Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Memanggil vs mengundang

Oleh Taufiq Effendi *
Spirit NTT 24-31 Desember 2007

MEMANGGIL dan mengundang, dua kata yang memiliki makna hampir sama, yaitu menyuruh, memerintah, mengharapkan, memohon seseorang atau suatu kelompok organisasi untuk datang di suatu tempat, pada jam tertentu, atau pada acara tertentu.
Yang membedakan hanyalah 'rasa' dan 'perasaan' saja. Apapun, kata-kata yang keluar dari mulut kita memiliki implikasi yang tajam, baik secara positif maupun negatif. Karena kata-kata seseorang bisa menjadi celaka atau sebaliknya. Karenanya juga seseorang bisa berwibawa atau papa terhina.
Karena itu, berhatihatilah dengan kata-kata. 'Mulutmu adalah harimaumu,' begitu pepatah mengatakan. Agar kata-kata yang keluar dari mulut kita bisa menyelamatkan (diri kita dan orang lain), aspek 'perasaan' ketika mengeluarkan kata-kata menjadi penting. Tapi siapa yang peduli dengan perasaan? Coba kita perhatikan bersama, kalau kita menggunakan kata 'mengundang', misalnya kami 'mengundang' bapak/ ibu untuk hadir dalam acara pertemuan mingguan.
Biasanya, orang yang diundang menjadi senang, gembira, dan bahagia.Tetapi kalau kita menggunakan kata 'memanggil', orang yang dipanggil bisa kaget, penuh tanda tanya. Ada apa gerangan, salah apa saya, dan pertanyaan-pertanyaan lain bernada gelisah, termasuk pertanyaan ada apa dengan si Bos, apa saya berbuat salah? Mengapa?
Karena kata 'memanggil' mengandung makna antara yang memanggil dan yang dipanggil ada selisih derajat, entah lebih tua, lebih kaya, atau lebih kuasa, paling tidak merasa lebih tua atau merasa lebih kuasa. Karenanya, perasaan orang yang dipanggil macam-macam. Bisa jadi muncul pertanyaan apa mau dikasih duit? atau apa akan dimarahi?.
Perasaan yang kedua ini biasanya lebih dominan. Datang memenuhi panggilan pun dalam keadaan waswas. Sebaliknya, kata 'mengundang' mengandung makna antara yang mengundang dan yang diundang memiliki kesamaan tingkat, satu derajat, setingkat, cs, friend, sobat, dan semua yang bernuansa persahabatan. Karenanya, orang yang menerima undangan pun merasa senang dan bangga karena merasa dihormati atau diajeni sehingga dia akan datang dengan penuh sukacita.
Gunakan diksi secara tepat
Masalahnya, bila keduanya tidak ada perbedaan tingkat, alias satu level, satu derajat, satu pangkat, satu usia, tapi menggunakan kata 'memanggil', padahal seharusnya menggunakan kata 'mengundang.' Jika hal ini terjadi, orang yang dipanggil pasti merasa kurang nyaman, lalu muncul pertanyaan, 'Ada apa, emangnya siapa elu pake panggil gua?'
Masalah akan menjadi semakin pelik jika ternyata penggunaan kata 'memanggil' untuk orang lain yang setingkat itu dilakukan secara sadar dan sengaja. Orang akan menilai dan bertanya apa panggilan itu sengaja untuk merendahkan, menghina, atau karena sombong, arogan, angkuh, congkak, tinggi hati, dan sebagainya. Banyak motif yang melatarbelakangi penggunaan diksi secara tidak tepat.
Bisa jadi karena kepentingan biar dinilai keren, membuat orang lain takut, biar orang lain pada takut, termasuk agar orang lain tahu siapa yang 'memanggil.' Tetapi apa pun motifnya, menempatkan kata-kata secara tidak tepat hanya akan membuat diri kita dinilai negatif oleh orang lain. Tentu kita tidak menginginkan penilaian negatif itu terjadi pada diri kita.
Karena itu gunakanlah pilihan kata atau diksi secara tepat. Di situlah kita akan dihargai orang lain. Pepatah Jawa mengatakan, 'Ajining diri soko lati, ajining rogo soko busono.' Artinya, diri kita akan dihormati oleh orang lain karena tutur kita, dan raga atau fisik kita akan dihormati oleh orang lain karena tata cara kita berpakaian.
Maaf asumsi di atas vulgar. Tapi kalau prasangka ini benar, maka maksud menggunakan kata-kata secara tidak tepat (biar dinilai serba hebat dan jagoan) itu tidak cocok dengan budaya kita sebagai orang Timur yang terkenal halus budi bahasanya, tinggi sopan santunnya, lemah lembut, terkenal punya tata krama yang tinggi.
Kita sebagai orang timur punya etika tentang bagaimana cara berbicara dengan yang setingkat, kepada atasan, kepada bawahan. Ada kromo inggil, ada madyo, dan ada ngoko. Maaf kalau penggunaan istilah Jawa ini kurang tepat karena memang saya bukan ahli bahasa Jawa. Kalau kita pernah menonton film My Fair Lady, kita akan tahu bahwa kemampuan berbahasa seseorang (penggunaan kata yang tepat) itu menunjukkan tingkat intelektualitas seseorang.
Karena penggunaan bahasa, bisa jadi seseorang yang dilahirkan dan dibesarkan di kota, tamatan universitas yang punya nama, tapi bisa dibilang ndeso atau kampungan karena cara bicaranya sembrono, ucapannya tidak pas, intonasinya kurang tepat, kapan menggunakan nada tinggi, sedang, rendah, dan temponya tidak pas. Sebaliknya, walaupun seseorang lahir dan besar di desa, tetapi tata cara berbahasanya bagus, maka dia akan dinilai sebagai orang 'berpendidikan'.
Perlu menjadi catatan bersama bahwa tata cara berbahasa ini sangat prominent, penting,tidak bisa diabaikan dalam pergaulan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Kelihatannya apa yang saya ungkapkan ini sangat sederhana atau bisa dianggap mengada-ada. Bahkan mungkin akan ada yang bilang, Ah, soal sepele kok diributkan.
Tapi saudaraku, hal yang ingin saya katakan lebih lanjut dalam tulisan ini adalah bahwa ini bukan sekadar bahasa, tetapi fenomena bangsa. Saya yakin, apa yang saya uraikan di atas belum terjadi di negeri kita, karena kita kan orangnya sopan-sopan. Saya hanya khawatir kalau hal yang saya risaukan terjadi di kemudian hari. Mohon maaf, tulisan ini fiksi semata, hanya ekspresi sebuah ketakutan belaka. *
* Penulis, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, dikutip dari Koran Sindo (bentara online)

Tidak ada komentar: