Indonesia, tanpa memperhatikan keragaman suku dan budaya atau kearifan tradisional, diajarkan dan diharuskan mengkonsumsi beras (nasi) sebagai makanan pokok. Hal ini mengakibatkan tidak adanya diversifikasi pangan sehingga ketika produksi beras tidak lagi mencukupi untuk konsumsi ratusan juta jiwa rakyatnya, maka krisis pangan terus melanda rakyat Indonesia.
Bahkan pemerintah juga membuat kebijakan agar petani hanya menanam benih-benih padi varietas unggul. Padahal sebagai negara agraris, Indonesia memiliki lebih dari 8.000 varietas benih padi (Fox, 1991).
Sementara Seotomo (1992) menyebutkan bahwa di Pulau Jawa terdapat lebih dari 13.000 varietas padi lokal. Namun berdasarkan laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Indonesia (Anonim, 1996), penggunaan benih HYV dalam lima belas tahun sejak dilepaskannya program Bimas (Bimbingan Masal) tahun 1967, menyebabkan hilangnya 1.500 varietas dari padi lokal (Bumi, 2000).
Parahnya lagi, pemerintah ketika itu mengintervensi petani dengan peraturan mengenai sistem budidaya pertanian. Peraturan tersebut di satu sisi memang memberikan kebebasan pada petani untuk memilih benih dan cara budidaya pertaniannya. Tetapi di sisi lain, peraturan tersebut mendorong petani menanam benih HYV dan teknis pertanian modern (UU No. 12/1992). Di samping itu, pemerintah juga mempunyai hak untuk merencanakan dan mengatur semua aktivitas pertanian di lahan mereka sendiri, dengan alasan untuk mencapai target keamanan pangan dari pemerintah.
Program pemerintah inilah yang akhirnya dikenal dengan nama revolusi hijau (green revolution). Revolusi hijau tersebut tidak hanya menghancurkan ekosistem fisik alam tetapi juga mengubah mentalitas petani. Akhirnya petani sangat tergantung dengan pasar benih ajaib dari IRRI yang dimulai dari PB 5 pada tahun 1960-an. Akibatnya sistem perencanaan dan pengaturan tanam secara tradisional menjadi hilang sedikit demi sedikit sekaligus budaya pertanian yang menyertainya.
Program revolusi hijau ini pada awalnya memang berhasil, produksi meningkat, sehingga pada tahun 1984 Indonesia berhasil berswasembada beras. Namun kegembiraan ini tidak berlangsung lama, karena tahun-tahun selanjutnya produksi beras terus menurun.
Penyebabnya adalah lahan-lahan sudah mengalami degradasi akibat pemakaian bahan-bahan kimia berupa pupuk dan pembasmi hama penyakit yang dosisnya terus meningkat. Lahan menjadi jenuh, tercemar dan tidak subur atau produktif. Pemakaian bibit unggul yang sama di semua tempat juga menyebabkan kegagalan panen, karena tidak cocok dengan kondisi setempat.
Upaya pemerintah Orba menggenjot produksi padi atau beras melalui proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektar di Kalimantan Tengah untuk dijadikan lahan persawahan juga gagal. Kegagalan ini dikarenakan pemerintah tidak mau mendengar atau tutup telinga ketika banyak kalangan atau pakar yang memberikan masukan bahwa lahan tersebut secara teknis tidak dapat dijadikan lahan pertanian karena kondisi keasaman tanahnya yang tinggi. Bahkan aspek lingkungan juga tidak memungkinkan lahan tersebut dijadikan lahan pertanian.
Menghadapi kenyataan ini, pemberdayaan petani menuju ketahanan pangan mutlak dilakukan. Untuk memperkokoh ketahanan pangan sesungguhnya dapat dilakukan bukan hanya dengan mengupayakan peningkatan produksi atau pengadaan beras, tetapi juga mengupayakan agar bahan pangan non beras khususnya yang berkarbohidrat tinggi dapat dijadikan bahan pangan.
Untuk itu penganekaragaman pangan merupakan strategi yang sangat penting dalam memperkokoh ketahanan pangan. Ubi kayu, ubi jalar, sagu, talas, jagung, jagung, garut, dan sejenisnya adalah bahan potensial untuk dijadikan bahan pangan pokok. Tantangannya kini tinggal bagaimana membiasakan kembali masyarakat yang sebelumnya 'dipaksa' makan nasi untuk kembali mengonsumsi makanan pokok sesuai dengan potensi daerah masing-masing. (setyo raharjo/kcm)

Tidak ada komentar: