Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tebar bakar, bumi Timor kian merana

Oleh Yan Meko *
Spirit NTT, 24-31 Desember 2007


BUKIT Haumeni, pedalaman Pulau Timor, suatu hari di bulan Oktober 2007. Matahari telah meninggi, asap membubung tinggi. Bunyi ledakan terdengar bertubi-tubi pertanda api telah menjalari kawasan hutan bambu. Hamparan padang rumput dan perbukitan yang ditumbuhi pohon kemiri, ampupu dan semak belukar juga tidak luput dari amukan api yang disulut para petani.
Enam pria bertelanjang dada mengumpulkan batang-batang bambu dan kayu yang terbakar menggunakan galah bambu yang diberi besi pada ujungnya. Wajah mereka tampak menghitam akibat sengatan sinar matahari dan panas api.
Pemandangan orang membakar lahan untuk membuka kebun bisa disaksikan tiap tahun di Timor pada awal hingga pertengahan bulan Oktober, hari-hari akhir musim kemarau.
Bulan November biasanya hujan mulai membasahi bumi Timor yang kering kerontang sejak April hingga Oktober. Orang Timor membakar lahan di bulan Oktober untuk menyambut datangnya hujan menghidupi tanaman pertanian. Tapi tibanya musim hujan tidak selalu menggembirakan. Kerap hujan hanya turun beberapa hari kemudian lebih sering matahari menyengat. Tanaman padi, jagung dan turis (Cajanus cajan) yang baru tumbuh pun merana, layu dan akhirnya mati. Iklim Timor memang kering, musim hujan pendek dengan intensitas curah hujan rendah. (Curah hujan di Timor 1.300 -1.500 mm per tahun, sangat rendah dibanding curah hujan di Jawa, misalnya, yang rata-rata 3.000 - 4.200 mm per tahun).
Tebas dan bakar
Dari generasi ke generasi, orang-orang Timor menebas dan membakar hutan atau semak belukar untuk berkebun dan juga membakar padang untuk menumbuhkan pucuk rumput bagi ternak. Mereka yakin, lahan harus dibakar agar menjadi subur untuk ditanami jagung, turis, kacang panjang, ubikayu dan juga padi ladang.
Di musim kemarau, padang rumput yang kuning mengering juga harus dibakar agar setelah dibasahi embun malam beberapa hari muncul pucuk hijau yang akan menjadi makanan sapi, kambing dan kuda.
"Kami harus bekerja seperti ini untuk bisa bertahan hidup. Tebas dan bakar kami lakukan tiap tahun. Sebagai petani di Timor kami sengsara, tapi lebih baik sengsara daripada mati kelaparan," ujar Yosef Kefi, seorang pria ubanan.
Pernyataan Yosef terdengar polos. Dia tidak tampak menyadari dampak membakar lahan dan hutan terhadap lingkungan hidup. Yang ada dalam benaknya adalah hasil jangka pendek, bagaimana kebun harus segera ditanami, tanaman bertahan hidup menghasilkan panen sebelum kemarau memanggang bumi Timor. Yosef dan petani-petani Timor masih terus main tebas dan bakar setiap penghujung musim kemarau.
Sumur mengering
Tidak jauh dari lokasi tebas bakar milik Yosef dan beberapa warga lainnya, terdapat sebuah sumur tua yang airnya hanya setinggi sekitar 10 cm. Air sumur itu menjadi rebutan warga desa itu yang berjumlah 320 KK. Tidak heran, sering kali mereka terlibat adu mulut bahkan tak jarang terjadi perkelahian karena ada yang menyerobot giliran.
Di siang hari lokasi itu ramai seperti pasar. Di malam hari warga terus berdatangan membawa obor, pelita bahkan lampu gas. Sumur itu selalu ramai siang maupun malam.
Kendati tempat itu oleh sebagian warga dinilai angker, tetapi daripada mati kehausan, warga akhirnya melawan rasa takut dan menanti giliran timba sejak malam hingga pagi hari.
Di sekitar sumur itu hanya terdapat tiga pohon beringin dan sebatang pohon jambu air yang mungkin sudah berumur ratusan tahun. Empat pohon itulah yang tetap kokoh berdiri, akar-akarnya menangkap air hujan untuk sumur tua. Pohon-pohon lain sudah lenyap ditebang, atau tinggal sisa-sisa batang yang menghitam akibat dibakar warga.
Sumur itu peninggalan bangsa Belanda sejak tahun 1920. Dulu air sumur dapat ditimba langsung dengan ember atau tabung bambu. Namun sejak 15 tahun lalu ketika kawasan hutan di sekitar daerah ini dibabat warga, air sumur tiba-tiba menyusut. "Pada bulan-bulan seperti ini kita harus turun ke dasar sumur sedalam empat meter dan menimba dengan menggunakan gayung karena airnya tidak dalam lagi. Kami sering berkelahi karena berebut air," tutur Ny. Lake.
Praktek tebas bakar untuk mempersiapkan kebun ini telah menjerumuskan warga dalam beragam bencana. Mereka menginginkan hasil jagung, padi, ubikayu, tetapi menyepelekan sumber-sumber air yang terus merosot debitnya. Akibat langsungnya, anak-anak sekitar wilayah itu menderita berbagai penyakit kulit karena jarang mandi. Diare atau muntaber juga menjadi langganan ratusan balita di desa itu lantaran sanitasi lingkungan yang buruk.
Desa Haumeni, Kecamatan Miomafo Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini adalah contoh potret buram dari 163 desa/kelurahan di kabupaten itu. Kabupaten TTU yang terletak di tengah-tengah Pulau Timor, menjadi indikator dalam setiap pembicaraan publik terkait lingkungan hidup di Pulau Timor.
Kalau tebas bakar rutin terjadi di wilayah ini maka pulau Timor akan alami kekeringan panjang dan atau sebaliknya muncul banjir besar seperti yang pernah menenggelamkan puluhan desa di kabupaten tetangga, Belu dan Timor Tengah Selatan (TTS).
Nasib Gunung Mutis
Wilayah TTU seperti umumnya daratan Timor bersuhu udara panas antara 28 sampai 36 derajat Celcius. Tapi ada juga wilayah yang sejuk, bahkan dingin belasan derajat Celcius, misalnya kawasan gunung atau dataran tinggi.
Di wilayah ini menjulang gunung Mutis, gunung tertinggi di pulau Timor. Di gunung Mutis yang tingginya 2.427 meter di atas permukaan laut ini tumbuh berbagai flora khas Timor antara lain pohon ampupu (Eucalyptus urophylla), hue (Eucalyptus alba), natbona ( Pittospermum timorensis), habubesi (Olea paniculata), cendana (Santalum album). Fauna penghuni kawasan gunung Mutis antara lain betet timor (Apromictu jonguilaceus), punai timor (Treon psittacea), kuskus (Phalanger orientals), ular sanca timor (Phyton timorensis). Gunung Mutis yang sudah dijadikan Taman Nasional sering dijuluki Ibunya pulau Timor.
Menurut data World Wide Fund (WWF), di kawasan gunung Mutis yang terletak dalam wilayah kabupaten TTU dan TTS, pada tahun 1980-an terdapat sekitar 400 titik sumber air. Tapi kini, di gunung Mutis, tempat berhulu tiga sungai besar yakni Noelmina, Benanain dan Oebesi, hanya tersisa sekitar 40 titik sumber air.
Penebangan liar merusak hutan kawasan konservasi dan daerah tangkapan air
menyebabkan sumber-sumber air mengering. Sebagian dari sekitar 46.000 petani dan peternak yang tinggal di sekitar Taman Nasional Gunung Mutis masih terus menebas hutan dan membakar bumi secara sporadis. Dengan meluasnya pemilikan gergaji mesin (chain saw) yang oleh lidah orang Timor disebut sensor, pohon-pohon besar terus bertumbangan.
"Berbicara tentang petani pulau Timor berarti kita berbicara tentang alienasi ekologis. Petani sekarang hidup tanpa aturan, mereka main tebas dan bakar, menyepelekan tatanan adat dan UU Lingkungan Hidup. Dulu petani Timor dikendalikan oleh seorang Tobe ( kepala sub suku). Tobe biasanya mengarahkan warga untuk membuka lahan di satu lokasi tertentu saja, tentu dengan berbagai pertimbangaan. Tapi kini fungsi Tobe sudah tidak ada lagi bersamaan dengan pudarnya peranan lembaga adat," jelas Willi Silab, pengamat lingkungan di TTU sembari memperlihatkan tulisannya mengenai lingkungan hidup.
Terpaksa makan putak
Kemarau yang panjang dan munculnya hama belalang di bagian pesisir wilayah TTU yang didiami oleh warga sembilan desa telah melumpuhkan upaya warga untuk mendapat hasil tani ladang atau sawah. Warga terpaksa berbondong-bondong menebang pohon gewang (Corypha elata), mengupas kulitnya dan mengambil serat batangnya (putak) untuk dijadikan makanan.
Putak itu dicincang kemudian dijemur lalu ditumbuk hingga menghasilkan tepung. Selembar seng yang dilubangi menggunakan paku dijadikan saringan, karena itu tepung yang tersaring cendrung kasar. Tepung kasar itu dicampur lagi dengan parutan kelapa lalu dibakar atau direbus untuk dimakan warga segala umur. Pencernaan balita yang belum begitu kuat menyebabkan banyak yang menderita diare, kurang gizi lalu busung lapar (marasmus). Putak yang biasanya untuk makanan ternak babi, kini malah jadi santapan manusia di kawasan pantai utara kabupaten Timor Tengah Utara.
Tahun ini, hingga September 2007 menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten TTU, sudah tercatat 7.267 balita menderita kurang gizi, 1.466 balita menderita gizi buruk dan 35 balita menderita gizi buruk dengan kelainan klinis dan 7 balita lainnya meninggal.
Semua ini dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim yang tidak dapat diprediksi oleh para petani Timor. Mereka main tebas bakar, ikut memberi andil pada perubahan iklim. Sering di musim hujan malah hujan tidak turun-turun hingga tanaman pertanian layu dan mati meranggas. Para petani harus mengubah pola pertanian dengan berkebun tetap.
"Tanah atau ladang tidak boleh lagi dibakar tetapi diluku saja. Sudah saatnya petani melakukan sekali tanam tetapi panen berulang-ulang. Perkebunan adalah langkah yang tepat untuk petani Timor. Terasering, olah lubang dan olah jalur adalah alternatif untuk menyuburkan tanah," tutur Yohannes Donbosco Nuwa, aktivis lingkungan hidup yang bergabung dalam Yayasan Mitra Tani Mandiri, Kefamenanu.
Lembayung senja telah menghiasi angkasa bagian barat pulau Timor, bersamaan dengan itu Yosef Kefi dan teman-temannya telah selesai membakar lahan. Sebuah obor bambu juga sudah terpasang di sekitar sumur tua peninggalan Belanda itu. Yosef kembali mengantre air bersama ratusan warga lainnya. Hari itu, Sabtu,13 Oktober 2007, sepotong bumi Timor telah dibakar. Galah bambu milik para petani digantungkan kembali di samping rumah. Namun ribuan balita TTU masih akan terus menderita diare dan kurang gizi. Pemanasan global dan perubahan iklim berdampak pada sektor pertanian dan kesehatan menyebabkan kematian anak-cucu manusia karena kurang gizi, kelaparan dan penyakit.
Menyaksikan berbagai kegiatan manusia di pedalaman Timor yang tidak ramah
lingkungan, muncul pertanyaan: Masih mungkinkah lahan pertanian kabupaten Timor Tengah Utara yang seluas 74.308 ha, perkebunan seluas 8.440 ha, hutan seluas 69.325 ha serta padang rumput seluas 74.071 ha bisa dilestarikan?
Sebelum terlambat, bumi Timor harus diselamatkan dengan kesadaran sendiri. Di sini seruan para pemerhati lingkungan hidup perlu didengar. Petani perlu pendampingan agar kembali mencintai lingkungannya, diberi pengetahuan bahwa pemanasan global dan perubahan iklim harus dihadapi dengan langkah adaptasi dan mitigasi. Main tebas dan bakar dan main tebang pohon bukan cara yang cerdas dan bijak menghadapi iklim yang semakin tidak ramah.
Semuanya harus bersama-sama berpikir dan bertindak menyelamatkan Bumi. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), panel para ilmuwan untuk perubahan iklim mengingatkan, usia planet Bumi tinggal 70-100 tahun lagi bila tidak ada perubahan perilaku dan upaya bersama umat manusia meredam laju pemanasan global. Semua harus bersama-sama berpikir dan bertindak menyelamatkan Bumi dan tentu saja tanah Timor. Mumpung masih ada kesempatan buat kita.., begitulah penggalan syair lagu Ebiet G Ade. Jangan sampai terlambat, jangan sampai kesempatan yang masih ada hilang. * Penulis, wartawan NTT Online di Kefamenanu, TTU

Tidak ada komentar: