Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tenun ikat Alor tebar pesona alami

Spirit NTT 24-31 Desember 2007

TENUN ikat dan songket tidak bisa dipisahkan dari perempuan yang tinggal di Kabupaten Alor. Di pulau ini, tenun identik dengan perempuan. Dari anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) sampai yang sudah sepuh, mereka masih menenun. Pilipin Takalapeta (85), misalnya, masih memintal benang ketika ditemui di Expo Alor VI tahun 2007, Selasa (7/8), di Kota Kalabahi.
Expo Alor merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Alor. Tahun ini, kegiatan seni dan budaya itu bertema "Alor, Ruas Bambu dan Ruang Investasi Dunia". Kegiatan pada pameran tersebut berupa pentas seni budaya, jambore perajin tenun, pameran pembangunan dengan produk utama bambu, gelar busana tenunan daerah, lomba lukis tingkat pelajar dan temu persahabatan mancanegara peserta "Sail Indonesia."
Menenun, kata Cendana Dude (41), seorang penenun dari Kecamatan Alor Timur, merupakan kegiatan sehari-hari anak perempuan yang diturunkan seorang ibu ke anaknya. Ibu dari lima orang anak ini belajar menenun ketika berusia 19 tahun. Namun, Cendana hanya terampil menenun songket. Songket Alor berbeda dengan songket daerah lain, misalnya, songket Palembang yang memakai benang emas dan umumnya berwarna cerah.
Tenun ikat dan songket Alor menggunakan pewarna alami dan dibuat dari bahan kapas. Para penenun di daerah ini dengan telaten mengolah kapas hingga menjadi tenun ikat dan songket. Setidaknya, para penenun di sana mampu membuat 40 warna dari bahan alami, seperti kunyit, daun lamtoro gung, daun pepaya, bunga bougenvile, kayu, kapur sirih, akar mengkudu, pohon kosambi.
Menurut Cendana, satu selendang bisa diselesaikan selama seminggu, mulai dari proses membuat benang sampai menenun. Kalau hanya menenun, ujarnya, memakan waktu tiga hari. Ini bila menggunakan benang yang sudah diberi warna sintetis. Masyarakat Alor menyebut benang sintetis ini sebagai benang toko.
Dibutuhkan waktu sebulan untuk menghasilkan satu tenun ukuran kain bila menggunakan bahan dari kapas. Biasanya mereka menenun di pagi hari selama tiga jam. Harga satu kain dari kapas bisa sampai Rp 2 juta, sedang selendang Rp 100.000. Kalau untuk tenun yang terbuat dari benang sintetis ukuran selimut dihargai Rp 500.000.
Peran perempuan
Para penenun tenun ikat ditemukan di daerah pesisir Alor. Selama berabad-abad orang yang tinggal di pegunungan menukar jagung dan ubi kayu dengan tekstil dari daerah pantai. Satu-satunya daerah pegunungan yang merupakan pengecualian adalah Batulolong. Masyarakat setempat belajar membuat tenun ikat dari tetangganya yang tinggal di pesisir pantai.
Saat ini, ada 140 kelompok tenun yang beranggotakan 1.370 penenun. Kelompok tersebut merupakan kelompok unggulan. Artinya kelompok ini dibina Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Alor dalam hal pemanfaatan benang, pewarnaan, motif dan pemasaran. Hasil tenun, kata Cendana, dijual ke Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Alor sekali dalam tiga bulan.
"Menenun bisa mendapat uang Rp 600.000 sampai Rp 700.000. Uang itu untuk makan dan biaya sekolah anak. Suami saya bekerja sebagai petani kelapa yang diolah menjadi kopra," ujar Cendana.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono yang menyaksikan jambore perajin tenun menuturkan, tenun jangan hanya dilihat sebagai produk yang hanya bisa dikenakan. Lebih dari itu, tenun mencerminkan perempuan merupakan asset dan berpotensi. Menurutnya, kalau perempuan diberi kesempatan berkembang, termasuk modal dan pemasaran, maka penenun semakin giat mengembangkan keahlian menenun, termasuk mengembangkan motif dan warna.
Tenun tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan Alor dan perempuan. Tenun merupakan laboratorium untuk mengembangkan wawasan kebangsaan, cinta Tanah Air, pendidikan, keadilan dan kesetaraan gender. Juga, sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, tenun harus mendapat posisi yang baik. Entah dari segi ekonomi, dan budaya.
"Jangan hanya batik yang berkembang. Kalau batik sudah ada dari Aceh sampai Jayapura. Maka, perlu juga peran desainer untuk memasarkan tenun ikat," ujar Meutia yang memiliki sejumlah tenun ikat dari NTT.
Sebagai penenun, perempuan Alor telah berkontribusi dalam pelestarian budaya bangsa. Di Alor, penenun memanfaatkan kearifan lokal. Misalnya, dengan memproduksi bahan alami. Mereka mulai mengenal tenun sejak duduk di bangku SD. Perempuan yang sudah pandai menenun dianggap perempuan dewasa dan bisa berkeluarga.
Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, yang juga hadir di jambore perajin tenun menyebut semua suku yang ada di NTT memiliki tenun dan sebenarnya berpotensi besar untuk meningkatkan penghasilan penduduk bila dikembangkan. Dahulu, katanya, tenun hanya mempunyai nilai sosial , misalnya dipakai saat upacara perkawinan, mahar. Sekarang bergeser menjadi memiliki nilai ekonomi.
Namun, tenun tidak berkontribusi secara langsung pada pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Alor. Tetapi dengan menenun, masyarakat bisa memperoleh uang yang dipergunakan untuk membiayai kebutuhan hidup termasuk membayar pajak kepada pemerintah daerah. Hanya saja yang menjadi kendala adalah pemasaran. Ini terkait dengan kain tenun yang cenderung berat sehingga kurang nyaman untuk dikenakan. Di samping itu, motif dan kualitas tenun pun perlu ditingkatkan. (nancy nainggolan)

Tidak ada komentar: