Laporan Roby Asra/Humas Belu, Spirit NTT 17-23 Desember 2007
ATAMBUA, SPIRIT--Fenomena sosial yang sangat signifikan di Kabupaten Belu saat ini adalah meningkatnya jumlah pengidap HIV yang tertular melalui penggunaan jarum suntik dan narkoba. Sejak Mei 2007, IHPCP dan PKBI NTT telah melakukan Rapid Asessment And response (RAR) di Kabupaten Belu.
Tujuan RAR untuk memperoleh gambaran komprehensif profil pengguna narkoba suntik (penasun) di NTT khususnya Belu; mengetahui tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS; mengetahui perilaku penggunaan narkoba dan perilaku seks penasun serta mendapatkan data dasar pengembangan program penanggulangan HIV/AIDS di NTT.
Dalam seminar sehari yang dilaksanakan di Atambua, belum lama ini, dengan tema, "Sosialisasi hasil RAR terhadap IDUS (Injecting Drug Usdes) di Kota Atambua," Program Manajer PKBI NTT, John Ladjar, bersama Berchmans Mau Bria dan Simpleksius Asa dari IHPCP NTT memaparkan hasil tersebut di hadapan anggota KPA Kabupaten Belu dan lembaga (dinas) terkait lintas sektoral di Kabupaten Belu, di ruang kerja Wakil Bupati Belu. Kegiatan itu dibuka Asisten I Setda Belu Drs. Petrus Bere, didampingi Pimpinan IHPCP NTT Berchmans Mau Bria.
Dalam arahannya, Berchmans mengatakan penularan HIV melalui jarum suntik sangat tinggi. "Oleh karenanya sebagai masyarakat, kita semua diharapkan berperan aktif mengantisipasinya. Permasalahan narkoba sangat sensitif, sulit dan rentan untuk tertularnya HIV. Untuk itu kita harus mengantisipasinya sedini mungkin," harapnya.
Berchmans juga mengatakan terima kasihnya kepada PKBI NTT yang bekerja keras di Kabupaten Belu untuk menemukan permasalahan penasun. "Hasil yang didapat rekan-rekan dari PKBI ini sangat bermanfaat untuk langkah antisipatif dan selanjutnya hasil rekomendasi yang sudah didapat selama survai akan menjadi referensi tersendiri bagi KPA Belu untuk membuat langkah antisipasi ke depan," katanya.
Asisten 1 Setda Belu, Drs. Petrus Bere, MM, saat membuka kegiatan tersebut mengatakan, pemerintah daerah sangat menghargai tugas yang sudah diemban IHPCP dan PKBI. "Hasil yang didapat ini merupakan informasi yang sangat bagus untuk mencari solusi bersama-sama," ujarnya. Bere juga mengungkapkan apa yang dilakukan oleh lembaga ini merupakan upaya untuk menyelamatkan sesama manusia dari dunia yang kelam.
Dalam pemaparannya, John Ladjar yang mewakili PKBI menggambarkan beberapa kesimpulan bahwa penggunaan berbagai jenis narkoba termasuk putaw/heroin di Atambua telah berlangsung paling tidak dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Para penasun (pengguna narkoba suntik), katanya, umumnya berusia remaja hingga dewasa muda berasal dari aneka-ragam suku; pengetahuan penasun relatif rendah; perilaku penggunaan narkoba suntik secara berkelompok dengan sharing peralatan suntik meningkatkan rentanitas penasun terhadap risiko tertular HIV, IMS maupun hepatitis; status seksual aktif pada seluruh penasun melipatgandakan risiko menulari dan ditulari HIV dan IMS terutama pada kondisi dimana konsistensi penggunaan dan akses kondom masih rendah dan akses jarum steril yang sulit diperoleh memaksa penasun untuk terus melakukan perilaku menyuntik berisiko; respons terhadap terapi pengganti "methadone" cukup baik terutama pada penasun yang pernah memperoleh methado; skses ke perolehan berbagai jenis narkoba dimungkinkan oleh aspek geografis Kabupaten Belu dimana pergerakan "barang" dan pengguna sudah pada level trans-nasional.
Selain itu juga, IHPCP NTT dan PKBI NTT memaparkan lima hasil rekomendasi yang diserahkan kepada KPA Kabupaten Belu untuk selanjutnya ditindaklanjuti. Pertama, dibutuhkan intervensi perubahan perilaku penasun di Atambua melalui program harm reduction. Kedua, peningkatan pengetahuan tentang narkoba, ketahanan diri, perilaku hidup sehat dan pendidikan keterampilan hidup sejak dini (demand reduction).
Ketiga, resiko penggunaan narkoba suntik maupun non suntik perlu terus disosialisasikan ke semua komponen masyarakat. Keempat, perlu segera dibentuk tim inisiasi multi pihak guna mendesain rencana intervensi perubahan perilaku penasun di Atambua. Kelima, perlu sosialisasi dan advokasi kepada seluruh elemen masyarakat guna mencapai kesamaan persepsi terhadap program harm reduction. *
Tujuan RAR untuk memperoleh gambaran komprehensif profil pengguna narkoba suntik (penasun) di NTT khususnya Belu; mengetahui tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS; mengetahui perilaku penggunaan narkoba dan perilaku seks penasun serta mendapatkan data dasar pengembangan program penanggulangan HIV/AIDS di NTT.
Dalam seminar sehari yang dilaksanakan di Atambua, belum lama ini, dengan tema, "Sosialisasi hasil RAR terhadap IDUS (Injecting Drug Usdes) di Kota Atambua," Program Manajer PKBI NTT, John Ladjar, bersama Berchmans Mau Bria dan Simpleksius Asa dari IHPCP NTT memaparkan hasil tersebut di hadapan anggota KPA Kabupaten Belu dan lembaga (dinas) terkait lintas sektoral di Kabupaten Belu, di ruang kerja Wakil Bupati Belu. Kegiatan itu dibuka Asisten I Setda Belu Drs. Petrus Bere, didampingi Pimpinan IHPCP NTT Berchmans Mau Bria.
Dalam arahannya, Berchmans mengatakan penularan HIV melalui jarum suntik sangat tinggi. "Oleh karenanya sebagai masyarakat, kita semua diharapkan berperan aktif mengantisipasinya. Permasalahan narkoba sangat sensitif, sulit dan rentan untuk tertularnya HIV. Untuk itu kita harus mengantisipasinya sedini mungkin," harapnya.
Berchmans juga mengatakan terima kasihnya kepada PKBI NTT yang bekerja keras di Kabupaten Belu untuk menemukan permasalahan penasun. "Hasil yang didapat rekan-rekan dari PKBI ini sangat bermanfaat untuk langkah antisipatif dan selanjutnya hasil rekomendasi yang sudah didapat selama survai akan menjadi referensi tersendiri bagi KPA Belu untuk membuat langkah antisipasi ke depan," katanya.
Asisten 1 Setda Belu, Drs. Petrus Bere, MM, saat membuka kegiatan tersebut mengatakan, pemerintah daerah sangat menghargai tugas yang sudah diemban IHPCP dan PKBI. "Hasil yang didapat ini merupakan informasi yang sangat bagus untuk mencari solusi bersama-sama," ujarnya. Bere juga mengungkapkan apa yang dilakukan oleh lembaga ini merupakan upaya untuk menyelamatkan sesama manusia dari dunia yang kelam.
Dalam pemaparannya, John Ladjar yang mewakili PKBI menggambarkan beberapa kesimpulan bahwa penggunaan berbagai jenis narkoba termasuk putaw/heroin di Atambua telah berlangsung paling tidak dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Para penasun (pengguna narkoba suntik), katanya, umumnya berusia remaja hingga dewasa muda berasal dari aneka-ragam suku; pengetahuan penasun relatif rendah; perilaku penggunaan narkoba suntik secara berkelompok dengan sharing peralatan suntik meningkatkan rentanitas penasun terhadap risiko tertular HIV, IMS maupun hepatitis; status seksual aktif pada seluruh penasun melipatgandakan risiko menulari dan ditulari HIV dan IMS terutama pada kondisi dimana konsistensi penggunaan dan akses kondom masih rendah dan akses jarum steril yang sulit diperoleh memaksa penasun untuk terus melakukan perilaku menyuntik berisiko; respons terhadap terapi pengganti "methadone" cukup baik terutama pada penasun yang pernah memperoleh methado; skses ke perolehan berbagai jenis narkoba dimungkinkan oleh aspek geografis Kabupaten Belu dimana pergerakan "barang" dan pengguna sudah pada level trans-nasional.
Selain itu juga, IHPCP NTT dan PKBI NTT memaparkan lima hasil rekomendasi yang diserahkan kepada KPA Kabupaten Belu untuk selanjutnya ditindaklanjuti. Pertama, dibutuhkan intervensi perubahan perilaku penasun di Atambua melalui program harm reduction. Kedua, peningkatan pengetahuan tentang narkoba, ketahanan diri, perilaku hidup sehat dan pendidikan keterampilan hidup sejak dini (demand reduction).
Ketiga, resiko penggunaan narkoba suntik maupun non suntik perlu terus disosialisasikan ke semua komponen masyarakat. Keempat, perlu segera dibentuk tim inisiasi multi pihak guna mendesain rencana intervensi perubahan perilaku penasun di Atambua. Kelima, perlu sosialisasi dan advokasi kepada seluruh elemen masyarakat guna mencapai kesamaan persepsi terhadap program harm reduction. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar